Rabu, 18 Juni 2014

Dasar Pendekatan Epistemologis dalam Islam



Islam menjelaskan bahwa untuk mengenal alam semesta dan hakikat benda terdapa Akal
Ketika kontroversi masalah fatwa haram bunga bank oleh MUI ‘kembali’ terjadi, seorang pendengar mengungkapkan, “Masa sebagai seorang yang beragama Islam yang percaya bahwa Al Quran sebagai kitab sucinya, masih ada pihak-pihak yang menolak pendapat bahwa bunga bank itu termasuk riba, itu jelas-jelas haram menurut Al-Quran. akalnya ditaruh di mana sih?”. Ungkapan tersebut, bisa jadi merupakan sebuah bentuk keheranan, ketidakpercayaan, atau kekesalan masyarakat terhadap suatu fenomena.Ada satu kata yang menarik dari kedua ungkapan tadi, yaitu kata akal. Apa yang menyebabkan sesuatu tidak masuk akal? Makhluk apa pula yang bernama akal itu sehingga bisa ditaruh-taruh dan dimasuki sesuatu?

Definisi Akal

Dalam Al Quran, banyak sekali ayat-ayat yang mencantumkan kata yatafakkaruun diujungnya. Kebanyakan menyuruh atau memperingatkan manusia untuk berpikir, merenung atau bertafakkur.Secara istilah akal (aql) berarti kemampuan yang dimiliki manusia untuk mengetahui, membedakan baik dan buruknya sesuatu sehingga manusia mampu menyelesaikan permasalahan kehidupannya. Akal akan selalu menuntun manusia kepada kebenaran dan kesempurnaan. Akal menjadi ciri kemanusiaan seseorang yang membedakannya dari binatang. Akal membuat manusia mampu menghasilkan kebudayaan dan peradaban. Dengan akalnya pula sebagai salah satu sumber pengetahuan yang terdapat dalam dirinya manusia menemukan Tuhan. Imam Ali, dalam Nahjul Balaghah mengungkapkan bahwa akal adalah kekayaan manusia yang utama. Harta manusia yang paling berharga.  Sementara kemiskinan manusia yang paling utama adalah kebodohan manusia itu sendiri. Akal dikatakan sebagai sesuatu yang berfungsi untuk mengendalikan, meredam, dan menolak serta menyingkirkan dorongan dan hasutan jahat hawa nafsu dalam hati manusia.

Akal dan Agama

Dari pengertian tersebut tadi jelaslah bahwa akal akan selalu menuntun manusia untuk kembali kepada Tuhannya. Akal akan cenderung untuk selalu menyembah kepada pemiliknya, suatu dzat maha sempurna yang menjadi tempatnya bergantung. Orang yang memaksimalkan fungsi akalnya tentu saja akan semakin kuat keberagamaannya. Karena apa yang diinginkan akal juga sesuai dengan apa yang diajarkan agama melalui Rasul dan kitab sucinya.  Akal dan Agama adalah ibarat dua sisi mata uang yang tak mungkin dipisahkan.Allah swt dalam surat al-Rum ayat 30 berfirman : “...(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus”. Hal ini membuktikan bahwa tidak ada pertentangan antara akal dan agama. Syariat agama merupakan faktor eksternal (akal luar) yang menyuruh manusia untuk menyembah Tuhan dan Akal adalah faktor internal (dalam diri) manusia yang menuntunnya untuk menyembah Tuhan. Yang membedakan hanyalah faktor dari mana berasalnya  saja, internal dan eksternal.Lalu bagaimana dengan permasalahan banyaknya  para ilmuwan (saintis) sekuler yang mengaku tidak beragama, padahal mereka adalah orang-orang pintar yang telah memaksimalkan fungsi akalnya? Tidakkah ini bertentangan (kontradiktif) jika di awal dikatakan bahwa akal dan agama itu mempunyai kesamaan visi dan tujuan? Mengapa pula kebanyakan dari mereka yang berasal dari dunia belahan barat itu yang lebih maju peradabannya tanpa agama? Bukankah peradaban itu merupakan hasil olah pikir akal manusia? Mengapa di dunia belahan timur yang mengaku beragama masyarakatnya justru tertinggal? Adakah yang salah antara hubungan akal dan agama yang berdasarkan pengertian awal bahwa keduanya adalah ibarat dua sisi mata uang?. Demikianlah pertanyaan-pertanyaan yang akan dan harus dimunculkan jika masalah hubungan antara akal dan agama ini dibahas.
Beberapa alternatif jawaban bisa diberikan berkenaan dengan masalah tersebut. Logika apa yang terjadi dalam hubungan antara akal dan agama yang sesuai menurut teori tapi pada praktek (kenyataan)nya bertentangan dengan apa yang terjadi di sekitar kita saat ini. 
Pertama, ada agama yang mematikan pertanyaan akal (membunuh akal). Sehingga tidak mampu menghasilkan masyarakat yang tinggi tingkat intelektual sekaligus  spiritualnya.
Kedua, ada agama yang memberikan peran kepada akal, tapi tidak dikenal atau belum dipelajari oleh ilmuwan (saintis) atau masyarakat yang mengaku tidak  memeluk agama tersebut. Hal tersebut terjadi karena kebelumtahuan, keengganan, atau kemalasan saja untuk mempelajari pengetahuan agama. Dengan kata lain, di antara sekian banyak ajaran agama yang ada,  terdapat agama yang ajarannya rasional/masuk akal. (Lihat syarat-syarat agama yang benar pada edisi jumat yang lalu dari buletin ini-pen) 
Ketiga, harus dibedakan antara agama dan tafsiran terhadap  agama. Sebagai contoh, bisa jadi tafsiran sebagian orang Islam terhadap Islam salah. Sementara Islam sendiri tetaplah sebuah ajaran agama yang lurus/haq. Kesalahan penafsiran ini menjadikan masyarakat Islam mengalami kemunduran.
Jika ajaran Islam menyuruh manusia untuk memfungsikan akalnya maka sebagian umat Islam saat ini ternyata masih mengunci mati, membunuh atau belum mengoptimalkan akal nya .
Keempat, kenyataan saat ini yang terjadi adalah masih banyaknya manusia (baik yang mengaku beragama ataupun yang tidak) belum mampu menggunakan akalnya sehingga dapat mengendalikan hawa nafsunya. Dorongan hawa nafsu dapat menyuruh manusia untuk melakukan perbuatan-perbuatan buruk yang mengakibatkan terjadinya  ketidakseimbangan kehidupan baik alam maupun sosial. Hawa nafsu ingin berkuasa yang berlebihan menjadikan seseorang menindas manusia yang lain. Hawa nafsu terhadap kekayaan yang berlebihan menjadikan seseorang mengeksploitasi alam dan sesama manusia secara tidak adil. Sementara hawa nafsu syahwat yang berlebihan menjadikan orang kalap sehingga melupakan tata cara dan etika yang benar dalam melakukan kehidupan seksualnya.
Dari alternatif jawaban-jawaban tersebut dapat diketahui bahwa manusia yang menemukan agama yang rasional serta mampu mengendalikan hawa nafsunya melalui akal akan mampu membangun masyarakat berperadaban tinggi, berkeadilan, yang ditopang oleh sains dan teknologi yang maju tapi tetap berlandaskan pada nilai-nilai agama (religius).

Peran akal

Permasalahan selanjutnya ketika masalah hubungan akal dan agama sudah terjawab adalah bagaimana sebenarnya peran akal itu?
Peran penting akal tersebut dapat dibagi menjadi tiga bagian (dalam Hawa Nafsu, karya Muhamad Mahdi al Ashify, 72)
1.    Mengenal Allah swt. sebagai pangkal dan titik tolak tugas akal.
2.    Ketaatan mutlak kepada segala perintah  Allah swt
3.    Ketakwaan kepada Allah swt, yang merupakan sisi lain dari ketaatan kepada Allah, yang berupa melaksanakan kewajiban dan menjauhi laranganNya.
Berdasarkan hadits, Rasulullah saww bersabda: “akal terbagi menjadi tiga bagian, dan barangsiapa menyandangnya maka sempurnalah akalnya, dan yang tidak, maka dia tidak berakal.
1.    Mengenal Allah swt secara benar
2.    Ketaatan yang mutlak kepada Allah swt
3.    Kesabaran yang mendalam untuk menjalankan perintah-Nya” (Biharul Anwar 1 : 106)

Penutup

Setelah mengetahui  hubungan  mengenai akal dan agama serta peran akal yang benar, maka  dapat disimpulkan bahwa sumber pengetahuan dalam diri manusia berupa akal adalah alat maha penting yang harus benar-benar dioptimalkan agar manusia dapat mengenal Tuhannya.
Munculnya keinginan yang kuat untuk mendekatkan diri kepada yang maha sempurna merupakan tanda-tanda telah difungsikannya akal seorang manusia. Akankah kita terus mengikuti godaan gejolak hawa nafsu yang buruk, menutup peran akal yang merupakan pengendalinya dan terus-menerus enggan mengenal dzat yang menciptakan kita melalui pengetahuan agama yang sejalan dengan akal?.

t tiga cara, ketiga cara tersebut adalah:
Indera: Yang paling penting di antara mereka adalah pendengaran dan penglihatan;
Akal serta pemikiran: Dalam ruang lingkup yang terbatas dan sesuai dengan landasan-landasan serta dasar-dasarnya yang khusus, akal dapat menyingkap hakikat dengan pasti dan yakin;
Wahyu: Dengan perantara manusia pilihan  dan memiliki kedudukan yang tinggi dapat menjembatani hubungan manusia dengan alam gaib.
Dua cara yang pertama merupakan hal yang umum yang mana semua manusia dapat mengenal alam semesta melalui keduanya, begitu juga dua cara tersebut dapat membantu manusia dalam memahami syariat. Adapun cara yang ketiga hanya orang-orang khusus yang mendapatkan inayah Ilahi, dan orang-orang tersebut adalah para nabi Allah Swt.
            Adapun penggunaan indera hanya untuk hal-hal yang dapat di persepsi dan nampak saja, begitu juga akal dapat kita aplikasikan pada permasalahan yang sifatnya terbatas dan memiliki landasan untuk itu, akan tetapi aplikasi wahyu lebih luas dan mencakup seluruh permasalahan, lebih umum dan luas dari permasalahan akidah dan hukum.
            Al-Qur'an menjelaskan permasalahan ini dalam beberapa ayatnya, sebagai contoh kami sebutkan:
"Dan Allah yang telah mengeluarkan kamu dari perut ibu kamu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apapun, kemudian Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati agar supaya kamu bersyukur". (Qs. an-Nahl [16]: 78)
Adapun kata  "al-Af-idah" dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari kalimat "Fuâd" yang memiliki makna "Pendengaran" dan "penglihatan" (mata hati) serta akal dan daya fikir manusia, dan pada akhir ayat Allah Swt menyuruh kita untuk bersyukur dan juga sekaligus menekankan bahwa manusia harus menggunakan ketiga nikmat tersebut, karena makna dari syukur itu sendiri adalah menggunakan nikmat pada tempatnya yang sesuai.
            Adapun mengenai wahyu,  al-Qur'an menyatakan:
"Dan tidaklah Kami mengutus laki-laki (para nabi-nabi) sebelum kamu kecuali Kami turunkan wahyu pada mereka, maka bertanyalah kamu pada orang-orang yang mengetahui apabila kamu tidak mengetahui". (Qs. an-Nahl [16]: 43)
            Manusia yang beragama akan senantiasa menggunakan indera yang diberikan oleh Allah Swt untuk mengenal alam jagat raya ini dan memahami agama. Kebanyakan dari seluruh hasil persepsi indera akan menjadi dasar serta wadah pertimbangan bagi akal, kemudian akal akan membawa dan merumuskan hasil semua persepsi tadi untuk mengenal Allah Swt, sifat-sifat serta segala perbuatanNya. Adapun segala yang dipersepsi oleh ketiga jalan ini semuanya sangat berfungsi dan dapat digunakan untuk mengungkap kebenaran.[1]
Dasar Kedua
            Pada hakikatnya para nabi As memusatkan dakwahnya pada dua perkara: akidah dan amal. Adapun pusat pembahasan akidah berkisar pada iman akan keberadaan Tuhan, sifat serta keagungan Ilahi, dan segala perbuatan-Nya.[2] Sedangkan yang dimaksud dengan amal adalah segala taklif dan kewajiban serta hukum-hukum yang ditetapkan, yang mana manusia dalam menjalankan kehidupan pribadi dan sosialnya harus berdasarkan hukum-hukum tertentu dari Tuhan.
Dalam permasalahan akidah yang menjadi tolok ukur dan standar adalah Ilmu serta Yakin, karena kedua hal ini merupakan hujjah untuk mendapatkan akidah yang pasti. Oleh karena itu,  seorang muslim harus mencapai pada derajat yakin dalam permasalahan akidah dan tidak dibenarkan sama sekali  taklid atau bersandar pada orang lain dalam masalah ini.
            Adapun dalam permasalahan taklif serta hukum (amal), hal yang sangat ditekankan adalah pengamalan pada setiap strata kehidupan manusia. Dalam hal ini, di samping yakin dalam mengamalkannya juga harus bersandar pada penegasan syariat dan merujuk pada seorang mujtahid yang memiliki seluruh syarat-syaratnya. Dan ini merupakan salah satu jalan untuk mempunyai legilitas khusus dari orang yang mempunyai wilayah penuh atas syariat. Insya Allah pada pembahasan yang akan datang kita akan membahas dan membincangkannya secara lebih detail.
Dasar Ketiga, Pada pembahasan di atas telah kita tetapkan bahwa untuk penetapan permasalahan akidah dan hukum-hukum dapat di gunakan dua metode dan pendekatan yang telah diperkenalkan, yang  mana dalam hal ini adalah akal dan wahyu. Adapun yang di maksud dari wahyu adalah kitab samawi, yakni al-Qur'an karim dan seluruh hadits yang silsilahnya berakhir pada nabi Saw. Seluruh hadits para Imam As pun, sebagaimana yang akan dijelaskan nanti, termasuk pada silsilah serta sanad yang menjadi hujjah Ilahi.
            Akal dan wahyu satu sama lain saling menguatkan dalam kehujjahannya. Jika dengan hukum pasti, akal dapat menetapkan kehujjahan wahyu maka begitu juga sebaliknya wahyu pun menetapkan kehujjahan akal pada permasalahan tertentu. Al-Qur'an sering menekankan dalam beberapa permasalahan akan peran akal dan penggunaannya, mengajak manusia untuk merenungkan serta memikirkan tentang keindahan dan keunikan proses penciptaan, dan al-Quran sendiri menekankan untuk menggunakan akal untuk membuktikan kebenaran kandungan dakwahnya. Tidak ada kitab samawi yang kandungannya dipenuhi dengan pengetahuan dan disertai pembuktian seperti halnya al-Quran, dan dalam al-Qur'an terdapat pembuktian-pembuktian yang bersifat rasional yang tidak terbatas tentang segala pengetahuan dan pembahasan akidah. Para Imam Ahlulbait As,   mengafirmasikan nilai argumentasi akal dalam permasalahan yang akal dapat menghukuminya. Imam ketujuh Musa Kazhim As menyatakan dengan jelas bahwa wahyu adalah hujjah lahiri dan akal adalah hujjah batini.[3]
Dasar Keempat
            Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa wahyu merupakan dalil yang kuat dan akal adalah sebuah lentera yang Tuhan nyalakan dalam jiwa manusia, dan selamanya tidak akan pernah terjadi pertentangan di antara keduanya. Kalau pun terkadang kita persepsi terjadi pertentangan maka harus kita koreksi bahwa mungkin terdapat kesalahan dari cara pengambilan kesimpulan kita terhadap permasalahan agama atau terdapat kesalahan dalam pendahuluan-pendahuluan pembuktian akal, karena Tuhan Yang Mahabijaksana tidak pernah mengajak manusia pada dua jalan yang satu sama lain saling berkontradiksi.
            Sebagaimana tidak terdapat pertentangan antara akal dan wahyu, begitu juga tidak terdapat pertentangan antara ilmu dengan wahyu. Jika kita melihat terjadi pertentangan di antara keduanya  maka kita tetap mesti menyatakan bahwa mungkin terdapat kekeliruan dalam pengambilan kesimpulan permasalahan agama, atau bisa juga ilmu yang berkenaan dengan masalah tersebut belum mencapai tingkat kepastian. Pada dasarnya kebanyakan sumber dari pertentangan itu sendiri adalah masalah yang kedua, yang dalam hal ini terdapat konsep-konsep ilmu yang tidak pasti, namun serta merta diklaim  ilmu yang pasti itu sendiri.  Dengan keadaan seperti ini maka tentu saja bisa muncul gambaran  pertentangan di antara ilmu dan wahyu.
Dasar Kelima
            Adapun masalah sistem aturan yang Mahabijak yang terdapat pada alam jagat raya ini, pada hakikatnya hal tersebut lepas dari pemikiran dan gambaran kita semua, yang hakikatnya  merupakan suatu ketentuan, keabadian, dan kekal. Dengan demikian, apabila manusia melalui salah satu alat pengenalannya dapat mengungkap suatu realitas yang aslinya adalah hakikat itu sendiri, maka harus di katakan bahwa itu adalah kebenaran dan akurat, dan jika dalam mengungkap suatu hakikat, sebagian ilmu sesuai dengan hakikat itu dan sebagian lainnya tidak sesuai, maka ilmu yang sesuai tadi merupakan kebenaran untuk selamanya dan kebenaran tersebut tidak akan berubah hanya karena faktor berubahnya syarat-syarat yang terdapat pada lingkungan. Dengan kata lain, jika suatu pengetahuan terhadap realitas dinisbahkan dengan kondisi dan zaman, ia pada suatu zaman menjadi hakikat dalam zaman itu dan di zaman yang lain bisa menjadi berubah, maka pengetahuan seperti ini tidak dapat diterapkan pada permasalahan yang sifatnya takwini atau pasti, seperti contoh: jikalau hasil dari 2x2=4 maka hasilnya mutlak seperti ini, dan jika tidak seperti itu maka hasilnya mutlak tidak seperti itu, dan pengetahuan seperti ini tidak mungkin pada suatu zaman merupakan hakiki dan di zaman lain bukan hakiki.
            Penisbahan suatu pengetahuan merupakan bagian dari perkara gambaran manusia, yang kebenaran dan pengesahannya hanya dianalisa melalui pemikiran manusia dan tidak lebih dari itu. Sebagai contoh jikalau sebuah masyarakat yang menjalankan sistem pemerintahan dan birokrasinya tidak mengikuti wahyu Ilahi maka yang terjadi adalah mereka bebas menentukan sistem aturan pemerintahan mereka, sehingga jika suatu hari mereka bersepakat atas suatu sistem aturan sampai pada zaman tertentu dimana kesepakatan sistem tersebut masih berlaku di antara mereka maka sistem tersebut merupakan suatu hakikat buat mereka pada zaman itu, akan tetapi jika suatu hari mereka bersepakat atas hal yang bertentangan dengan sistem pertama maka hakikat yang kedua akan tercipta, dimana setiap kesepakatan sistem tersebut sama-sama sebagai suatu hakikat di zamannya masing-masing, akan tetapi setiap kesepekatan tersebut masing-masing mempunyai realitas yang berbeda dan mempunyai batasan-batasan tersendiri. Ketika mereka yakin bahwa apa yang mereka sepakati itu adalah puncak dari pengetahuan mereka dan mereka yakin bahwa itu adalah suatu hakikat maka hal tersebut untuk selamanya merupakan hakikat dan begitu juga hal yang bertentangan dengan hakikat tersebut selamanya batil dan tidak mempunyai landasan.[]
[1]. Penyucian serta pembersihan jiwa manusia dari maksiat dan segala dosa menyebabkan dasar turunnya ilham-ilham Ilahi yang mana sebagian ulama menganggap hal tersebut merupakan salah satu alat pengetahuan.
[2]. Mengutus para Nabi, menentukan para pengganti dan membangkitkan kembali seluruh manusia setelah mati, semua itu merepukan bagian dari perbuatan Ilahi.
[3]. Sesungguhnya Allah memiliki dua hujjah atas setiap manusia: hujjah lahiri dan hujjah batini, hujjah lahiri adalah para Rasul, para Nabi serta para Imam As, adapuhujjat batini adalah akal. Kulaini, al-Kafi : 1/160 , Mansyur Aqaid Imamiyyah, hal : 13 Ustad Ja'far Subhani.

Epistemologi dan Pandangan Dunia
Pandangan dunia (weltanschauung) seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, di antaranya konsepsi dan pengenalannya terhadap "kebenaran" (asy-Syai fil khârij).  Kebenaran yang dimaksud di sini adalah segala sesuatu yang berkorespondensi dengan dunia luar dan realitas. Semakin besar pengenalannya,  semakin luas dan dalam pandangan dunianya. Pandangan dunia yang valid dan argumentatif dapat melesakkan seseorang mencapai titik-kulminasi peradaban dan sebaliknya akan membuatnya terpuruk hingga titik-nadir peradaban. Karena nilai dan kualitas keberadaan kita sangat bergantung kepada pengenalan kita terhadap kebenaran.  Anda dikenal atas apa yang Anda kenal. Wujud anda ekuivalen dengan pengenalan Anda dan vice-versa.
Akan tetapi, bagaimanakah kebenaran itu dapat dikenal?   Parameter atau paradigma apa yang digunakan untuk dapat mengidentifikasi kebenaran itu? Mengapa kita memerlukan paradigma atau parameter  ini? Dapatkah manusia mencerap kebenaran itu?
Kalau kita menilik perjalanan sejarah umat manusia,  sebagai makhluk dinamis dan progresip, manusia acapkali dihadapkan kepada persoalan-persoalan krusial tentang hidup dan kehidupan, tentang ada dan keberadaan, tentang perkara-perkara eksistensial. Penulusuran,  penyusuran serta jelajah manusia untuk menuai jawaban atas masalah-masalah di atas membuat eksistensi manusia jauh lebih berarti.  Manusia berusaha bertungkus lumus memaknai keberadaannya untuk mencari jawaban ini.  Till death do us apart, manusia terus mencari dan mencari hingga akhir hayatnya. Ilmu-ilmu empiris dan ilmu-ilmu naratif lainnya ternyata tidak mampu memberikan jawaban utuh dan komprehensif atas masalah ini.[1] Karena uslub atau metodologi ilmu-ilmu di atas adalah bercorak empirikal.
Filsafat sebagai induk ilmu pengetahuan hadir untuk mencoba memberikan jawaban atas masalah ini. Karena baik dari sisi metodologi atau pun subjek keilmuan, filsafat menggunakan metodologi rasional dan subjek ilmu filsafat adalah eksisten qua eksisten.[2]  Betapa pun, sebelum memasuki gerbang filsafat terlebih dahulu instrumen yang digunakan dalam berfilsafat harus disepakati.  Dengan kata lain,  akal yang digunakan sebagai instrumen berfilsafat harus diuji dulu validitasnya, apakah ia absah atau tidak dalam menguak realitas. Betapa tidak, dalam menguak realitas terdapat perdebatan panjang semenjak zaman Yunani Kuno (lampau) hingga masa Postmodern (kiwari)  antara kubu rasionalis (rasio) dan empiris (indriawi dan persepsi). Semenjak Plato hingga Michel Foucault dan Jean-François Lyotard. Dengan demikian, pembahasan epistemologi sebagai subordinat dari filsafat menjadi mesti adanya.
Yakni, sebelum kita merangsek memasuki kosmos filsafat – yang nota-bene menggunakan akal (an-sich) – kita harus membahas instrumen dan metodologi apa yang valid untuk menyingkap tirai realitas ini.  Dan hal ini merupakan raison d'être pembahasan epistemologi. Atau sederhananya, pembahasan epistemologi adalah pengantar menuju pembahasan filsafat. Tentu saja, harus kita ingat bahwa ilmu logika juga harus rampung untuk menyepakati bahwa dunia luar terdapat hakikat dan untuk mengenalnya adalah mungkin.[3] Walhasil,  pembahasan epistemologi -sebagai ilmu yang meneliti asal-usul, asumsi dasar, sifat-sifat, da bagaimana memperoleh pengetahuan menjadi penentu penting dalam menentukan sebuah model filsafat - harus dikedepankan sebelum membahas perkara-perkara filsafat.

Apa itu Epistemologi

Epistemologi derivasinya dari bahasa Yunani yang berarti teori ilmu pengetahuan. Epistemologi merupakan gabungan dua kalimat episteme, pengetahuan; dan logos, teori. Epistemologi adalah cabang ilmu filsafat yang menengarai masalah-masalah filosofikal yang mengitari teori ilmu pengetahuan. Epistemologi bertalian dengan definisi dan konsep-konsep ilmu, ragam ilmu yang bersifat nisbi dan niscaya, dan relasi eksak antara 'alim (subjek) dan ma'lum (objek). Atau dengan kata lain, epistemologi adalah bagian filsafat yang meneliti asal-usul, asumsi dasar, sifat-sifat, dan bagaimana memperoleh pengetahuan menjadi penentu penting dalam menentukan sebuah model filsafat. Dengan pengertian ini epistemologi tentu saja menentukan karakter pengetahuan, bahkan menentukan “kebenaran” macam apa yang dianggap patut diterima dan apa yang patut ditolak.

Masalah-masalah Filosofis; Masa  Yunani dan Masa Medieval

Pada abad ke-13, seorang filosof dan teolog Itali yang bernama Santo Thomas Aquinas berupaya mensintesakan keyakinan Nasrani dengan ilmu pengetahuan dalam cakupan yang lebih luas, dengan memanfaatkan sumber-sumber beragam seperti karya-karya filosof Aristoteles, cendekiawan Muslim dan Yahudi. Pemikiran Santo Thomas Aquinas pada masa-masa kiwari sangat mempengaruhi irama dinamika teologi Nasrani dan kosmos filsafat Barat.
Pada abad ke-5 SM, Sophist Yunani menanyakan kemungkinan reliabilitas dan objektivitas ilmu. Oleh karena itu, seorang Sophist prominen, Gorgias, berpendapat bahwa tidak ada yang benar-benar wujud, karena jika sesuatu ada tidak dapat diketahui, dan jika ilmu bersifat nisbi, tidak dapat dikomunikasikan. Seorang Sophist ternama lainnya, Protagoras, berpandangan bahwa tidak ada satu pendapat pun yang dapat dikatakan lebih benar dari yang lain, karena setiap pendapat adalah hanyalah sebuah penilaian yang berakar dari pengalaman yang dilaluinya. Plato, mengikuti ustadznya Socrates, mencoba untuk menjawab isykalan-isyakalan para Sophist dengan mempostulasikan keberadaan semesta yang bersifat tetap dan bentuk-bentuknya yang invisible, atau ide-ide, yang melaluinya ilmu pasti dan eksak dapat diraih. Mereka percaya bahwa benda-benda yang dilihat dan diraba adalah kopian-kopian yang tidak sempurna dari bentuk-bentuk yang sempurna yang dikaji dalam ilmu matematika dan filsafat. Dengan demikian, hanya penalaran abstrak dari disiplin ilmu ini yang dapat menuai ilmu pengetahuan original, sementara mengandalkan indra-persepsi menghasilkan pendapat-pendapat yang inkonsisten dan mubham.  Mereka menyimpulkan bahwa kontemplasi filosofis tentang bentuk-bentuk dunia gaib merupakan tujuan tertinggi kehidupan manusia.
Aristoteles mengikuti Plato ihwal ilmu abstrak adalah ilmu yang lebih superior atas ilmu-ilmu yang lainnya, namun tidak setuju dengan metode dalam mencapainya. Aristotels berpendapat bahwa hampir seluruh ilmu berasal dari pengalaman. Ilmu diraih baik secara langsung, dengan mengabstraksikan ciri-ciri khusus dari setiap spesies, atau tidak langsung, dengan mendeduksi kenyataan-kenyataan baru dari apa yang telah diketahui, berdasarkan aturan-aturan logika. Observasi yang teliti dan ketat dalam mengaplikasikan aturan-aturan logika, yang pertama kalinya disusun secara sistematis oleh Aristoteles, akan membantu menjaga dari perangkap-perangkap yang dipasang oleh para Sophist. Maktab Epicurian dan Stoic sepakat dengan pandangan Aristoteles bahwa ilmu pengetahuan bersumber dari indra-persepsi, akan tetapi menentang keduanya baik Aristoteles atau pun Plato yang berpandangan bahwa filsafat harus dinilai sebagai sebuah bimbingan praktis untuk menjalani hidup, mereka berpendapat sebaliknya bahwa filsafat adalah akhir dari kehidupan.
Setelah beberapa kurun berlalu kurangnya ketertarikan dalam ilmu rasional dan saintifik, filosof Skolastik Santo Thomas Aquinas dan beberapa filosof abad pertengahan berusaha membantu untuk mengembalikan konfidensi terhadap rasio dan pengalaman, mencampur metode-metode rasional dengan iman dalam sebuah sistem keyakinan integral. Aquinas mengikuti Aristoteles dalam masalah tentang persepsi sebagai starting-point dan logika sebagai prosedur intelektual untuk sampai kepada ilmu yang dapat diandalkan (reliable) tentang tabiat, akan tetapi memandang iman dalam otoritas skriptural sebagai nara sumber keyakinan agama.
Masa Plato dan Aristoteles
Plato dapat dikatakan sebagai filsuf pertama yang secara jelas mengemukakan epistemologi dalam filsafat, meskipun ia belum menggunakan secara resmi istilah epistemologi ini. Filsuf Yunani berikutnya yang berbicara tentang epistemologi adalah Aristoteles. Ia murid Plato dan pernah tinggal bersama Plato selama kira-kira 20 tahun di Akademia. Pembahasan tentang epistemologi Plato dan Aristoteles akan lebih jelas dan ringkas kalau dilakukan dengan cara membandingkan keduanya, sebagaimana berikut ini, 
Topik Pemikiran:
Pandangan tentang dunia, menurut Plato, Ada 2 dunia:  dunia ide & dunia sekarang (semu) sementara dalam pandangan Aristoteles, Hanya 1 dunia: Dunia nyata yang sedang dijalani. Kenyataan sejati,  menurut Plato, Ide-ide berasal dari dunia ide. Sementara dalam kacamata Aristoteles, segala sesuatu yang ada di alam bisa diindera. Pandangan tentang manusia, menurut Plato, Terdiri dari badan dan jiwa. Jiwa abadi; badan fana (tidak abadi), Jiwa terpenjara oleh badan. Sementara dalam pandangan Aristoteles, badan dan jiwa sebagai satu kesatuan tak terpisahkan.  Asal pengetahuan, menurut Plato, dunia ide, namun tertanam dalam jiwa setiap manusia. Sementara dalam pandangan Aristoteles, kehidupan  dunia dan alam nyata.
Cara meraih pengetahuan, menurut Plato, terpancar dari alam jiwa (Anamnesis). Sementara dalam pandangan Aristoteles, observasi dan abstraksi lalu diolah dengan logika. Perbedaan epistemologi Plato dan Aristoteles ini memiliki pengaruh besar terhadap para filsuf modern. Idealisme Plato mempengaruhi filsuf-filsuf Rasionalis seperti Spinoza, Leibniz, dan Whitehead. Sedangkan pandangan Aristoteles tentang asal dan cara memperoleh pengetahuan mempengaruhi filsuf-filsuf Empiris seperti Locke, Hume, dan Berkeley. 

Rasio Vs Indra Persepsi

Antara abad 17 hingga akhir abad ke-19, masalah utama yang muncul dalam pembahasan epistemologi adalah resistensi antara kubu rasionalis vis-à-vis  kubu empiris (inderawi-persepsi). Filsuf Francis, René Descartes (1596-1650), filsuf Belanda, Baruch Spinoza (1632-1677), dan filsuf Jerman, Wilhelm Leibniz (1646-1716) adalah para pemimpin kubu rasionalis. Mereka berpandangan bahwa sumber utama dan pengujian akhir ilmu pengetahuan adalah  logika deduktif  (baca: qiyas) yang bersandarkan kepada prinsip-prinsip swabukti (badihi) atau axioma-axioma.  Sementara orang-orang seperti,  Francis Bacon ( 1561-1626) and John Locke (1632-1704) keduanya adalah filsuf Inggris berkeyakinan bahwa sumber utama dan pengujian akhir ilmu pengetahuan adalah bersandar kepada pengalaman,  persepsi dan inderawi.
Filsuf Francis René Descartes secara rigoris menggunakan metode deduksi dalam jelajah filsafatnya. Barangkali Descartes ini dikenal baik atas karya pionirnya untuk bersikap skeptis dalam berfilsafat. Dialah yang pertama kali memperkenalkan metode sangsi dalam investigasi terhadap ilmu pengetahuan.
Descartes yang kerap disebut sebagai Bapak Filsafat Modern (sekaligus filsafatnya kemudian dikenal sebagai Cartesians) ini dalam mengusung metode rasionalnya, dia menggunakan metode sangsi dalam menyikapi pelbagai fenomena atau untuk mencerap ilmu pengetahuan. Postulat,  Cogito Ergo Sum adalah milik Descartes. Rumusan postulat ini yang menemaninya untuk menyingkap ilmu pengetahuan. Menurut Descartes segala sesuatu yang berada di dunia luar harus disangsikan dan diragukan. Pandangan Descartes tentang manusia bersifat dualisme. Ia melihat manusia sebagai dua substansi: jiwa dan tubuh. Jiwa adalah pemikiran dan tubuh adalah keluasan. Tubuh tidak lain adalah suatu mesin yang dijalankan jiwa. Hal ini dipengaruhi oleh epistemologinya yang memandang rasio sebagai hal yang paling utama pada manusia.
Empirisme pertama kali diperkenalkan oleh filsuf dan negarawan Inggris Francis Bacon pada awal-awal abad ke-17, akan tetapi John Locke yang kemudian mendesainnya secara sistemik yang dituangkan dalam bukunya "Essay Concerning Human Understanding (1690). John Locke memandang bahwa akal manusia pada awal lahirnya adalah ibarat sebuah tabula rasa, sebuah batu tulis kosong tanpa isi, tanpa pengetahuan apapun. Lingkungan dan pengalamanlah yang menjadikannya berisi.      Pengalaman inderawi menjadi sumber pengetahuan bagi manusia dan cara mendapatkannya lewat observasi dan pemanfaatan seluruh indera manusia. John Locke adalah orang yang tidak percaya terhadap konsepsi intuisi dan batin. Filsuf empirisme lainnya adalah Hume. Ia memandang manusia sebagai sekumpulan persepsi (“a bundle or collection of perceptions”). Manusia hanya mampu menangkap kesan-kesan saja lalu menyimpulkan kesan-kesan itu seolah-olah berhubungan. Pada kenyataannya, menurut Hume, manusia tidak mampu menangkap suatu substansi. Apa yang dianggap substansi oleh manusia hanyalah kepercayaan saja. Begitu pula dalam menangkap hubungan sebab-akibat. Manusia cenderung menganggap dua kejadian sebagai sebab dan akibat hanya karena menyangka kejadian-kejadian itu ada kaitannya, padahal kenyataannya tidak demikian. Selain itu, Hume menolak ide bahwa manusia memiliki kedirian (self). Apa yang dianggap sebagai diri oleh manusia merupakan kumpulan persepsi saja.

Urgensi Epistemologi

Dunia ini penuh dengan berbagai maktab dan ideologi. Setiap ideologi berlandaskan pada suatu "pandangan dunia", dan "pandangan dunia" ini berpijak pada epistemologi. Dari sini manusia mengetahui dengan jelas betapa pen­tingnya epistemologi. Seseorang yang memiliki ideologi materialisme, yang tentunya ideologi itu berlandaskan pada pandangan dunia materialis, dan pandangan ini juga berpijak pada suatu epistemologi khusus. Dan ideologi-ideologi yang lain, juga bersumber dari pandangan-pandangan dunia lain, dan pandangan-pandangan ini masing-masing berpijak pada epistemologi-epistemologi tertentu. Oleh karena itu, sebelum memasuki berbagai pembahasan berkenaan dengan ideologi dan pandangan dunia, terlebih dahulu akan dijelaskan hal-hal yang berkaitan dengan masalah epistemologi.
Pada masa sekarang ini epistemologi merupakan suatu masalah yang amat penting, sedangkan pada masa yang lalu hal ini tidak begitu dianggap penting. Epistemologi telah dikaji sejak dahulu kala, kurang lebih sejak dua ribu tahun yang lalu. Di dalam filsafat Islam, kita tidak akan menjumpai suatu bab yang berjudul Nazhariah al-Ma`rifah atau "Teori Pengetahuan". Tetapi sebagian besar persoalan yang menyangkut masalah epistemologi, dipaparkan secara terpisah-pisah dalam berbagai pembahasan berkenaan dengan ilmu, pengetahuan, pemahaman, rasio, logika, dan berbagai permasalahan tentang bentuk pemikiran dan yang berhubungan dengan diri dan jiwa. Oleh karena itu, sejak dahulu kala sedikit banyak mereka juga memahami masalah epistemologi, tetapi pada masa sekarang ini, pembahasan filsafat lebih banyak berputar pada masalah epistemologi.

Kemungkinan Epistemologi

Pembicaraan pertama dan klasik dalam bab epistemologi adalah mungkinkah epistemologi itu? Mungkinkah kita mengetahui dan memahami hakikat alam ini? Mungkinkah kita memahami hakikat manusia? Mungkinkah mengetahui hakikat wujud ini?[4] Ada sekelompok orang yang secara total menolak adanya kemungkinan ini, dan mengatakan bahwa epistemologi tidak mungkin ada pada diri manusia. Yakni pada diri manusia tidak ada suatu bentuk epistemologi yang dapat dijadikan sebagai sandaran yang bisa dipercaya. Istilah "saya tidak tahu" sudah merupakan kodrat, ketentuan dan nasib manusia yang tidak dapat diubah. Secara sekilas pandangan ini lemah dan tidak perlu dihiraukan, tetapi para pendukung gagasan ini memiliki berbagai argumen yang kuat, yang tidak mudah dipatahkan. Saya tidak hendak mengatakan bahwa hal itu tidak mungkin (mematahkan argumen mereka), tetapi saya mengatakan bahwa hal itu tidak mudah.

Pyrho dan Kemungkinan Epistemologi

Pada masa setelah Socrates, ada sekelompok orang yang menamakan dirinya "Kelompok Peragu" dan yang paling terkenal di antara mereka adalah seorang yang bernama Pyrho. Ia mengungkapkan sepuluh argumen mengenai ketidakmungkinan epistemologi. Ia mengatakan, "mustahil dapat mengetahui sesuatu dengan pasti, ragu-ragu dan saya tidak tahu adalah ketentuan dan nasib pasti manusia". Argumen yang paling ringan ialah tatkala ia menyatakan, "Jika manusia itu hendak memahami dan mengetahui sesuatu, apa alat dan instrumen yang akan ia gunakan? Kita tidak memiliki alat lebih dari dua: indera dan rasio. Sekarang saya bertanya, Apakah indera dapat berbuat kesalahan ataukah tidak? Pasti semua menjawab bahwa kesalahan yang terjadi pada alat penglihatan, pendengaran, perasa, peraba dan penciuman tidak dapat dihitung jumlahnya, dan bahkan ada yang menyatakan mampu untuk membuktikan seratus kesalahan yang telah dilakukan oleh alat penglihatan. Ia melanjutkan, "Sesuatu yang ada kemungkinan salah dan dapat menjadi salah, tidak dapat dijadikan sebagai pegangan dan sandaran. Ketika saya melihat sesuatu dan ternyata penglihatan saya itu salah, maka saya tidak dapat mempercayai penglihatan saya tatkala penglihatan itu melihat sesuatu yang lain." (Islam dan Epistemologi, hal. )
Lalu bagaimanakah dengan rasio? Ia mengatakan, "Rasio justru banyak melakukan kesalahan melebihi indera. Pada berbagai argumen rasional, ilmuwan dan para filsuf seringkali melakukan kesalahan. Dengan demikian, indera dan rasio dapat melakukan kesalahan, sementara kita hanya memiliki dua alat ini. Oleh karena itu, bagaimanapun dan apa pun yang kita pikirkan, apa pun yang berhubungan dengan rasio dan indera, maka jelas dapat menjadi salah, dengan demikian, kita tidak dapat mempercayainya dan menjadikan keduanya itu sebagai pegangan." (Mengenal Epsitemologi, Muthahhari, hal. 25)

Keraguan al-Ghazali

Di antara ulama Islam seseorang yang pertama kali memulai filsafat dan madrasahnya dari keraguan adalah al-Ghazali. Al-Ghazali memulai aktivitasnya dari keraguan, sebagaimana yang dilakukan oleh Descartes. Kedua sosok itu berangkat dari titik yang sama. Keduanya memulai aktivitasnya dari keraguan dan keduanya menyatakan bahwa telah berhasil meraih keyakinan. Tetapi ada dari mereka yang memulai aktivitasnya dari keraguan dan tetap berada dalam keraguan, hal ini terdapat dalam dunia Islam dan juga dunia Barat dan jika ada kesempatan saya akan menceritakan ringkasan sejarahnya. Tatkala al-Ghazali hendak memulai menuntut ilmu, ia meragukan segala yang ada. Yakni dia meragukan apa saja yang telah ia gapai. Ia mulai menuju indera dan mengatakan, "Sekarang saya duduk di sini, buku ada di depan saya, pena dan kertas ada di tangan saya, saya tengah melihat angkasa, saya tengah mendengar berbagai suara, sekalipun saya ragu terhadap berbagai hal, tetapi saya tidak dapat ragu terhadap keraguan saya ini". Kemudian dia memberi jawaban kepada dirinya sendiri, (bahkan di sini pun dia masih tetap tidak stabil dan terjerumus dalam kesalahan). la mengatakan, "Wahai Ghazali! Sampai sekarang ini engkau masih tengah bermimpi. Misalnya saja dalam mimpi engkau duduk dan menulis buku, sedang berbicara dengan rekan-rekanmu, engkau mendengar pembicaraannya, dan di alam mimpi itu engkau melihat semuanya dengan mata kepalamu sendiri, memakan makanan yang lezat-lezat, dan semua itu tidak ubahnya seperti yang diungkapkan oleh Nasim Syumol mengenai keluhan si fakir yang hidup sengsara,
Suatu malam aku bermimpi mengenakan pakaian baru
Ku dengar alunan musik dan aku di ranjang yang hangat dan lembut
Sakuku penuh dengan uang yang tak terhitung
Tatkala terjaga, aku lihat sebagian anggota tubuhku tanpa pakaian
Wahai Ghazali! Tidakkah dalam alam mimpimu engkau telah melihat hal-hal yang semacam ini? Sebagaimana sekarang ini engkau tidak merasa ragu bahwa ini (keraguan) adalah benar, di alam mimpimu pun engkau tidak merasa ragu atas apa-apa yang engkau lihat saat itu. Pernahkah engkau menjumpai seseorang yang merasa ragu atas apa-apa yang ia lihat dalam mimpinya dan mengatakan, "Apakah yang aku lihat itu betul atau salah? Di alam mimpi manusia tidak akan merasa ragu, apa yang ia saksikan benar-benar ia saksikan, tetapi ketika ia terjaga, ternyata semua itu hanya khayalan dan tidak ada bentuknya, tatkala terjaga, aku lihat sebagian anggota tubuhku tanpa pakaian.
Mungkinkah seluruh kehidupanku ini bukan mimpi besar? Apakah tidak mungkin sekarang ini saya, Ghazali, yang dilahirkan oleh ibuku si fulana dan memiliki ayah si fulan, menuntut ilmu di sekolah, menikah, belajar selama bertahun-tahun, bertahun-tahun melatih diri, dan sekarang duduk di sini, lalu secara tiba-tiba saya terbangun dan menyaksikan bahwa semuanya hanyalah mimpi? Dari mana saya tahu kalau ini bukan mimpi? Adakah bukti yang memperkuat bahwa kehidupan saya sekarang ini, di mana sekarang ini saya duduk sebagai filsuf dan hendak menemukan suatu dasar pemikiran, adalah bukan merupakan lanjutan dari sebuah mimpi panjang?" (Mengenal Epsitemologi, Muthahhari, hal. 26)
Pernyataan itu menunjukkan bahwa betapa manusia dalam menghadapi permasalahan yang berhubungan dengan epistemologi dapat terperosok dalam berbagai jurang kesulitan.

Descartes dan Masalah Epistemologi

Bukankah Descartes juga demikian? Descartes juga pada saat meneliti "pandangan dunia"nya, memeriksa keyakinannya terhadap agama serta pengetahuan dan juga pada saat ia mengkaji ulang akhlak (etika), filsafat dan berbagai ilmu-ilmunya, tiba-tiba ia terperosok ke dalam masalah epistemologi dan mengatakan, "Dengan dalil apa tatkala saya menyatakan bahwa dunia ini adalah demikian, Tuhan itu ada, jiwa itu ada, ruh itu ada, dunia ini ada, Paris itu ada, agama al-Masih adalah demikian?" Kemudian ia menuju pada berbagai alat dan instrumen epistemologi, ia melihat bahwa semuanya masih dapat diperdebatkan lagi. la hendak bersandar pada indera, ia melihat bahwa indera adalah yang paling lemah dan rapuh dibandingkan yang lain. la hendak bersandar pada rasio, ia juga melihat bahwa rasio memiliki kelemahan. Tiba-tiba ia merasakan kehilangan keyakinan dan kepercayaan, ia mulai meragukan segalanya dan tidak tersisa lagi keyakinan dalam dirinya. Tatkala ia telah tenggelam dalam rasa bimbang dan ragu-ragu ini, tiba-tiba ia disadarkan oleh poin ini yang mana ia mengatakan, "Sekalipun saya meragukan segala yang ada, tetapi saya tidak ragu bahwa saya tengah dalam keadaan ragu." Descartes berdiri di atas sebuah batu besar di alam terbuka dan mengatakan, "Saya telah menemukan sesuatu; tatkala saya meragukan indera saya, meragukan berbagai pengetahuan rasio saya, atau bahkan meragukan pada keberadaan diri saya sendiri, juga meragukan keberadaan Tuhan, meragukan agama dan kehidupan saya, semua itu adalah benar. Tetapi saya tidak dapat merasa ragu pada satu hal saja yaitu, saya tidak ragu bahwa saya tengah merasa ragu. Bahkan sekalipun saya meragukannya, saya tetap mengetahui bahwa saya tengah merasa ragu." (Mengenal Epistemologi, Muthahhari, hal. 28)
Di bawah langit dan di tengah hamparan bumi itu ia telah berhasil menemukan suatu landasan epistemologi. Begitu ia menemukan landasan itu, dengan segera ia membangunnya dengan mengatakan, "Saya sekarang tengah merasa ragu, dan karena saya merasa ragu, berarti saya yang tengah merasa ragu ini, adalah ada." Di sini ia telah menemukan suatu keyakinan yakni bahwa "saya ini ada" dan ia mulai perjalanannya dengan "saya sekarang tengah merasa ragu, dan karena saya tengah merasa ragu, berarti saya yang tengah merasa ragu ini, adalah ada." Sekarang marilah kita lihat bersama benarkah apa yang dikatakan oleh Descartes? Ibnu Sina pada masa tujuh ratus tahun sebelum Descartes telah mengungkapkan kata-kata semacam itu, dan ia juga telah berhasil menemukan jawabannya, dan di sini saya tidak akan memaparkan permasalahan itu.

Jawaban atas Keraguan Pyrho

Jika demikian maka masalah pertama epistemologi adalah masalah kemungkinan epistemologi yang mana mungkinkah manusia memiliki kemampuan untuk memahami dan mengetahui? Pyrho mengatakan bahwa manusia itu tidak mampu untuk memahami dan mengetahui (hal itu berdasarkan pada argumen-argumennya yang telah dikemukakan). Terdapat jawaban dan sanggahan atas pandangan Pyrho ini. Dalam catatan kaki di buku Ushul Falsafeh (Dasar-dasar Filsafat) telah dipaparkan berbagai kesalahan atas pandangan ini. Mereka memberikan jawaban kepada Pyrho sebagai berikut, "Anda mengatakan bahwa indera dapat melakukan kekeliruan dengan dalil bahwa penglihatan saya terkadang keliru, suatu kali saya pernah melihat seakan-akan ada seorang yang berkepala dua, ranting pohon yang setengahnya berada dalam air terlihat patah dan lain sebagainya. Anda yang mengatakan bahwa indera dapat melakukan kekeliruan, apakah tatkala Anda menyaksikan indera melakukan kekeliruan, pada saat itu juga Anda merasa yakin bahwa itu adalah suatu kekeliruan, ataukah Anda merasa ragu bahwa indera itu telah melakukan kekeliruan? Tatkala Anda mengatakan bahwa ketika saya bangun dari tidur, dan saya mengusap kedua mata saya, saya melihat orang yang tengah berdiri di hadapan saya memiliki dua hidung dan empat mata, lalu Anda mengatakan bahwa ini adalah kekeliruan, apakah dalam hal ini Anda mengetahui dan yakin bahwa itu adalah kekeliruan, ataukah Anda hanya menduga bahwa itu adalah kekeliruan? Tidak, saya mengetahui bahwa itu adalah kekeliruan, pasti ia tidak memiliki dua hidung dan empat mata." (Mengenal Epsitemologi, Muthahhari, hal. 30)
Jika demikian maka Anda sendiri telah menemukan kekeliruan ini dengan perantaraan sebuah keyakinan, lalu bagaimanakah Anda mengatakan bahwa saya tidak mampu untuk memperoleh pengetahuan? Ini adalah sebuah pengetahuan (ma`rifah). Tatkala Anda mengatakan bahwa di suatu tempat rasio telah berbuat suatu kekeliruan, kemudian dengan yakin dan pasti Anda mengatakan bahwa rasio telah melakukan suatu kekeliruan, hal itu sama dengan ungkapan: "Saya mengetahui bahwa rasio telah melakukan suatu kekeliruan," dengan demikian, Anda telah sampai pada hakikat. Tatkala manusia masih belum sampai pada hakikat, dia tidak akan mengetahui kekeliruan apa-apa yang ada di depannya.
Oleh karena itu, kita mesti mengatakan demikian bahwa manusia pada sebagian pengetahuan yang ia miliki terdapat kekeliruan dan juga secara pasti tidak terdapat kekeliruan pada sebagian pengetahuan yang lain. Dengan demikian maka kita mesti melakukan pembagian atas kasus permasalahan ini. Kita mesti mencari dan menemukan sebuah neraca, lalu kita perhatikan bersama apakah dengan neraca itu kita mampu untuk mengadakan pembenahan atas berbagai kekeliruan itu ataukah tidak? Kenapa tatkala kita melakukan kekeliruan pada beberapa masalah saja, lalu kita mengingkari epistemologi secara total? Kenapa kekeliruan kita dalam beberapa kasus permasalahan itu, kita sejajarkan dengan berbagai keyakinan kita terhadap berbagai permasalahan yang amat jelas yang di situ tidak terdapat suatu keraguan pun? Pernyataan Pyrho ini tidak ubahnya semacam syair milik Sa'di:
Karena di antara sebuah kaum ada seorang jahil
Ia tidak berada di atas bukit dan tidak pula di atas awan
Tidakkah engkau melihat seekor lembu yang ada di padang rumput
Mencemari seluruh lembu yang ada di desa
Benar, kasus tersebut dapat berlaku pada hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan sosial, yakni jika ada beberapa individu dari sebuah masyarakat, dari sebuah kelompok, misalnya saja dari kelompok rohaniawan, muncul pribadi-pribadi yang tidak bermoral atau berprilaku buruk, maka hal itu akan mencoreng harga diri mereka semua. Tetapi bukan berarti ketika si Zaid berbuat kesalahan lalu kita menghukum si Amir.
Di kota Balakh pandai besi berbuat salah
Di kota Syusytar mereka memenggal leher pandai tembaga
Sebagian dari epistemologi kita ini adalah salah dan pasti sebagian yang lain adalah benar, lalu (dengan menggunakan epistemologi yang benar itu) kita melakukan koreksi pada epistemologi yang salah itu. Dari sinilah munculnya ilmu logika (mantiq).
Ilmu logika adalah sebuah ilmu yang merupakan asas dari epistemologi. Berkaitan dengan mungkin atau tidak mungkinnya memperoleh epistemologi, sebagian yang menyatakan bahwa kita tidak mungkin memperoleh pengetahuan adalah karena mereka memukul rata permasalahan yang ada, sementara mereka yang menyatakan bahwa kita ada kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan, akan mencari neraca yang dapat digunakan untuk menimbang epistemologi yang salah dan yang betul, dan dengan neraca itu pula mereka akan memisah-misahkan antara epistemologi yang salah dan epistemologi yang betul.
Kita mesti melihat apa yang dikatakan oleh al-Quran berkaitan dengan permasalahan ini? Apakah al-Quran mengakui bahwa ada kemungkinan untuk memperoleh epistemologi, ataukah al-Quran bahkan menyatakan bahwa tidak ada kemungkinan untuk memperoleh epistemologi? Sekalipun (al-Quran menyatakan) ada kemungkinan untuk memperoleh epistemologi, tetapi dikarenakan hal itu datangnya dari al-Quran dan mazhab, maka epistemologi yang berada dalam lingkup ideologi itu, kemungkinan akan memiliki suatu hukum tertentu, dan hukum tersebut ialah: apakah epistemologi itu dibenarkan oleh syariat ataukah bahkan terlarang? Epistemologi itu boleh atau tidak boleh? Di sini terdapat dua bentuk permasalahan. Pertama, apakah epistemologi itu mungkin ataukah tidak mungkin? Kedua, apakah epistemologi itu diperbolehkan (ataukah tidak diperbolehkan)? Tentunya Anda telah mengetahui bahwa di dalam Taurat permasalahan ini dijelaskan dengan suatu bentuk penjelasan yang lain dari pada yang lain, dan dikarenakan kita meyakini bahwa Taurat adalah sebuah kitab yang di dalamnya telah terjadi perubahan dan penyimpangan - yakni tatkala kita membandingkan dengan al-Quran, suatu permasalahan yang dijelaskan oleh al-Quran dan juga oleh Taurat - maka kita akan menyaksikan dengan jelas bahwa Taurat dalam menjelaskan permasalahan itu bertolak belakang dengan penjelasan al-Quran. Kita sama sekali tidak ragu bahwa penjelasan yang ada dalam Taurat itu, benar-benar telah disimpangkan dan diselewengkan. A-Quran yang merupakan sebuah kitab agama tidak akan mengungkapkan permasalahan ini secara filosofis; yakni dengan bentuk apakah epistemologi itu mungkin ataukah mustahil? Akan tetapi kita mesti memahami isi al-Quran itu dengan memperhatikan apakah pandangan dan pendapat yang terdapat dalam a-Quran itu berdasarkan pada kemungkinan epistemologi, ataukah berdasarkan pada kemustahilan epistemologi? Apakah berbagai tuntunan yang ada dalam al-Quran itu dapat dianggap berdasarkan pada kemungkinan epistemologi ataukah pada ketidakmungkinan epistemologi? Dan masalah yang lain ialah apakah epistemologi itu dibolehkan ataukah tidak dibolehkan?

Penyimpangan Sejarah yang Paling Merugikan

Dalam Taurat, terdapat peyimpangan yang saya rasa dalam dunia ini tidak ada suatu bentuk penyimpangan yang lebih merugikan dari bentuk penyimpangan itu. Kita semua mengetahui bahwa kisah Nabi Adam as selain tercantum dalam al-Quran juga tercantum dalam Taurat. Kisah tersebut ialah: Adam as dan istrinya selama berada di surga diperbolehkan untuk menikmati berbagai kenikmatan dan seluruh buah-buahan yang ada, namun di sana terdapat suatu jenis pohon yang mana mereka berdua tidak diperbolehkan untuk mendekatinya dan memakan buahnya. Adam as memakan buah pohon tersebut dan dikarenakan hal itulah maka ia dikeluarkan dari surga. Inilah kisah yang terdapat dalam al-Quran dan juga Taurat. Tetapi persoalannya adalah, pohon apakah itu? Dari berbagai keterangan yang terdapat dalam al-Quran, dan juga berbagai hadis yang dapat dijadikan sandaran, dapat diambil kesimpulan bahwa buah terlarang itu adalah berhubungan dengan sisi kebinatangan (hayawaniah) manusia dan bukan berhubungan dengan sisi kemanusiaan (insaniah) manusia. Yakni suatu perkara yang merupakan bagian dari hawa nafsu, keserakahan, iri, dengki, yang menurut istilah disebut dengan "anti kemanusiaan". Janganlah engkau mendekati pohon tamak, yakni janganlah engkau tamak. Janganlah engkau mendekati pohon dengki, yakni janganlah engkau mendengki. Tetapi Adam as, menjatuhkan dirinya dari kemanusiaan dan mendekati pohon itu. la mendekat pada tamak, serakah, dengki, takabur, yakni mendekat pada berbagai perkara yang merendahkan serta menjatuhkan nilai-nilai kemanusiaan. Allah berfirman kepadanya, "Keluarlah dari sini." (kapan Allah mengusirnya dari surga?) Allah mengusir Adam as dari surga setelah, Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat, lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama-nama benda-bendu itu jika kamu orang-orang yang benar!." (Q.S. al-Baqarah: 31). Setelah Allah mengajarkan kepadanya seluruh hakikat, (lalu Allah berfirman), "Ini bukan tempat tinggalmu, keluarlah dari sini!"
Isi Kitab Taurat telah diselewengkan oleh orang-orang yang memiliki tujuan keji, di mana di sana disebutkan bahwa pohon yang tidak boleh didekati oleh Adam, adalah berhubungan dengan sisi kemanusiaan Adam dan bukan berhubungan dengan sisi kebinatang­an, berhubungan dengan peningkatan kedudukan Adam dan bukan perendahan kedudukan Adam. Bagi Adam terdapat dua bentuk kesempurnaan dan Allah tidak menginginkan kedua kesempurnaan itu diraih oleh Adam secara sekaligus; pertama, kesempurnaan penge­tahuan dan yang kedua, kekekalan di surga. Adam telah merasakan buah dari pohon pengetahuan (epistemologi), lalu matanya terbuka dan pada saat itu ia mulai mengetahui apa yang baik dan apa yang buruk. Ia bergumam, "Sebelum ini saya dalam keadaan buta, sekarang ini mata saya terbuka. Sekarang saya mulai dapat mengetahui apa yang baik dan apa yang buruk." Kemudian Allah Swt berfirman kepada para malaikat, "Lihatlah! Kamu tidak menghendaki ia menikmati buah dari pohon pengetahuan dan epistemologi, tetapi ia telah memakannya, dan matanya menjadi terbuka. Sekarang tatkala matanya telah terbuka, ini amat berbahaya jika ia sampai memakan buah pohon kekekalan, yang akhirnya ia akan hidup kekal. Dengan demikian maka sebaiknya kita keluarkan saja ia dari surga."
Bentuk pengetahuan dan penyelewengan agama dan mazhab ini, mengakibatkan kerugian yang cukup besar. Akhirnya mereka mengatakan, "Dengan demikian maka cukup jelas, adanya kontradiksi antara agama dan pengetahuan. Adam mesti beragama dan mematuhi perintah Tuhan, atau memakan buah pengetahuan sehingga matanya menjadi terbuka, atau mematuhi perintah Tuhan dan matanya tetap dalam keadaan buta dan tidak mengetahui sesuatu apa pun, atau memiliki pengetahuan tetapi melanggar perintah Tuhan. Karena supaya matanya dapat terbuka, ia mesti melanggar perintah Tuhan dan mengesampingkan agama". Kemudian lambat laun di Eropa muncul berbagai ungkapan di antaranya ialah, "Jika seorang yang mengikuti pandangan Socrates, hidup sengsara dan kelaparan itu jauh lebih baik dari pada menjadi budak", "Sehari saja saya hidup dengan mata terbuka (memiliki pengetahuan pen.) jauh lebih saya sukai daripada seumur hidup dalam keadaan buta (bodoh pen.) dan kemudian berharap akan masuk surga", "Saya lebih suka berada dalam neraka Jahanam dengan mata terbuka (memiliki pengetahuan), dari pada berada dalam surga dalam keadaan buta (bodoh)."
Hal inilah yang menyebabkan di Eropa muncul sebuah pemikiran yang amat gawat, yaitu adanya kontradiksi antara ilmu pengetahuan dan agama. Anda jangan mengira bahwa pemikiran semacam ini munculnya dari empat ilmuwan yang mengeluarkan pendapatnya. Akar pemikiran itu terdapat dalam agama Nasrani dan Yahudi yang mana keduanya menganggap Taurat sebagai "perjanjian lama" dari kitab samawi. Yakni di sana disebutkan bahwa kalian mesti konsisten terhadap agama dan nantinya kalian masuk ke dalam surga yang penuh dengan kenikmatan, makan, minum, tidur dengan leluasa serta berkeliling ke berbagai penjuru surga, tetapi mata kalian mesti dalam keadaan tertutup. Tetapi jika mata kalian terbuka, maka kalian mesti hidup dalam keadaan sengsara dan menanggung berbagai beban penderitaan.

Al-Quran dan Kisah Adam As

Adapun dalam al-Quran sama sekali tidak terdapat bentuk pembicaraan semacam itu. Al-Quran menceritakan kisah Adam As tatkala mendekati pohon tersebut setelah kisah, Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama betuta-benda itu jika kamu orang-orang yang benar!. (Qs. al-Baqarah [2]: 31)
Yakni sebelum Adam As menempati surga telah dikatakan kepadanya untuk tetap tinggal di sana, matanya dalam keadaan terbuka, telah mengetahui berbagai rahasia alam, ia adalah seorang manusia dan bukan seekor binatang yang matanya dalam keadaan tertutup, dan karena memakan buah dari pohon itu lalu matanya menjadi terbuka. Sejak pertama masuk ke dalam surga Adam As adalah seorang manusia. Karena ia adalah seorang manusia, maka ia memiliki pengetahuan, epistemologi, memahami dan mengetahui berbagai hakikat. Adam As dikeluarkan dari surga adalah karena ia telah keluar dari sisi kemanusiaan. Dengan ilmu dan pengetahuan yang ia miliki, ia masih terperdaya hawa nafsunya, menjadi budak ketamakan dan keserakahan yang akhirnya ia menjadi tamak dan serakah. Allah menegaskan bahwa di sini (surga) adalah tempat untuk manusia. Adam as telah keluar dari kemanusiaan dan diturunkan dari surga. Adam As tidak mengamalkan epistemologi dan pengetahuan yang ia miliki.
Epistemologi melahirkan "pandangan dunia", dan "pandangan dunia" melahirkan ideologi dan ideologi perlu pengenalan. "Saya (Adam) adalah manusia dan saya mengetahui berbagai hakikat. Kalimat 'saya mengetahui' menunjukkan kepada saya tentang suatu bentuk alam ini. Dan karena saya (Adam) mengetahui alam semesta sedemikian rupa, maka saya terikat dengan 'harus dan tidak boleh'. Tetapi saya tidak menghiraukan `harus dan tidak boleh' itu, tidak merasakan adanya rasa tanggung jawab, sekalipun ada bisikan: 'pohon itu adalah pohon kekekalan, karena Allah merasa iri padamu, maka Dia melarangmu memakan buahnya. Sekarang pergilah ke pohon itu dan makanlah buahnya,' (mereka menceritakan bahwa Adam memperoleh bisikan semacam itu) saya tidak boleh terpedaya."
Wahai Adam! Anda adalah seorang manusia, Anda memiliki epistemologi, Anda memiliki "pandangan dunia", Anda memiliki ideologi, dan pada akhirnya ideologi mengharuskan amal perbuatan (perbuatan memiliki dua sisi; sisi positif dan sisi negatif), diperlukan ketakwaan, menjaga diri. Mungkinkah seorang yang memiliki ideologi, tetapi tidak memiliki kekuatan untuk menahan diri atas rasa sedikit kekurangan? Apakah di samping saya memiliki ideologi, saya juga senantiasa menuruti apa saja yang saya lihat? Misalnya ketika pandangan saya tertuju pada suatu makanan, kemudian air liur saya menetes, apakah lalu saya tidak mampu menahan diri untuk tidak memakannya! Seorang manusia, dituntut untuk memiliki ketakwaan dan kekuatan untuk menahan diri.
Dalam logika Islam, sebab Adam As dikeluarkan dari surga adalah karena ia tidak mengamalkan peringkat ke empat dari epistemologinya. Peringkat pertama adalah epistemologi, kemudian "pandangan dunia", kemudian ideologi dan terakhir ideologi mengharuskan ia untuk melaksanakan suatu amal perbuatan. Di sinilah ia tergelincir, sehingga Allah mengusirnya dari surga. Tetapi dalam Taurat disebutkan bahwa sejak pertama Tuhan telah melarangnya (Adam) untuk mencari dan memperoleh epistemologi, dan dikarenakan ia telah memperoleh pengetahuan dan epistemologi sehingga menyebabkan kedua matanya menjadi terbuka, maka Tuhan pun mengusirnya dari surga; pohon itu adalah pohon ilmu pengetahuan.
Dari penjelasan yang telah saya kemukakan menjadi jelas, bahwa di dunia ini jarang sekali ada suatu pemikiran, pengetahuan, dan pandangan yang diselewengkan, yang mengakibatkan kerugian besar terhadap umat manusia, alam dan agama, seperti penyelewengan yang ada di dalam Taurat. Tentunya, sampai sekarang ini dampak tersebut masih tetap berlanjut, yakni di dunia ini masih terdapat arus pemikiran yang kuat yang menyatakan, "Ilmu atau agama, atau salah satu dari keduanya itu," (ilmu dan agama adalah dua hal yang kontradiktif).
Dengan demikian, al-Quran tidak mengakui pelarangan penggalian epistemologi, tetapi bahkan mendukung epistemologi. Dalil apakah yang membuktikan bahwa al-Quran mendukung kemungkinan epistemologi? Hal itu cukup jelas, ketika al-Quran mengajak manusia pada penggalian epistemologi, al-Quran sama sekali tidak mengajak pada sesuatu yang mustahil. Apa yang hendak dikatakan oleh al-Quran tatkala menceritakan kisah Adam as dan keluasan epistemologinya? Al-Quran hendak mengatakan, "Wahai manusia! Kalian memiliki kemampuan untuk menggali epistemologi yang tidak terbatas, Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya." Sewaktu Imam Ja'far Shadiq As sedang duduk beralaskan kulit binatang, lalu beliau menunjuk pada alas duduk itu dan berkata, "Bahkan (Adam mengetahui) yang ada di bawah kaki saya ini." Yakni sampai sebegitu luas epistemologi yang dimiliki oleh Adam as. (Mengenal Epsitemologi, Muthahhari, hal. 41)
Dengan demikian maka al-Quran mengakui adanya kemungkinan untuk memperoleh epistemologi. kisah Nabi Adam as penuh dengan hikmah dan pela­jaran. Dan di antara hikmah, pelajaran, dan rahasia yang terdapat dalam kisah itu adalah masalah kemungkinan untuk memperoleh epistemologi. Dengan kisah itu, al-Quran hendak menyatakan kepada seluruh manusia, "Wahai manusia! Kalian adalah anak-anak Adam as itu, anak dari Adam as yang memiliki epistemologi sampai sedemikian rupa. Kalian adalah anak Adam as yang telah berhasil memperoleh epistemologi yang tidak terbatas. Oleh karena itu pergilah menuju epistemologi yang tidak terbatas. Kalian adalah anak epistemologi." Menurut pandangan al-Quran, anak Adam as adalah sama dengan anak epistemologi.

Ajakan Al-Quran pada Epistemologi

Al-Quran secara tegas mengajak anak keturunan Adam as pada epistemologi. Dalam al-Quran terdapat berbagai perintah dan anjuran untuk memperhatikan, melihat, dan merenungkan. Dalam al-Quran terdapat berbagai ungkapan semacam ini, Katakanlah: "Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi." (Q.S. Yunus: 101)
Katakanlah kepada masyarakat ini untuk melihat (baca: berpikir), dan mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi. Al-Quran hendak menegaskan kepada manusia untuk memahami dan mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi dengan menyatakan, "Wahai manusia kenalilah dirimu sendiri, kenalilah alammu, kenalilah Tuhanmu, kenalilah masamu dan kenalilah masyarakat serta sejarahmu." Bahkan ayat, Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu, (Q.S. al-Maidah: 105). Yakni wahai orang-orang yang beriman atas kalian diri kalian sendiri. Sekarang terlintas dalam benak saya bahwa berbagai mufasir yang di antara mereka adalah Allamah Thabathaba'i" mengatakan bahwa maksud ayat itu adalah, kenalilah dirimu sendiri.
Pada sebuah ayat yang amat populer dengan sebutan "dzar" (alam dzar atau alam mitsal, alam ide, mundus imaginalis), terdapat satu poin yang amat menakjubkan berkenaan dengan masalah mengenal diri sendiri, sekalipun bentuk penjelasan itu secara sandi. Al-Quran mengatakan: "Dan Allah mengambil kesaksian terhadap diri mereka." (Q.S. al-A'raf : 172).
Yakni manusia memberikan kesaksian atas diri mereka sendiri. Dalam memberi kesaksian ini ada dua bentuk. Adakalanya seseorang memberi kesaksian atas sesuatu yang sebelumnya pernah ia lihat dan saksikan, kemudian ia hendak menyampaikan kepada orang lain dan memberikan kesaksian. Dan adakalanya, ada seseorang yang dihadirkan di suatu tempat untuk kemudian ia akan dijadikan sebagai saksi. Yang pertama disebut dengan "menunaikan kesaksian" (ada' asy-syahadah) dan yang kedua disebut dengan "menanggung kesaksian" (tahammul asy-syahadah). Al-Quran mengatakan bahwa Allah menunjukkan manusia kepada dirinya sendiri (walhasil ayat ini adalah salah satu ayat yang berkenaan dengan fitrah), mereka menjadi saksi atas diri mereka sendiri. Yakni al-Quran mengatakan bahwa lihatlah diri kalian! Allah mengambil kesaksian terhadap diri mereka.
Tatkala manusia telah melihat diri mereka sendiri, kemudian Allah berfirman, Bukankah Aku ini Tuhanrnu? Bukankah Aku adalah Tuhanmu? Mereka menjawab, "Ya." Di sini al-Quran tidak mengatakan bahwa Allah menunjukkan Zat-Nya kepada manusia, lalu mengatakan bahwa bukankah Aku adalah Tuhanmu? Tetapi al-Quran mengatakan bahwa manusia diperlihatkan kepada dirinya sendiri, kemudian Dia berfirman, Bukankah Aku ini Tuhanmu? Apakah tujuan dari semua ini? Apakah hal itu sama seperti ketika si Zaid mereka tunjukkan (kepada seseorang) dan kemudian mereka bertanya (kepada orang itu), "Tidakkah engkau melihat si Amir?" Tidak, duduk permasalahannya bukan semacam ini.
Sebagai perumpamaan, kita dapat mengumpamakan semacam seorang yang mengatakan kepada temannya, "Lihatlah cermin itu." Ketika temannya melihat ke arah cermin itu, kemudian ia menanyakan, "Bukankah saya seorang yang tampan?" Kenapa demikian? Karena ia melihat ke arah cermin. Jika temannya itu melihat ke arah dinding, maka jadinya tidak demikian. Allah sebegitu dekat dengan manusia! Mengenal diri dan mengenal Tuhan telah bercampur menjadi satu. Sehingga Dia memerintahkan, "Wahai manusia! Lihatlah dirimu sendiri." Dan tatkala mereka telah melihat kepada diri mereka sendiri, lalu Allah berfirman, Bukankah Aku ini Tuhanmu. Ketika engkau melihat dirimu sendiri maka engkau akan melihat-Ku, ketika engkau mengenal dirimu sendiri, maka engkau akan mengenal-Ku. Ungkapan, "Barangsiapa yang telah mengenal dirinya, maka dia telah mengenal Tuhan-nya," merupakan sebuah ungkapan yang amat populer di dunia Islam. Bahkan ungkapan ini telah disebutkan pada masa sebelum Islam, Socrates juga pernah mengatakannya, di India pun banyak yang pernah mengucapkan ungkapan itu. Tetapi tidak ada satu penjelasan pun yang seindah penjelasati al-Quran. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as seringkali menyampaikan kalimat tersebut, dan Rasul mulia saw juga telah menyampaikannya, tetapi tidak ada seorang pun yang memiliki penjelasan yang lebih indah dari yang dijelaskan oleh al-Quran. Al-Quran dengan kefasihannya menunjukkan manusia kepada manusia itu sendiri, dengan cara memerintahkan manusia untuk melihat dirinya sendiri, dan begitu manusia telah melihat dirinya sendiri, seketika itu Allah bertanya, "Apakah sekarang engkau dapat melihat-Ku dengan baik?" Manusia menjawab, "Ya, sekarang kami dapat melihat-Mu dengan balk." Di sini al-Quran tidak mengatakan, "Barangsiapa yang telah mengenal dirinya, maka ia telah mengenal Tuhan-nya," yakni antara telah mengenal yang satu dengan telah mengenal yang lain sifatnya adalah berurutan; pertama mengenal diri sendiri, berikutnya adalah mengenal Tuhan.
Tetapi al-Quran hendak menyatakan bahwa sebegitu dekatnya antara dua pengenalan itu, sehingga tatkala engkau melihat yang ini maka engkau pun akan melihat yang itu. Semua penjelasan yang diberikan oleh selain al-Quran, senantiasa meletakkan dua pengenalan itu secara berurutan, sedangkan al-Quran menjelaskannya dengan menggunakan sebuah kalimat bahwa manusia cukup hanya dengan mengenal diri, karena jika telah mengenal diri maka pasti telah mengenal Tuhan. Sebegitu dekatnya antara pengenalan diri dengan pengenalan Tuhan, laksana seseorang yang memandang sebuah cermin. Sekalipun yang ada di dalam cermin itu hanyalah semacam bayangan (gambar) saja, tetapi ketika Anda berada di depan sebuah cermin maka Anda tidak dapat menghindarkan diri untuk tidak melihat gambar Anda di cermin itu.
Tatkala seseorang memperhatikan dan merenungkan poin al-Quran ini, pasti ia akan merasa kagum dan tercengang. Inilah ayat al-Quran. Coba Anda perhatikan, Rasul saw adalah seorang bangsa Arab yang buta aksara, penduduk desa, tidak pernah belajar, tidak memiliki guru dan pengajar, orang terpandai yang ada dalam masyarakat itu tidak ubahnya semacam kelas tiga sekolah dasar yang ada pada masa kita ini, hanya mampu membaca satu baris tulisan dan tulisan tangannya tidak rapi serta tidak beraturan. Apakah dapat dipercaya bahwa berbagai ucapan yang indah dan mempesona yang keluar dari lisan laki-laki (Muhammad Saw) semacam itu, tanpa ada hubungan dengan alam metafisika (ma'nawi) atau alam yang lain? Bahkan orang-orang semacam Socrates sama sekali tidak akan mampu untuk mengeluarkan ucapan seindah itu. Ia (Muhammad Saw) memiliki bentuk pandangan yang begitu dalam dan luas.
Katakanlah:"Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi?" (Q.S. Yunus: 101). Perhatikanlah apa yang ada di berbagai langit dan di berbagai belahan bumi (tidak pada bumi saja), perhatikanlah apa yang ada di seluruh alam ini! Ketahuilah apa yang ada di seluruh penjuru alam ini! Dengan demikian maka al-Quran mengajak manusia pada epistemologi. Tidak ada lagi pembicaraan mengenai kemungkinan memperoleh epistemologi, artinya kemungkinan untuk memperoleh epistemologi adalah pasti.[]
[1] . Silahkan rujuk Âmuzesy-e Falsafeh, Ustadz Ayatullah Agâ Misbâh Yazdi, jilid 1, hal. 91, Syarkat-e Câp-e wa Nasyr-e Bainal Milal Sazemân-e Tablighati Islâmi, Qum.
[2] . Idem.,
[3] . Ma'rifat Syinâsi dar Qur'ân, Ustadz Ayatullah Agâ Jawâdi Âmuli, hal. 22, Markaz-e Nasyr Isra', Qum. 
[4]. Pemahaman dan pengetahuan ini adalah sama dengan keyakinan, karena keraguan adalah bukan pemahaman. Pemahaman ialah tatkala kita sampai pada titik tertentu di mana kita berpikir bahwa ini adalah demikian, dan saya tidak meragukan atas apa yang saya pikirkan itu dan saya yakin bahwa itu adalah betul. Saya tidak meragukan kebenarannya, karena jika saya meragukannya maka berarti itu bukan pengetahuan tetapi itu adalah "apakah", "apakah demikian", "saya tidak tahu", "mungkin ada", "mungkin tidak ada" dan berbagai ungkapan yang sejenis dengan kalimat la `adri (tidak tahu). Suatu pengetahuan dapat disebut sebagai pengetahuan yang hakiki, jika di situ tidak terdapat sedikit pun keraguan, tetapi jika terdapat keraguan maka menjadi la 'adri (tidak tahu).

Media-media Epistemologi

Berkenaan dengan pembahasan epistemologi, terdapat berbagai bentuk permasalahan.  pada pertemuan yang lalu telah dijelaskan dua buah permasalah­an yaitu tentang nilai dan pentingnya epistemologi. Khususnya kita telah masuk pada pembahasan kenapa pada masa sekarang ini dunia kita amat mementingkan masalah epistemologi. 5ebagian mengatakan bahwa filsafat adalah bukan mengenal alam tetapi mengenal pengetahuan. Dan menurut istilah asingnya adalah bukan ontologi tetapi epistemologi. Telah saya paparkan bahwa dikarenakan dunia pada masa sekarang ini. Ada juga suatu permasalahan yang lain, yaitu berkenaan dengan berbagai media dan alat guna memperoleh epistemologi. Apa sajakah alat yang dimiliki oleh manusia guna memperoleh epistemologi? Sedangkan sumber epistemologi, tahapan epistemologi, bentuk dan bagian epistemologi merupakan suatu permasalahan yang lain, di mana bentuk dan bagian epistemologi itu tidak sama dengan tahapan epistemologi. Permasalahan yang lain adalah berbagai topik epistemologi. Yakni topik-topik apakah yang mesti diketahui dan dikenal oleh manusia? Permasalahan lain yang kemungkinan jauh lebih penting dari semua permasalahan yang ada, adalah masalah neraca epistemologi. Dengan neraca apakah kita dapat mengetahui bahwa suatu bentuk epistemologi itu benar atau salah? Apa neraca yang dapat digunakan untuk mengetahui jenis epistemologi yang terbaik? Masalah isi kandungan dan kuantitas epistemologi, merupakan masalah lain yang akan kita bahas kelak.
Indera Merupakan Media yang Diperlukan Untuk Epistemologi
Apa sajakah media epistemologi itu? Di antara yang dimiliki manusia untuk memperoleh epistemologi adalah "indera dan persepsi Manusia memiliki berbagai macam indera; indera penglihatan, indera pendengaran, indera peraba. Seandainya manusia kehilangan semua indera itu, maka ia akan kehilangan semua bentuk epistemologi. Ada sebuah ungkapan yang amat populer sejak dahulu kala, dan ungkapan ini dapat dinisbahkan kepada Arisoteles, "Barangsiapa yang kehilangan satu indra, ia telah kehilangan satu ilmu (man faqadâ hissan faqada 'ilman)."
 Setiap manusia yang kehilangan salah satu inderanya, maka ia juga akan kehilangan satu bentuk epistemologi. Jika seseorang dalam keadaan buta, maka ia tidak mungkin pernah membayangkan warna-warna, berbagai bentuk dan jarak. Anda tidak akan mampu memberikan penjelasan kepadanya mengenai suatu warna, sekalipun dengan menggunakan berbagai macam kalimat dan kata guna mendefinisikan warna itu agar ia dapat mengenalinya. Anda jugs tidak akan mampu mengisahkan kepadanya mengenai warns dari suatu benda.
Ada sebuah permisalan yang cukup populer, ada seorang buta sejak lahir, dimana ia seumur hidupnya belum pernah meminum susu beras (air rebusan beras), namun ia hanya mendengar nama itu. Ia bertanya pada orang-orang, "Susu beras itu seperti apa?" Orang yang ditanya berusaha menjelaskan susu beras dengan menunjukkan warnanya. Orang yang ditanya tidak tahu bahwa si buta tersebut telah mengalami kebutaan semenjak lahir dan tidap pernah melihat susu beras tersebut sehingga mampu mengidentifikasi warna yang dimaksud.  Namun Anda dapat menjelaskannya dengan menyebutkan rasa dari berbagai rasa yang pernah ia (orang buta) rasakan. Sebagai contoh, Anda dapat mengatakan bahwa jika rasa susu, rasa nasi dan gula dicampur menjadi satu (maka rasanya seperti rasa susu beras). Orang yang buta itu bertanya, "Susu beras itu seperti apa?" Dijawab,;"Seperti leher angsa," (karena leher angsa warnanya putih, maka ia menjelaskan dengan menggunakan leher angsa). Si buta kembali bertanya, "Bagaimanakah leher angsa itu?" Orang tersebut mengulurkan tangannya dan berkata, "Leher angsa adalah semacam ini." Si buta menjawab, "Kini aku telah mengerti bahwa susu beras adalah semacam itu."
Mustahil manusia dapat menjelaskan sebagian perkara kepada seseorang yang buta sejak lahir karena, "Barangsiapa yang kehilangan satu indera, maka ia telah kehilangan satu ilmu". Mustahil seseorang dapat menjelaskan kepada seorang yang tuli sejak lahir tentang suara, musik ataupun lagu. Begitu juga dengan seseorang yang kehilangan indera yang lainnya. Oleh karena itu, tidak diragukan lagi bahwa indera merupakan salah satu alat guna memperoleh epistemologi. Tetapi apakah dalam memperoleh epistemologi cukup hanya dengan indera saja? Tidak, nanti ketika saya menjelaskan berbagai tahapan epistemologi, saya akan menjelaskan kenapa tidak cukup dengan indera. Yakni, memang benar indera diperlukan untuk epistemologi, tetapi masih belum memenuhi syarat bagi epistemologi.
Peran Kekuatan Rasio Dalam Epistemologi
Di samping indera, manusia juga masih memerlukan pada satu perkara ataupun beberapa perkara yang lain. Dalam memperoleh pengetahuan, manusia terkadang memerlukan pada suatu bentuk pemilahan (tajziah) dan penguraian (tahlil) serta adakalanya memerlukan berbagai macam bentuk pemilahan dan penguraian. Pemilahan dan penguraian merupakan aktivitas rasio. Berbagai pemilahan dan penyusunan rasional (tarkib `aqli)itu, adalah meletakkan berbagai perkara pada kategori (rnaqulah)nya masing-masing, di mana hal itu disebut dengan pemilahan (tajziah). Begitu juga dengan penyusunan dalam bentuk khusus, clan di sini logika yang bertugas melakukan aktivitas pemilahan (tajziah) dan penyusunan (tarkib) yang mana hal ini memiliki penjelasan yang panjang. Sebagai contoh, jika kita mengenal berbagai macam permasalahan ilmiah, maka mereka akan mengatakan kepada kita, "Yang itu masuk dalam kategori kuantitas (maqulah kammi) dan yang ini masuk dalam kategori kualitas (maqulah kaif), dan di sini perubahan kuantitas telah berubah menjadi per­ubahan kualitas," dan banyak lagi pembicaraan yang sifatnya semacam itu. Lalu apakah yang disebut dengan kualitas dan kuantitas dan hal-hal yang semacam ini? Pada dasarnya kita telah meletakkan berbagai hal pada kategori (maqulah)nya masing-masing. Sebagai contoh, untuk ukuran jarak adalah meter, untuk berat adalah kilogram dan untuk ukuran luas kita tentukan dengan meter persegi yang semua itu kita sebut dengan kuantitas. Beratus-ratus ribu perkara kita masukkan dalam kategori kuantitas. Demikian pula terdapat beratus­-ratus ribu perkara yang kita masukkan dalam kategori kualitas. Sedangkan beratus-ratus ribu perkara yang lain kita masukkan dalam kategori relatif (maqulah idhofi, atau juga disebut dengan maqulah nisbi), lalu memiliki kemampuan untuk melepas, maka memiliki kemampuan untuk berpikir dan mengetahui. Seandainya rasio tidak memiliki kemampuan untuk mengabstraksi (men-tajdrid), maka ia tidak mungkin memiliki kemampuan berpikir.
Di sinilah letaknya bahwa indera itu merupakan suatu syarat demi mengetahui dan memahami, tetapi masih belum memenuhi syarat. Masih diperlukan suatu tenaga dan kekuatan yang lain. Anda dapat meletakkan nama apa saja bagi kekuatan itu; "kekuatan pikiran", "kekuatan berpikir", "kekuatan akal", "kekuatan rasio", "kekuatan yang mampu mengabstraksi (tajrid)", "kekuatan yang mampu menggeneralkan", "kekuatan yang mampu memilah dan menyusun", "kekuatan yang bahkan mampu untuk memilah dan menyusun berbagai hakikat yang universal". Kekuatan itu kita sebut dengan kekuatan rasio ('aql). Silahkan jika Anda hendak menyebutnya dengan nama yang lain (ada yang mengatakan, "Saya sekarang tengah memasak bubur, dan Anda bebas untuk meletakkan nama yang Anda suka").
Oleh karena itu, memang benar indera merupakan salah satu media, tetapi suatu kekuatan yang lain yang disebut dengan rasio, akal, pikiran, daya pikir, dan berbagai sebutan lainnya, merupakan satu media kekuatan yang lain. Dalam usaha memahami dan mengetahui sesuatu, keduanya itu mesti ada, dan kita selalu perlu pada keduanya itu.
Pandangan al-Qur'an Tentang Media-media  Epistemologi
Apa pandangan al-Qur'an berkenaan dengan epistemologi?[1] Apa yang diyakini oleh al-Qur'an sebagai sebuah media epistemologi? Apakah al-Qur'an juga menganggap indera sebagai media epistemologi? Apakah al-Qur'an menganggap rasio ('aql) sebagai media epistemologi? Apakah al-Qur'an beranggapan bahwa indera dan rasio, keduanya itu diperlukan untuk epistemologi? Apakah al-Qur' an beranggapan bahwa ada media yang lain selain indera dan rasio. Seandainya al-Qur'an beranggapan demikian, maka apakah topik epistemologi yang ada di sana berbeda dengan topik epistemology yang ada di sini.
Al-Qur'an pada salah satu ayatnya yang terdapat dalam surah an-Nahl, memaparkan suatu pembahasan di mana dari pemaparan itu dapat diketahui dengan jelas bentuk pandangannya terhadap alat episternologi. Dalam surah an-Nahl disebutkan, "Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur." (Qs. an-Nahl [16]: 78) Dia adalah Tuhan yang mengeluarkan kalian dari perut ibu kalian, dan kalian dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu. Yakni menurut sudut pandang epistemologi, kalian tidak mengenal sesuatu apa pun, kalian sama sekali tidak memiliki epistemologi.[2] (di sini tidak akan dibahas masalah fitrah, karena pembahasan fitrah tidak ubahnya seperti pembahasan masalah epistemologi yang akan banyak menyita waktu kita ini. Dan perlu saya tegaskan bahwa ayat ini tidak bertentangan dengan masalah fitrah.) Dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, kemudian kalian diberi telinga dan mata serta berbagai alat. Pasti Anda telah mengetahui dengan jelas bahwa di antara indera yang dimiliki oleh manusia, indera yang paling berpengaruh adalah telinga dan mata. Benar indera peraba, perasa dan penciuman mampu menghasilkan suatu pengetahuan, tetapi hanya pada wilayah yang sempit. Ibnu Sina berhasil menemukan suatu neraca yang indah. la mengatakan, "Coba kalian cari dan temukan kata-kata yang berhubungan dengan sesuatu yang dirasa, sesuatu yang disentuh, setelah itu kata-kata yang berhubungan dengan penglihatan clan pendengaran, tentu kalian akan dapati bahwa dalam bab penglihatan dan pendengaran terdapat beribu-ribu kata. Bahkan sebagian besar dari sesuatu yang dapat disentuh clan dirasa itu adalah melalui sentuhan penglihatan dan pendengaran." Dalam ayat tersebut al-Qur' an menyebutkan dua indera yang penting itu. Yakni setelah mengatakan bahwa kalian datang ke dunia ini dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apa pun, kemudian menyebutkan, Dan Dia memberimu pendengaran dan penglihatan, Dia telah memberi kalian telinga dan mata, memberi kalian berbagai indera. Yakni memberi berbagai alat epistemologi. Pertama kali kalian tidak mengetahui sesuatu apa pun, tidak mengenal sesuatu apa pun, lalu Dia memberi berbagai alat ini agar kalian dapat mengenali clan mengetahui. Dan hati, agar kamu bersyukur. Apakah al-Qur'an merasa cukup hanya dengan indera saja? Tidak, pada lanjutan ayat itu disebutkan sesuatu yang menurut istilah Al-Qur'an disebut dengan lub dan juga hijr-dan setiap jenis bahasa berhak untuk memberikan suatu kata pengganti bagi istilah ini-yang mana itu berarti pusat pikiran. Terkadang Al-Qur'an menyebutkan bahwa ada orang-orang yang tidak memiliki hati (jelas yang dimaksud di sini adalah bukan hati yang merupakan salah satu dari organ tubuh). Allah memberi kalian berbagai hati. Setelah mata clan telinga, kemudian disebutkan hati, yakni itu adalah suatu kekuatan yang mampu untuk memilah (tajziah) dan menyusun (tarkib), menggeneralkan (ta'mim), mengabstraksi (tajrid), suatu kekuatan yang memiliki peran yang amat penting dalam epistemologi.
Kata Syukur Dalam al-Qur'an
"Agar kamu bersyukur." Ini amatlah penting; selayaknya kalian bersyukur dan berterimakasih. Apa maksudnya? Kemungkinan Anda akan mengatakan bahwa maksudnya adalah dengan rnengucapkan kalimat, "Ya, Allah aku bersyukur kepada-Mu atas mata dan telinga yang telah Engkau anugerahkan kepadaku." Tidak, bukan demikian. Di antara kata-kata yang ada di dalam al-Qur'an yang amat penting untuk diketahui adalah kata syukur (syukr). Kata syukr memiliki arti taqdir (penghargaan). Bersyukur yakni menghargai. Oleh karena itu maka Allah juga disebut dengan Syakûr (Maha Menghargai). Kenapa Allah itu disebut Syakur? Apakah itu berarti Allah bersyukur pada Zat-Nya sendiri? Anggapan semacam ini adalah tidak benar dan tidak berarti. Ataukah yang dimaksud adalah Allah menyatakan kepada hamba-hamba-Nya, "Aku bersyukur kepada kalian? Dikarenakan Allah itu bersyukur clan menghargai, maka Dia, "Sesungguhnya Allah tidak menryia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik." (Qs. at-Taubah [9]: 120), Karena Allah menghargai dan mengenal nilai-nilai, maka Zat-Nya disebut dengan Syakûr. Yakni tidak menyamakan antara perbuatan baik dengan perbuatan buruk, antara yang patuh dengan yang membangkang, "Patutkah Kami menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan mnal yang saleh sama dengan orang-orang yang berbuat kerusukun di muka bumi? Patutkah (pula) Kami menganggap orang-orang yang bertakwa sama den gun orangorang yang berbuat mdksiat? (Qs. Shaad [38]: 28)  Apakah Kami akan menyamakan antara keduanya itu? "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?"(Qs. az-Zumar [39]: 9). Apakah sama antara mereka yang mengetahui dengan mereka yang tidak mengetahui? Tidak, tidak semacam itu. Dikarenakan Allah menghargai kemuliaan, kebaikan, usaha baik, niat baik clan ketulusan hati yang ada pada diri manusia, maka Dia disebut dengan Syakûr.
Lalu apa yang dimaksud dengan hamba yang syakûr? Yakni seorang hamba yang telah memperoleh berbagai kenikmatan dan kemudian menghargai berbagai kenikmatan itu. Apa yang dimaksud dengan menghargai kenikmatan? Apa maksud dari ungkapan, "Hendaklah Engkau mengetahui nilai dari suatu kenikmatan?" Permasalahan ini telah menjadi topik pembahasan sejak dahulu kala. Dan semuanya memberikan penjelasan yang sama bahwa yang dimaksud dengan menghargai kenikmatan ialah menggunakan kenikmatan itu pada jalan yang sesuai dengan tujuan penciptaan. Bersyukur ialah menggunakan berbagai kenikmatan yang diberikan oleh Allah pada hal-hal yang merupakan tujuan Allah dalam menciptakan kenikmatan itu. Mensyukuri tangan bukan hanya dengan mengatakan "Tuhanku aku bersyukur (Ilahi syukr)." Ucapan, "Tuhanku aku bersyukur," hanya merupakan suatu bentuk pemberitahuan dan bukan berarti telah bersyukur. Tidak ubahnya semacam, "Aku memohon ampunan kepada Allah Tuhanku dan aku bertobat kepada-Nya," "astaghfirullâh rabbi wa atubu ilaih" yang mana ini adalah sebuah ungkapan tobat dan bukan berarti telah bertobat.
Sebagian ada yang keliru dalam memahami antara ungkapan tobat dan bertobat itu sendiri. Bertobat ialah merasa amat menyesal atas dosa yang pernah dilakukan, dan memiliki kemauan keras untuk tidak mengulangi perbuatan dosa itu dan kembali pada kebenaran. Memang benar bahwa ungkapan "Aku memohon ampunan kepada Allah Tuhanku dan aku bertobat kepada-Nya" menjelaskan suatu bentuk rasa tobat, tetapi bukan berarti bertobat. Jika saya memegang seuntai tasbih, bukan hanya sebanyak seratus kali tetapi sebanyak seribu kali saya ucapkan kalimat itu, tetapi saya tidak memiliki rasa penyesalan atas berbagai dosa yang telah saya perbuat, dan saya tidak memiliki kemauan keras untuk meninggalkan perbuatan dosa itu, dan saya masih tetap melakukan perbuatan dosa, ucapan seribu kali itu bukan berarti bertobat. Jika tetap dalam kondisi semacam itu, maka kalimat itu sebaiknya tidak usah diucapkan. Kalimat itu adalah ungkapan tobat dan bukan berarti bertobat. Ungkapan "llahi aku bersyukur" merupakan suatu ungkapan syukur dan bukan bersyukur. Bersyukur yakni bergerak, beramal, mempergunakan kenikmatan sesuai dengan tujuan Allah dalam menciptakan kenikmatan itu. Untuk apakah Allah menciptakan tangan? Untuk apakah Allah menciptakan kaki? Untuk apakah Allah menciptakan otak? Untuk apakah Allah menciptakan telinga? untuk apakah Allah menciptakan rasio? Bersyukur ialah dengan mempergunakan semua ini pada jalurnya masing-masing. Lalu bagaimanakah bersyukur atas pendengaran dan penglihatan? "Katakanlah: "Perhatikanlah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. " (QS. Yunus: 101)
Bersyukur atas mata itu adalah memperhatikan dan mengkaji alam. Bersyukur atas telinga ialah mendengarkan berbagai kebaikan, bersyukur atas hati ialah berpikir, merenungkan, memilah dan menguraikan (tajziah wa tahlil), melepas (tajricl), menggeneralkan dan berargumentasi. Jika demikian lalu apa arti ayat yang berbunyi, "Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun?" (QS. an-Nahl [26]: 78). Artinya ialah, wahai manusia! Ketahuilah jalur perjalananmu. Allah telah mengerakkanmu pada jalur ini. Yakni semua itu adalah sistem Ilahi, sunah dan kehendak Ilahi merupakan berbagai realitas kehendaknya. Tatkala kamu datang di dunia ini, kamu tidak mengetahui suatu apa pun, kemudian Dia memberimu mata, telinga dan hati, untuk kamu syukuri, untuk kamu pergunakan pada tempatnya masing-masing. Yakni untuk kamu ketahui, yakni mata, telinga dan hati untuk kamu pergunakan sebagai alat epistemologi. Mata, telinga, indera peraba dan indera perasa yang ada pada dirimu merupakan media epistemologi. Daya berpikir, lub, hati, akal, rasio, hijr dan berbagai rahasia yang ada pada dirimu, semua itu adalah media epistemologi. Allah menciptakan semua itu adalah agar kamu mengenal dan mengetahui alam ini. Oleh karena itu al-Qur'an dengan tegas menyatakan bahwa kedua alat itu adalah media epistemologi. Dengan demikian maka sesuai dengan pandangan al-Qur'an kita mengakui adanya dua media epistemologi (indera dan rasio). Alhasil, Al-Qur'an mengakui adanya alat epistemologi yang lain, yang mana hal itu nanti akan dipaparkan kemudian. Di sini kita mesti mengenal berbagai macam pandangan yang lain. Kemungkinan Anda telah membaca pembahasan epistemologi dari berbagai buku filsafat seperti buku-buku yang bertemakan kulliyat falsafah (hal-hal universal dalam filsafat). Ada sebagian, misalnya Plato, meyakini bahwa media epistemologi itu hanya rasio (`aql).[3] Dan sebagian yang lain tidak menganggap penting fungsi rasio, mereka berkeyakinan bahwa media epistemologi itu hanya berbagai indera, sementara rasio hanya memiliki suatu peran yang amat lemah. Mereka mengatakan bahwa segala pengetahuan itu berhubungan langsung dengan indera. Di antara yang memiliki pandangan semacam ini adalah para filosof Eropa. Hume berada pada posisi di atas mereka semua. John Locke (berkebangsaan Inggris) juga merupakan seorang tokoh Eksperimentalisme. Hobbes juga termasuk tokoh Eksperimentalisme.
Salah satu dari berbagai alat itu-yang dari satu sisi artinya adalah alat indera itu sendiri, namun di sini mesti dipisahkan artinya-adalah "praktik" (`amal). Selama kita hanya sibuk dengan berbagai indera kita saja dan tidak melakukan praktik, itu dinamakan dengan "induksi" (menurut istilah ilmu logika disebut dengan istiqrâ'), sedangkan jika pada saat praktik, rasio juga ikut serta dalam praktik itu, maka hal itu disebut dengan eksperimen (ikhtibar, tajribah). Di antara kesalahan besar yang ada di tengah para filosof Eropa adalah, mereka tidak memisahkan antara "induksi" dan "eksperimen", sedangkan para filosof kita memisahkan dua perkara itu, dan keduanya itu jelas harus dipisahkan. Induksi (istiqra') berada pada posisi prasangka atau dugaan, sedangkan eksperimen (ikhtibar, tajribah) berada pada posisi keyakinan dan argumentatif. Inilah yang saya maksudkan bahwa dari sudut pandang yang lain, praktik mesti dipisahkan dari indera. Karena terdapat perbedaan antara perasaan biasa (yaitu induksi, istiqra') dengan suatu perasaan yang disertai dengan praktik (yaitu, eksperimen, tajribah), dan praktik kita itu tidak ubahnya seperti aktivitas rasio. Sebagaimana di dalam rasio kita, terdapat praktik memilah dan menyusun (tajziah wa tarkib), di luar pun kita juga memilah dan menyusun, membuat berbagai tabel serta menambah dan mengurangi, dan semua itu bermanfaat bagi kita.
Alat Hati (Penyucian Jiwa)
Salah satu dari alat-alat epistemologi itu adalah hati." Hati menurut istilah irfan dan bukan hati menurut istilah Al-Qur'an. Terkadang Al-Qur'an juga meng­artikan semacam ini, tetapi ini adalah suatu istilah khusus, istilah irfan. Apakah hati itu merupakan sebuah media epistemologi? Mungkinkah seseorang mampu memperoleh pengetahuan tanpa melalui indera dan rasio, tetapi melalui hati? Maksud dari melalui hati ialah dengan melakukan penyucian jiwa, penyucian hati. Sebagian dari para ilmuwan modern-di antaranya adalah: Pascal, seorang ahli matematika yang cukup terkenal; William James, ahli ilmu jiwa dan filosof terkenal berkebangsaan Amerika; Alexis Carrel dan Bergson-menganggap hati sebagai alat epitemologi. Bahkan Bergson amat meyakini hal itu melebihi yang lain. Ia meyakini bahwa media epistemologi yang dimiliki oleh manusia hanyalah hati, dan ia beranggapan bahwa indera dan rasio tidak memiliki peran sebagai media epistemologi. Descartes memiliki pendapat sama seperti Plato, yaitu menganggap rasio sebagai media epistemologi dan tidak mengakui indera sebagai alat epistemologi. Descartes mengatakan bahwa indera itu hanya berguna untuk praktik, berguna untuk kehidupan, laksana sebuah mobil bagi manusia yang berguna sebagai alat untuk bekerja, akan tetapi dengan indera itu tidak mungkin dapat diperoleh suatu epistemologi. Epistemologi tidak lain hanyalah dengan rasio. Berbagai argumen yang dikeluarkan oleh Descartes dalam usaha menolak peran indera, oleh Bergson digunakan untuk menolak fungsi rasio. Bergson mengatakan, "Pendapat Anda keliru tatkala Anda mengatakan bahwa rasio adalah media epistemologi. Tidak, bukan semacam itu. Sebagaimana Tuhan menciptakan berbagai indera sebagai media untuk mengarungi kehidupan, Tuhan juga memberi manusia rasio yang merupakan suatu media lain yang juga berfungsi untuk mengarungi kehidupan. Rasio bukan alat epistemologi, yang merupakan alat epistemologi itu adalah perasaan 'itfani (yang oleh para ahli `irfan disebut dengan hati, qalb)."
Perumpamaan Maulawi
Perselisihan antara kalangan 'urafa (ahli 'irfan) dan para filosof adalah dalam masalah, "Kaki kaum rasional adalah kaki kayu dan kaki kayu amatlah rapuh." Mulla Rumi memiliki berbagai perumpamaan yang cukup indah dan menarik berkenaan dengan topik pembahasan ini.
Di antaranya ia mengatakan, "Pada suatu hari di dunia, diadakan lomba lukis internasional. Orang-orang Cina menyatakan bahwa lukisan dan peradabannya jauh lebih tinggi dari yang lain, dan orang-orang Romawi menyatakan bahwa lukisan dan peradabannyalah yang lebih tinggi. Telah ditentukan bahwa lomba tersebut diadakan di sebuah ruangan yang luas, orang-orang Cina berada di satu sisi dan orang-orang Romawi di sisi lain. Di ruangan itu masing-masing akan melukis suatu lukisan, dan kedua lukisan itu akan dibandingkan, lalu juri akan memutuskan manakah yang terbaik dari kedua lukisan itu. Kedua kelompok pelukis itu dipisahkan oleh sebuah tabir; agar satu sama lain tidak saling melihat. Telah cukup lama orang-orang Cina sibuk mengerjakan lukisannya, akan tetapi orang-orang Romawi bukannya melukis, tetapi mereka justru mendatangkan sebuah cermin yang cukup besar dan diletakkan tepat berhadapan dengan kanvas orang-orang Cina. Mereka mem­bersihkan dan mengelap cermin tersebut dengan sungguh-sungguh, sehingga tidak ada setitik noda pun yang anelekat di permukaannya. Akhirnya waktu lomba pun usai, tirai pembatas disingkap dan akan dilakukan perbandingan antara kedua lukisan itu. Para juri melihat kedua lukisan itu dan mengatakan bahwa lukisan milik orang-orang Romawi jauh lebih baik." (perumpamaan ini bukan fakta sejarah, tetapi hanya sebuah dongeng).
Si arif berkata kepada filosof, "Wahai filosof, dengan cara membersihkan hati dan jiwa saya, dalam inengenal dunia ini jauh lebih baik dari Anda. Anda mengatakan bahwa filsafat itu,  menciptakan pada diri manusia sebuah alam rasio yang sama dengan alam obyektif'. Anda juga mengatakan bahwa, 'ia adalah ilmu terhadap berbagai hakikat sesuatu, sesuai dengan apa yang ada'. Silahkan Anda bekerja keras membanting tulang, dan saya dihadapan alam ini hanya akan membersihkan diri, menjadi semacam cermin di hadapan alam, saya tidak akan melukis suatu gambar apa pun dalam diri saya. Silahkan Anda membaca hukum ini dan hukum itu, lalu Anda melihat suatu lukisan dalam dirimu, dan saya tidak akan membuat suatu lukisan pun, tetapi saya hanya membersihkan jiwa. Saat itu, lukisan alam obyektif ini akan tercermin dalam diri saya, dan saya akan melihat alam ini.
Ibnu Sina, yang mana ia adalah seorang filosof, tidak menghiraukan berbagai pandangan para ahli `itfan ini. Tatkala ia mendapatkan suatu kesulitan dalam memahami suatu bentuk ungkapan-yang tidak dapat diselesaikan dengan menggunakan argumen matematika dan filsafat, yang argumen itu sifatnya kering dan gersang-ia akan bergumam, "Biarkan saja, ungkapan ini tidak ubahnya seperti ungkapan 'urafa, seperti ungkapan para sufi." Demikian pula seorang arif tatkala menghadapi kesulitan dalam memahami ungkapan filosof ia juga akan bergumam, "Biarkan saja, ia tengah tersesat dalam alamnya sendiri. la tidak ubahnya seperti ulat sutera yang selalu melilit dirinya sendiri dan bersembunyi dalam rumah khayalannya itu, tetapi ia sendiri tidak menyadarinya." Yang ini mengatakan, "Biarkan saja," dan yang itu juga mengatakan, "Biarkan saja." Tetapi tampaknya Ibnu Sina pada akhir hayatnya cenderung pada `irfan. Dalam karya tulisnya yang terakhir yang berjudul Maqâmat al-'Ârifin, ia mengakui sebagian perkara yang berkaitan dengan `irfan.
Apa yang dikatakan oleh al-Qur'an? Al-Qur'an tidak mendukung pendapat yang ini dan tidak mendukung pendapat yang itu. al-Qur-an tidak mengatakan bahwa (media epistemologi itu) hanya indera dan rasio. Demikian pula tidak mengatakan bahwa media epistemologi itu hanya hati. Karena al-Qur'an beranggapan masing-masing media itu merniliki wilayah yang berbeda. Berbagai wilayah tidak sama dengan berbagai topik.
Demi untuk mengenal diri sendiri, al-Qur'an mengatakan bahwa hendaklah kalian melakukan penyucian jiwa (tazkiah an-nafs). Tidak ada seorang pun dari para ahli di bidang psikologi dan psikoterapi yang mampu mengetahui jiwa manusia yang paling dalam, sehingga akhirnya mereka mampu berpendapat bahwa penyucian dan pembersihan jiwa akan mengenalkan manusia pada dirinya sendiri. Penyucian dan pembersihan jiwa, akan menampakkan kepada manusia berbagai kebijaksanaan Ilahi, jalan serta jalur yang mesti dilewati, serta melenyapkan berbagai debu yang menghalangi pandangan manusia.
Hakikat adalah rumah yang terhias indah
Hawa nafsu adalah debu yang berterbangan
Tidakkah kamu melihat tatkala debu berterbangan
Penglihatan seorang tak mampu melihat meski tak buta
Al-Qur'an tidak mengatakan bahwa jika kalian hendak mempelajari ilmu kedokteran kalian cukup dengan melakukan penyucian diri, dan ilmu kedokteran itu akan terwujud dalam diri kalian. Jelas hal semacam ini adalah ornong kosong belaka. Ilmu kedokteran mesti dipelajari, mesti memeriksa pasien yang menderita suatu penyakit clan meneliti jenis penyakitnya, dan mesti mengadakan berbagai penelitian serta uji coba terhadap macam-macam jenis obat. Jika Anda hendak mengetahui ilmu matematika, Anda mesti mempelajari ilmu itu. Jika Anda hendak mengenal alam, maka Anda mesti mempelajari ilmu alam, dan seterusnya.
Katakanlah: "Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. " (Qs. Yunus [10]: 101)  Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malum dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. " (Qs. Ali Imran [3]: 190-191)
(Media-media epistemologi itu) satu sama lain meiniliki wilayah yang berbeda-beda. Anda jangan mencampuradukkan dua wilayah itu, Anda tidak menolak dia dan dia tidak menolak Anda. Wilayah indera dan rasio adalah terbatas; yang ini memiliki suatu kegunaan dan yang itu juga memiliki suatu kegunaan yang lain. Di sini al-Qur'an mengatakan, Dan Allah mengeluarkun kamu duri perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kainu bersyukur . (QS. an-Nahl [16]: 78)
Dalam ayat ini al-Qur'an secara tegas-sebagaimana seorang filosof-mengajak manusia pada epistemologi melalui media indera dan rasio, scdangkan pada ayat yang lain, memberikan peqjelasan secara lemah lembut-seperti seorang arif. Al-Qur'an mengatakan, "Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. (Qs. al-Ankabut [29]:9)
Mereka yang berjuang di jalan Kami, menyucikan jiwa mereka, memiliki niat yang tulus dan bersih, Kami akan membimbingnya melalui jalan yang gaib, Kami akan memberinya cahaya, Kami akan memberinya berbagai pengetahuan sehingga mereka mampu untuk mengenal dengan baik berbagai hakikat kehidupan dan juga supaya mata serta pikiran mereka menjadi semakin terbuka. Al-Qur'an juga mengatakan, "Demi matahuri (dan cahayanya di pagi hari, dan bulan apabila menampakkannya, dan malam apabila menutupinya, dan langit serta pembinaannya, dan bumi serta penghamparannya, dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (Qs. asy-Syams [91]: 1-10)
Di sini yang pertama kali disebut adalah alam: Kami bersumpah demi pancaran sinar matahari di waktu pagi, Kami bersumpah demi bulan yang mengikuti matahari, Kami bersumpah demi siang ketika matahari tampak terang benderang, Kami bersumpah demi malam yang menyelimuti alam, Kami bersumpah demi langit dan yang membangunnya, Kami bersumpah demi bumi dan yang membentangkannya, Kami bersumpah demi jiwa dan roh manusia, Kami bersumpah demi keseimbangan jiwa manusia, (betapa indahnya ungkapan al-Qur'an! Demi Allah manusia akan meneteskan air matanya tatkala menyaksikan keindahan ayat ini) Kami bersumpah demi keseimbangan ciptaan ini, yang mana fujur dan taqwa (jiwa ini telah Dia ilhamkan kepada jiwa itu).[4] Kemudian mengatakan, Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, telah meraih kemenangan seseorang yang berhasil mensucikan jiwanya.
Wahai ilmuwan! Wahai filosof! Kalian mesti menyingkirkan berbagai kelemahan yang ada pada diri kalian. Anda tidak cukup hanya dengan mengatakan bahwa saya sekarang berada di laboratorium, tetapi Anda mesti terlebih dahulu menjadi seorang manusia. Jika Anda hendak memiliki epistemologi, syarat demi memperoleh epistemologi yang betul adalah menjadi manusia. Jadilah manusia, lalu pergilah ke laboratorium; jadilah manusia, lalu masuklah ke dalam kelas. Jadilah manusia, lalu berpikirlah; jadilah manusia, lalu mengajarlah; jadilah manusia, lalu duduklah mendengarkan pelajaran yang disampaikan oleh pengajar.
"Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu." Telah meraih kemenangan seseorang yang jiwanya (di mana Kami bersumpah derni itu) telah berhasil ia sucikan. Celaka dan siallah seorang yang telah menyimpangkan jiwa itu. Kata dassaha berasal dari kata dassa yang berarti "merubah", "menghapus", seperti-seseorang yang-memasukkan suatu kesalahan pada tulisan asli seorang penulis, atau menghapus tulisan yang ada pada suatu surat perjanjian, atau ada seorang yang telah menulis sebuah buku, kemudian ada orang lain yang mcnambahkan--dalam buku itusuatu topik pembahasan atau menghapus sebagian pembahasan yang ada, ia memaparkan berbagai perma­salahan yang sama sekali tidak diketahui oleh sang penulis.
Hal semacam itu juga terjadi pada buku-buku syair kita. Hafiz yang malang, sekarang ini tidak jelas manakah syair-syair yang benar-benar merupakan hasil karyanya. Setiap orang yang hendak menulis syair mengetahui bahwa jika syair itu ditulis atas namanya sendiri, maka pasti tidak akan ada orang yang sudi membaca dan mendengarnya. Kemudian kumpulan syair-syair itu ia beri judul Kumpulan syair-syair Hafiz. Dengan demikian maka ia dapat dengan bebas dan leluasa menulis syair-syair dalam buku Hafiz-nya sendiri. Sekarang ini untuk memisahkan antara syair, syair yang benar-benar milik Hafiz dengan syair-syair para pemalsu mesti dengan susah payah.
Umar Khayyam, seumur hidupnya bukanlah seorang penyair. Artinya keahliannya bukan sebagai penggubah syair, tetapi ia memiliki yang peka dan tinggi terhadap syair. Ia adalah seorang teosof, ahli matematika, muwahhid (mengesakan Tuhan), ahli tauhid, murid dari Ibnu Sina dan ia selalu mengingat hubungannya dengan Ibnu Sina dengan mengungkapkan "saya dan guru saya." Mereka menukil berbagai syair yang tidak berbobot yang dinisbahkan padanya (Umar Khayyam), sedangkan dalam menolak berbagai permasalahan yang terkandung dalam syair-syair itu – berkenaan dengan syair-syair yang berhubungan dengan filsafat penciptaan, filsafat taklif, filsafat pengharaman (hurmah) dan lain sebagainya yang mana semua permasalahan itu disusupkan dalam syair-syairnya- ia memiliki tulisan yang telah dicetak oleh orang-orang Rusia dan Mesir. Dikatakan bahwa Umar Khayyam selama hidupnya hanya menciptakan enam belas ruba'i (syair yang terdiri dari empat baris). Ia adalah seorang yang memiliki yang tajam, sekali-kali mengalunkan syair (sebagaimana Ibnu Sina juga sekali-kali mengalunkan syair). Seorang penyair tatkala jiwa penyairnya tengah melambung tinggi, ia akan meletakkan itu di sini dan di situ (membolak balik posisi kata).
Alhasil ini hanyalah sebuah syair, bahasa syair bukan seperti bahwa hikmah (teosofi), dan bukan pula seperti bahasa ilmiah. Sekarang, cobalah Anda perhatikan, ungkapan apa yang tidak dicantumkan dalam Ruba'iyyat yang diatributkan kepada Umar Khayam. Inilah yang disebut sebagai dassa, disebut sebagai tahrif. Alangkah indahnya penjelasan al-Qur'an mengatakan, wahai manusia! Kalian ibarat buku, dalam buku ini kalian jangan menulis suatu kesalahan, tulisalah dengan benar, tulisalah berdasarkan pada epistemologi yang sahih, jika kalian menulis suatu kalimat yang salah pada lembaran jiwa Anda, berarti kalian telah berkhianat terhadap buku ini. Jika kalian mempelajari hal-hal yang percuma, sia-sia dan tiada guna, yang tidak memberi suatu manfaat bagi dunia dan akhirat kalian, (maka kalian telah berkhianat terhadap buku kalian). Dan sesungguhnya merugilah orang yang menodainya. Apakah bukan merupakan keburukan pada jiwa kalian, tatkala kalian memasukkan syair-syair yang tidak berguna dalam benak pikiran kalian? "Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang menodainya."
Segala kebohongan, segala penyimpangan yang kalian lakukan dengan menggunakan pikiran kalian, hal itu berarti kalian telah berkhianat terhadap buku ini. Wahai manusia! Janganlah kalian berkhianat, Kami bersumpah demi jiwa kalian, Kami bersumpah demi keseimbangan ruh kalian, bahwa kemenangan kalian adalah senantaisa menjaga kesucian jiwa ini dan kesengsaraan kalian adalah ketika kalian mencemarinya.
Dengan demikian maka al-Qur'an secara tegas mengakui peran media ini (hati, jiwa), seperti pengakuannya terhadap dua media (indera dan rasio) yang telah disinggung sebelumnya. Tetapi sama sekali bukan pandangan seorang sufi, seorang arif (perlu diketahui bahwa bukan semua orang arif memiliki pandangan semacam itu [hanya mengandalkan hati], sebagian dari mereka juga senantiasa menggunakan rasionya dan memiliki ilmu yang luas, yang sebagian ada di India).
Al-Qur'an sama sekali tidak mengatakan, jangan menuntut ilmu, tetapi lakukanlah penyucian jiwa. Al-Qur'an mengatakan, "Tuntutlah ilmu, beramallah, perdalamlah ilmu pengetahuan, tetapi kalian juga mesti bertakwa. Kalian jangan memisahkan antara keduanya itu." Jika ketakwaan murni itu adalah tidak meng­gunakan mata, tidak menggunakan telinga, tidak menggunakan pikiran, lalu untuk apa Allah menciptakan semua itu? Jika memang demikian maka Allah cukup hanya menciptakan hati yang sebagaimana Anda katakan, dan tidak perlu menciptakan mata, telinga, rasio, indera dan pikiran. Al-Qur'an tidak meremehkan ilmu dan tidak pula meremehkan kesucian dan penyucian jiwa.
Permasalahan kita berikutnya adalah permasalahan yang berkaitan dengan berbagai tahapan epistemologi. Kita memiliki epistemologi sath-hi (dangkal) dan epistemologi 'umqi (dalam). Tahap terendah dari epistemologi `umqi ialah, epistemologi sath-hi. Tahap di atas itu (`umqi)-yang mana terkadang mereka juga menyebut tahap ini dengan tahap 'umqi-adalah epistemologi `ilmi (ilmiah), sementara tahap yang lain ialah, epistemologi falsafi (filosofis). Apakah kita memiliki epistemologi `ilmi yang merupakan pecahan dari epistemologi falsafi? Ini adalah suatu permasalahan tersendiri. Insya Allah, berbagai tahapan epistemologi dan permasalahan lainnya, yang akan dipaparkan pada kesempatan mendatang.[]
[1] . Dari pertanyaan yang diajukan, dipahami maksud pertanyaan itu. Dan perlu dijelaskan bahwa jika di tengah-tengah pembicaraan kemudian terselipkan pembahasan berkenaan dengan pandangan al-Qur'an, hal itu bukan berarti bahwa sejak pertama kali bersandar pada al-Qur'an berkenaan dengan bagaimanakah bentuk epistemologi yang benar. Sekarang ini kita tengah melakukan suatu kajian ilmiah, kajian terhadap masalah epistemologi. Tetapi di tengah pembahasan ini, sebagaimana dinukil berbagai teori dan pandangan mereka yang memiliki suatu teori tertentu, juga akan dijelaskan teori dan pandangan al-Qur'an yang berhubungan dengan permasalahan ini, sehingga kita dapat memiliki suatu bentuk pengetahuan sekalipun secara global. Dengan demikian jika seandainya ada seseorang yang bertanya kepada kita, "Dalam bab epistemologi alat apa sajakah yang diyakini oleh Plato?" Kita akan menjawab, "Dalam bab ini, ia memiliki suatu pandangan tersendiri, di mana ia mengatakan bahwa alat tunggal epistemologi adalah rasio dan epistemologi hanya dapat diperoleh dengan perantaraan rasio." Selain itu topik epistemologi menurut pandangan Plato (yang nantinya saya akan membahas tentang hal itu) juga bersifat universal (kulli) dan bukan partikular (juz'i). Menurut teorinya, partikular bukan merupakan suatu hakikat, dan tidak dapat dijadikan sebagai topik epistemologi. Dengan demikian maka ia meyakini suatu bentuk epistemologi yang rasional dan epistemologi yang rasional itu ia namakan dialektika. la meyakini suatu bentuk dialektika dalam epistemologi yang mana dalam dialektika Plato alat epistemologi adalah rasio clan topik epistemologi yang merupakan suatu hakikat adalah yang sifatnya universal dan bukan pertikular. Dengan demikian, maka secara global kita telah mengetahui pandangan Plato. Kemudian jika ada yang yang bertanya, "Bagaimanakah pandangan Aristoteles berkenaan dangan hal ini'?" Kita akan mcnjawab bahwa dalam hal ini Aristoteles tidak memiliki pandangan semacam itu. la berkeyakinan bahwa topik epistemologi adalah berbagai hal yang universal clan yang partikular. Partikular adalah suatu hakikat dan universal adalah suatu hakikat juga. Keduanya adalah hakikat dan indera merupakan media epistemologi. Aristoteles juga mengakui nilai rasio. Dengan demikian, maka di sini hanya dinukil suatu bentuk pandangan dan jika juga disampaikan suatu pandangan dari al-Qur'an, Anda jangan tergesa-gesa mengatakan bahwa Anda tengah menyampaikan pembicaraan berdasarkan pada pandangan Al-Qur'an dan Anda hendak menyimpulkan hasil pembahasan berdasarkan pada pandangan Al-Qur'an itu. Sekarang ini kita hendak mengkaji masalah epistemologi, dan sekiranya dinukil pandangan al-Qur'an tujuannya adalah hendak mengetahui bagaimanakah bentuk pandangan al-Qur'an berkenaan dengan permasalahan ini. Disamping kita mengetahui pandangan dan teori filosof fulan serta teori berbagai fakultas, kita juga ingin mengetahui bagaimanakah pandangan Al-Qur'an.[2]. Ayat ini juga rnenolak teori Plato yang populer. Plato berkeyakinan bahwa jiwa (roh) manusia sebelum datang ke dunia ini berada dalam alam berbagai universal dan ide-ide (yang mana berbagai universal rasio [kulliyat ma'qull itu disebut dengan mitsal atau ide. Plato adalah orang pertama yang memasukkan kata "ide" dalam ilmu filsafat), dan dikarenakan segala yang ada di alam ini sekalipun sifatnya partikular telah ada di alam ide, dengan demikian maka jiwa telah mengetahui berbagai ide dan berbagai universal ini, setelah itu jiwa datang di dunia ini. Tatkala datang di dunia, kedatangan (jiwa) di dunia atau penyatuan (jiwa) dengan tubuh, merupakan suatu tirai yang menutupi seluruh pengetahuan yang pernah diketahui oleh jiwa (di alam ide, mitsâl). Tatkala jiwa datang di dunia, ia pernah mengetahui dan mengenal sesuatu, tetapi sekarang ini ia sudah tidak ingat lagi. Hal itu tidak ubahnya semacam ketika Anda pernah mengetahui suatu masalah tetapi Anda lupa bentuk masalah itu. Anda senantiasa berusaha dan menanti suatu kesempatan tertentu sehingga Anda dapat mengingatnya kembali. Dan jika ada seseorang yang menyinggung masalah itu, seketika itu juga Anda akan mengatakan, "Ya, sekarang saya mengingatnya." Ungkapan "saya mengigatnya" ini artinya ialah bahwa masalah itu sebelumnya telah ada dalam pikiran saya. Menurut ungkapan Bergson, pikir­an tidak memiliki tenaga, dan masalah itu tersimpan dalam gudang ingatan. Tetapi daya pikir mesti mengeluarkanya dari batin (tersembunyi) menuju lahir (nyata). Hubungannya (antara daya pikir dan gudang ingatan) telah terputus; hubungan agar dapat mengeluarkan dan membawa telah terputus. Plato memiliki teori semacam ini. Apa pun yang dipelajari oleh manusia di alam dunia ini, menurut tcori Plato adalah bukan mempelajari, tetapi mengigat kembali. Itulah yang menyebabkan ia mengatakan bahwa ilmu itu adalah "mengingat" (tadzakkur). [3]. Berkenaan dengan apakah Plato mengakui atau tidak mengakui pengartian alat hati yang diartikan oleh para ahli 'irfan masih diragukan. Sekalipun di dunia ini Plato dikenal sebagai filosof lsyrâqi (Iluminasionis), tetapi bagi saya masalah ini masih belum jelas dan pasti, clan saya kira itu adalah kekeliruan mereka. Bahkan para filosof kuno kita-selain Syaikh al-Isyraq, dan sebelum Syaikh al-Israq misalnya Ibnu Sina, dan juga para penulis sejarah filsafat kita-mereka sama sekali tidak menganggap Plato sebagai seorang filosof Isyraqi. [4] . Kata fujur berarti "ledakan", dan kata taqwa berarti "suci". AlQur'an memandang perbuatan dosa itu semacam suatu ledakan, oleh karena itu disebut dengan fujur. Penggunaan kata fujur bagi suatu perbuatan dosa mengandung arti khusus. Kata-kata AI-Qur'an yang berhubungan dengan pahala dan dosa penting sekali untuk diperhatikan. Terkadang Al-Qur'an menyebut dosa dengan kata fujur, terkadang dengan itsm, dan terkadang dengan wazr (beban yang berat). Dalam berbagai ungkapan ini berisikan poin-poin psikologi yang indah dan menarik di mana sama sekali belum ada seorang pun yang pernah mengungkapkannya.
Indera
Pengalaman inderawi memang merupakan bukti pertama yang mampu membuat orang mau mempercayai sesuatu. Sensasi yang diterima oleh mata, telinga maupun anggota indera yang lainnya merupakan dalil paling nyata yang harus disikapi, dengan meningkatnya derajat ketaqwaan atau semakin bertambahnya ke kufuran.

Pandangan Dunia tentang Indera

Ada beberapa pandangan tentang  indera manusia dan bagaimana seharusnya memfungsikan indera dalam kehidupan. Dari banyaknya ragam pandangan dunia tersebut paling tidak kita dapat menggolongkannya dalam dua golongan besar.
Pertama, pandangan dunia materialis. Pandangan ini berpendapat bahwa indera merupakan sumber pengetahuan paling utama yang menjadikan manusia mampu  berpengetahuan. Mereka kita kenal kemudian dengan kaum empiris. Dipelopori oleh John Locke (filsuf Inggris) dan selanjutnya diperkuat lagi oleh secara lebih kritis oleh David Hume (Skotlandia). Pandangannya ialah bahwa otak manusia pada awalnya kosong, lalu indera menemukan realitas luar berupa alam semesta (lingkungan) yang kemudian dipilah, disusun dan digeneralisasi oleh akal. Jadi pengetahuan murni lewat akal itu sebenarnya tidak ada. Manusia menurut mereka tidak mempunyai pengetahuan innate (bawaan/fitrah).
John Locke memiliki sebuah ungkapan, “ Dalam akal (rasio)  tidak ada sesuatu apa pun melainkan sebelumnya telah masuk sesuatu ke dalam akal itu melalui berbagai indera.” Pendapatnya mengungkapkan bahwa pengetahuan manusia dari awal sampai akhir adalah berada pada batas- batas inderawi saja.
Konsekuensi pandangan ini adalah bahwa kita tidak perlu lagi mempercayai hal-hal yang metafisik (immaterial) seperti Tuhan. Karena keberadaannya tidak dapat dirasakan, didengar ataupun dilihat. Jadi mereka yang tidak mampu mengambil pelajaran dari semakin bertambahnya umur, pergantian tahun dan bertambahnya pengalaman hidup, secara tidak sadar mengikuti pandangan dunia ini, bahwa semua pengalaman inderawi tersebut tidak perlu disikapi dengan dipergunakannya sumber pengetahuan lanjutan berupa akal dan hati yang akan melanjutkan tugas indera (mendengar, melihat, mencium, meraba, dan merasa) untuk menyembah Allah swt. (Baca edisi ke-6 dan ke-7 tentang sifat dan fungsi akal maupun hati) 
Kedua, Pandangan dunia ilahiyah. Pandangan ini mengungkapkan bahwa indera merupakan syarat cukup bagi manusia yang tugasnya merespon realitas luar (alam semesta/lingkungan) ke realitas dalam (benak). Indera hanyalah salah satu alat untuk mendapatkan pengetahuan. Cacatnya suatu indera dapat mengurangi kesempatan seseorang untuk mendapatkan pengetahuan. Seorang buta tidak akan mempunyai pengetahuan tentang warna, seorang yang tuli tidak akan mempunyai pengetahuan tentang suara atau musik. Begitu pula rusak atau cacatnya indera yang lain tentu akan mengurangi  (bukan menghilangkan) kesempatan untuk mendapatkan pengetahuan.
Allah swt berfirman, “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran penglihatan, dan hati (akal), agar kamu bersyukur.” (QS An-Nahl : 78).
Ayat ini menyebutkan dua alat indera yang terpenting yaitu mata dan telinga. Alquran dengan demikian memberitahukan kepada kita bahwa penggunaan indera (mata dan telinga) saja tidaklah cukup. Tetapi manusia juga mempunyai kekuatan hati (akal) yang mampu memilah, menyusun, dan mengeneralisasi suatu pengetahuan.
Manusia dalam ayat ini juga diharapkan  untuk bersyukur. Dalam artian dia harus memberikan nilai atau menghargai keberadaan inderanya. Menghargai kenikmatan berupa indera yang sehat tersebut artinya menggunakannya sesuai dengan tujuan penciptaan. Karena tidaklah Allah swt menciptakan sesuatu itu sia-sia. Bersyukur di sini mempunyai arti bahwa manusia harus bergerak, beramal dan mempergunakannya sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah. Dan dalam Alquran jelaslah kita ketahui bahwa semua alat indera tersebut berfungsi sebagai sumber epistemologi (pengetahuan).
Islam tidaklah menganggap bahwa manusia hanya punya sumber pengetahuan seperti indera saja dan menafikkan hati serta akal seperti kaum empiris, atau mengatakan bahwa manusia hanyalah punya akal saja seperti kaum rasionalis dan tidak juga mengandalkan hati saja seperti kaum sufi. Tapi Islam menempatkan ketiganya pada posisinya masing-masing.
Ciri Khusus Pengetahuan Inderawi
Ketika kita sudah mengetahui bersama posisi indera manusia dalam mendapatkan pengetahuan bagi manusia,  tentu kita ingin mengetahui karakter atau ciri-ciri khusus yang dimiliki oleh indera. Syeikh Murtadha Muthahhari (dalam Mengenal Epistemologi,Lentera, hal 130) mengungkapkan bahwa ada  empat ciri khusus pengetahuan inderawi.

1.      Ciri pertama, adalah sifatnya yang partikular dan satu persatu. Misalnya pengetahuan tentang bau makanan yang enak. Menurut seorang penggemar sate, daging sate Kambing itu enak. Tapi belum tentu menurut orang lain yang tidak suka sate. Menurut ukuran manusia, daging yang busuk itu tidak enak, tapi bagi lalat atau binatang yang lain, itu merupakan makanan lezat dan  mengundang selera. Dalam hal ini jelaslah bahwa pengetahuan inderawi tidaklah universal tapi sangat personal (individual). Beberapa binatang justru jauh lebih unggul pengetahuan inderawinya dibandingkan manusia. Sebagai contoh, Elang lebih tajam matanya, anjing lebih tajam penciumannya dan gajah lebih tajam pendengarannya. Berarti  manusia bila hanya mengandalkan pengetahuan inderawi saja, tidaklah lebih unggul dari binatang.
2.      Ciri kedua, adalah sifatnya yang lahiriah (material), tidak dalam dan tidak mampu sampai memahami esensi (mahiyah). Sifat ini tidak mampu memahami hubungan sebab akibat, keharusan akan hukum sebab-akibat  serta hal-hal yang tidak terindera olehnya. Misalnya Manusia tidak mampu melihat bentuk /wujud dari  rasa sakit. Tapi hanya bisa merasakan saja.
3.      Ciri ketiga,  adalah sifatnya hanya berlaku “sekarang” atau “saat ini”. Manusia tidak bisa melihat masa lalu atau masa depan. Dia hanya mampu mendokumentasikan saja semisal memotret atau menuliskan, tapi tidak mengulanginya.  Manusia tidak mampu lagi mencium masakan atau makanan yang dimakannya minggu yang  lalu. Setiap detik waktu yang dihadapinya adalah sesuatu yang baru. Bukan sesuatu yang lampau atau masa depan.
4.      Ciri keempat, adalah sifatnya yang parsial dan berhubungan dengan kawasan (lingkungan) tertentu. Seseorang hanya mampu melihat sesuatu seluas jangkauan matanya saja. Seandainya ia berada di rumah ia hanya mampu melihat isi ruangan dari rumahnya saja tanpa mampu melihat kondisi rumah tetangganya atau perkampungan sebelah.
Dari keempat ciri khusus pengetahuan inderawi tersebut, jelaslah bahwa kemampuan inderawi manusia sangatlah terbatas. Dari kemampuan inderawi yang terbatas itu manusia kemudian diperintahkan oleh Allah untuk menggunakan juga akal dan hati agar dapat memahami hakikat penciptaan.
Akal
Ketika kontroversi masalah fatwa haram bunga bank oleh MUI ‘kembali’ terjadi, seorang pendengar mengungkapkan, “Masa sebagai seorang yang beragama Islam yang percaya bahwa Al Quran sebagai kitab sucinya, masih ada pihak-pihak yang menolak pendapat bahwa bunga bank itu termasuk riba, itu jelas-jelas haram menurut Al-Quran. akalnya ditaruh di mana sih?”. Ungkapan tersebut, bisa jadi merupakan sebuah bentuk keheranan, ketidakpercayaan, atau kekesalan masyarakat terhadap suatu fenomena.Ada satu kata yang menarik dari kedua ungkapan tadi, yaitu kata akal. Apa yang menyebabkan sesuatu tidak masuk akal? Makhluk apa pula yang bernama akal itu sehingga bisa ditaruh-taruh dan dimasuki sesuatu?

Definisi Akal

Dalam Al Quran, banyak sekali ayat-ayat yang mencantumkan kata yatafakkaruun diujungnya. Kebanyakan menyuruh atau memperingatkan manusia untuk berpikir, merenung atau bertafakkur.Secara istilah akal (aql) berarti kemampuan yang dimiliki manusia untuk mengetahui, membedakan baik dan buruknya sesuatu sehingga manusia mampu menyelesaikan permasalahan kehidupannya. Akal akan selalu menuntun manusia kepada kebenaran dan kesempurnaan. Akal menjadi ciri kemanusiaan seseorang yang membedakannya dari binatang. Akal membuat manusia mampu menghasilkan kebudayaan dan peradaban. Dengan akalnya pula sebagai salah satu sumber pengetahuan yang terdapat dalam dirinya manusia menemukan Tuhan. Imam Ali, dalam Nahjul Balaghah mengungkapkan bahwa akal adalah kekayaan manusia yang utama. Harta manusia yang paling berharga.  Sementara kemiskinan manusia yang paling utama adalah kebodohan manusia itu sendiri. Akal dikatakan sebagai sesuatu yang berfungsi untuk mengendalikan, meredam, dan menolak serta menyingkirkan dorongan dan hasutan jahat hawa nafsu dalam hati manusia.

Akal dan Agama

Dari pengertian tersebut tadi jelaslah bahwa akal akan selalu menuntun manusia untuk kembali kepada Tuhannya. Akal akan cenderung untuk selalu menyembah kepada pemiliknya, suatu dzat maha sempurna yang menjadi tempatnya bergantung. Orang yang memaksimalkan fungsi akalnya tentu saja akan semakin kuat keberagamaannya. Karena apa yang diinginkan akal juga sesuai dengan apa yang diajarkan agama melalui Rasul dan kitab sucinya.  Akal dan Agama adalah ibarat dua sisi mata uang yang tak mungkin dipisahkan.Allah swt dalam surat al-Rum ayat 30 berfirman : “...(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus”. Hal ini membuktikan bahwa tidak ada pertentangan antara akal dan agama. Syariat agama merupakan faktor eksternal (akal luar) yang menyuruh manusia untuk menyembah Tuhan dan Akal adalah faktor internal (dalam diri) manusia yang menuntunnya untuk menyembah Tuhan. Yang membedakan hanyalah faktor dari mana berasalnya  saja, internal dan eksternal.Lalu bagaimana dengan permasalahan banyaknya  para ilmuwan (saintis) sekuler yang mengaku tidak beragama, padahal mereka adalah orang-orang pintar yang telah memaksimalkan fungsi akalnya? Tidakkah ini bertentangan (kontradiktif) jika di awal dikatakan bahwa akal dan agama itu mempunyai kesamaan visi dan tujuan? Mengapa pula kebanyakan dari mereka yang berasal dari dunia belahan barat itu yang lebih maju peradabannya tanpa agama? Bukankah peradaban itu merupakan hasil olah pikir akal manusia? Mengapa di dunia belahan timur yang mengaku beragama masyarakatnya justru tertinggal? Adakah yang salah antara hubungan akal dan agama yang berdasarkan pengertian awal bahwa keduanya adalah ibarat dua sisi mata uang?. Demikianlah pertanyaan-pertanyaan yang akan dan harus dimunculkan jika masalah hubungan antara akal dan agama ini dibahas.
Beberapa alternatif jawaban bisa diberikan berkenaan dengan masalah tersebut. Logika apa yang terjadi dalam hubungan antara akal dan agama yang sesuai menurut teori tapi pada praktek (kenyataan)nya bertentangan dengan apa yang terjadi di sekitar kita saat ini. 
Pertama, ada agama yang mematikan pertanyaan akal (membunuh akal). Sehingga tidak mampu menghasilkan masyarakat yang tinggi tingkat intelektual sekaligus  spiritualnya.
Kedua, ada agama yang memberikan peran kepada akal, tapi tidak dikenal atau belum dipelajari oleh ilmuwan (saintis) atau masyarakat yang mengaku tidak  memeluk agama tersebut. Hal tersebut terjadi karena kebelumtahuan, keengganan, atau kemalasan saja untuk mempelajari pengetahuan agama. Dengan kata lain, di antara sekian banyak ajaran agama yang ada,  terdapat agama yang ajarannya rasional/masuk akal. (Lihat syarat-syarat agama yang benar pada edisi jumat yang lalu dari buletin ini-pen) 
Ketiga, harus dibedakan antara agama dan tafsiran terhadap  agama. Sebagai contoh, bisa jadi tafsiran sebagian orang Islam terhadap Islam salah. Sementara Islam sendiri tetaplah sebuah ajaran agama yang lurus/haq. Kesalahan penafsiran ini menjadikan masyarakat Islam mengalami kemunduran.
Jika ajaran Islam menyuruh manusia untuk memfungsikan akalnya maka sebagian umat Islam saat ini ternyata masih mengunci mati, membunuh atau belum mengoptimalkan akal nya .
Keempat, kenyataan saat ini yang terjadi adalah masih banyaknya manusia (baik yang mengaku beragama ataupun yang tidak) belum mampu menggunakan akalnya sehingga dapat mengendalikan hawa nafsunya. Dorongan hawa nafsu dapat menyuruh manusia untuk melakukan perbuatan-perbuatan buruk yang mengakibatkan terjadinya  ketidakseimbangan kehidupan baik alam maupun sosial. Hawa nafsu ingin berkuasa yang berlebihan menjadikan seseorang menindas manusia yang lain. Hawa nafsu terhadap kekayaan yang berlebihan menjadikan seseorang mengeksploitasi alam dan sesama manusia secara tidak adil. Sementara hawa nafsu syahwat yang berlebihan menjadikan orang kalap sehingga melupakan tata cara dan etika yang benar dalam melakukan kehidupan seksualnya.
Dari alternatif jawaban-jawaban tersebut dapat diketahui bahwa manusia yang menemukan agama yang rasional serta mampu mengendalikan hawa nafsunya melalui akal akan mampu membangun masyarakat berperadaban tinggi, berkeadilan, yang ditopang oleh sains dan teknologi yang maju tapi tetap berlandaskan pada nilai-nilai agama (religius).

Peran akal

Permasalahan selanjutnya ketika masalah hubungan akal dan agama sudah terjawab adalah bagaimana sebenarnya peran akal itu?
Peran penting akal tersebut dapat dibagi menjadi tiga bagian (dalam Hawa Nafsu, karya Muhamad Mahdi al Ashify, 72)
4.      Mengenal Allah swt. sebagai pangkal dan titik tolak tugas akal.
5.      Ketaatan mutlak kepada segala perintah  Allah swt
6.      Ketakwaan kepada Allah swt, yang merupakan sisi lain dari ketaatan kepada Allah, yang berupa melaksanakan kewajiban dan menjauhi laranganNya.
Berdasarkan hadits, Rasulullah saww bersabda: “akal terbagi menjadi tiga bagian, dan barangsiapa menyandangnya maka sempurnalah akalnya, dan yang tidak, maka dia tidak berakal.
4.      Mengenal Allah swt secara benar
5.      Ketaatan yang mutlak kepada Allah swt
6.      Kesabaran yang mendalam untuk menjalankan perintah-Nya” (Biharul Anwar 1 : 106)

Penutup

Setelah mengetahui  hubungan  mengenai akal dan agama serta peran akal yang benar, maka  dapat disimpulkan bahwa sumber pengetahuan dalam diri manusia berupa akal adalah alat maha penting yang harus benar-benar dioptimalkan agar manusia dapat mengenal Tuhannya.
Munculnya keinginan yang kuat untuk mendekatkan diri kepada yang maha sempurna merupakan tanda-tanda telah difungsikannya akal seorang manusia. Akankah kita terus mengikuti godaan gejolak hawa nafsu yang buruk, menutup peran akal yang merupakan pengendalinya dan terus-menerus enggan mengenal dzat yang menciptakan kita melalui pengetahuan agama yang sejalan dengan akal?.