Dasar Pendekatan Epistemologis dalam Islam
Islam
menjelaskan bahwa untuk mengenal alam semesta dan hakikat benda terdapa Akal
Ketika kontroversi masalah fatwa
haram bunga bank oleh MUI ‘kembali’ terjadi, seorang pendengar mengungkapkan, “Masa
sebagai seorang yang beragama Islam yang percaya bahwa Al Quran sebagai kitab
sucinya, masih ada pihak-pihak yang menolak pendapat bahwa bunga bank itu
termasuk riba, itu jelas-jelas haram menurut Al-Quran. akalnya ditaruh di mana
sih?”. Ungkapan tersebut, bisa jadi merupakan sebuah bentuk keheranan,
ketidakpercayaan, atau kekesalan masyarakat terhadap suatu fenomena.Ada satu
kata yang menarik dari kedua ungkapan tadi, yaitu kata akal. Apa yang
menyebabkan sesuatu tidak masuk akal? Makhluk apa pula yang bernama akal itu
sehingga bisa ditaruh-taruh dan dimasuki sesuatu?
Definisi Akal
Dalam
Al Quran, banyak sekali ayat-ayat yang mencantumkan kata yatafakkaruun diujungnya. Kebanyakan menyuruh atau memperingatkan
manusia untuk berpikir, merenung atau bertafakkur.Secara istilah akal (aql) berarti kemampuan yang dimiliki
manusia untuk mengetahui, membedakan baik dan buruknya sesuatu sehingga manusia
mampu menyelesaikan permasalahan kehidupannya. Akal akan selalu menuntun
manusia kepada kebenaran dan kesempurnaan. Akal menjadi ciri kemanusiaan
seseorang yang membedakannya dari binatang. Akal membuat manusia mampu
menghasilkan kebudayaan dan peradaban. Dengan akalnya pula sebagai salah satu
sumber pengetahuan yang terdapat dalam dirinya manusia menemukan Tuhan. Imam
Ali, dalam Nahjul Balaghah
mengungkapkan bahwa akal adalah kekayaan manusia yang utama. Harta manusia yang
paling berharga. Sementara kemiskinan
manusia yang paling utama adalah kebodohan manusia itu sendiri. Akal dikatakan
sebagai sesuatu yang berfungsi untuk mengendalikan, meredam, dan menolak serta
menyingkirkan dorongan dan hasutan jahat hawa nafsu dalam hati manusia.
Akal dan Agama
Dari
pengertian tersebut tadi jelaslah bahwa akal akan selalu menuntun manusia untuk
kembali kepada Tuhannya. Akal akan cenderung untuk selalu menyembah kepada
pemiliknya, suatu dzat maha sempurna yang menjadi tempatnya bergantung. Orang
yang memaksimalkan fungsi akalnya tentu saja akan semakin kuat keberagamaannya.
Karena apa yang diinginkan akal juga sesuai dengan apa yang diajarkan agama
melalui Rasul dan kitab sucinya. Akal
dan Agama adalah ibarat dua sisi mata uang yang tak mungkin dipisahkan.Allah
swt dalam surat
al-Rum ayat 30 berfirman : “...(tetaplah
atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah. Tidak ada
perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus”. Hal ini
membuktikan bahwa tidak ada pertentangan antara akal dan agama. Syariat agama
merupakan faktor eksternal (akal luar) yang menyuruh manusia untuk menyembah
Tuhan dan Akal adalah faktor internal (dalam diri) manusia yang menuntunnya
untuk menyembah Tuhan. Yang membedakan hanyalah faktor dari mana
berasalnya saja, internal dan
eksternal.Lalu bagaimana dengan permasalahan banyaknya para ilmuwan (saintis) sekuler yang mengaku
tidak beragama, padahal mereka adalah orang-orang pintar yang telah
memaksimalkan fungsi akalnya? Tidakkah ini bertentangan (kontradiktif) jika di
awal dikatakan bahwa akal dan agama itu mempunyai kesamaan visi dan tujuan?
Mengapa pula kebanyakan dari mereka yang berasal dari dunia belahan barat itu
yang lebih maju peradabannya tanpa agama? Bukankah peradaban itu merupakan
hasil olah pikir akal manusia? Mengapa di dunia belahan timur yang mengaku
beragama masyarakatnya justru tertinggal? Adakah yang salah antara hubungan
akal dan agama yang berdasarkan pengertian awal bahwa keduanya adalah ibarat
dua sisi mata uang?. Demikianlah pertanyaan-pertanyaan yang akan dan harus
dimunculkan jika masalah hubungan antara akal dan agama ini dibahas.
Beberapa
alternatif jawaban bisa diberikan berkenaan dengan masalah tersebut. Logika apa
yang terjadi dalam hubungan antara akal dan agama yang sesuai menurut teori
tapi pada praktek (kenyataan)nya bertentangan dengan apa yang terjadi di
sekitar kita saat ini.
Pertama, ada agama yang
mematikan pertanyaan akal (membunuh akal). Sehingga tidak mampu menghasilkan
masyarakat yang tinggi tingkat intelektual sekaligus spiritualnya.
Kedua, ada agama yang
memberikan peran kepada akal, tapi tidak dikenal atau belum dipelajari oleh
ilmuwan (saintis) atau masyarakat yang mengaku tidak memeluk agama tersebut. Hal tersebut terjadi
karena kebelumtahuan, keengganan, atau kemalasan saja untuk mempelajari
pengetahuan agama. Dengan kata lain, di antara sekian banyak ajaran agama yang
ada, terdapat agama yang ajarannya
rasional/masuk akal. (Lihat syarat-syarat agama yang benar pada edisi jumat
yang lalu dari buletin ini-pen)
Ketiga, harus dibedakan
antara agama dan tafsiran terhadap
agama. Sebagai contoh, bisa jadi tafsiran sebagian orang Islam terhadap
Islam salah. Sementara Islam sendiri tetaplah sebuah ajaran agama yang
lurus/haq. Kesalahan penafsiran ini menjadikan masyarakat Islam mengalami
kemunduran.
Jika ajaran Islam
menyuruh manusia untuk memfungsikan akalnya maka sebagian umat Islam saat ini
ternyata masih mengunci mati, membunuh atau belum mengoptimalkan akal nya .
Keempat, kenyataan saat ini
yang terjadi adalah masih banyaknya manusia (baik yang mengaku beragama ataupun
yang tidak) belum mampu menggunakan akalnya sehingga dapat mengendalikan hawa
nafsunya. Dorongan hawa nafsu dapat menyuruh manusia untuk melakukan
perbuatan-perbuatan buruk yang mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan kehidupan baik alam maupun
sosial. Hawa nafsu ingin berkuasa yang berlebihan menjadikan seseorang menindas
manusia yang lain. Hawa nafsu terhadap kekayaan yang berlebihan menjadikan
seseorang mengeksploitasi alam dan sesama manusia secara tidak adil. Sementara
hawa nafsu syahwat yang berlebihan menjadikan orang kalap sehingga melupakan
tata cara dan etika yang benar dalam melakukan kehidupan seksualnya.
Dari alternatif jawaban-jawaban tersebut
dapat diketahui bahwa manusia yang menemukan agama yang rasional serta mampu
mengendalikan hawa nafsunya melalui akal akan mampu membangun masyarakat
berperadaban tinggi, berkeadilan, yang ditopang oleh sains dan teknologi yang
maju tapi tetap berlandaskan pada nilai-nilai agama (religius).
Peran akal
Permasalahan
selanjutnya ketika masalah hubungan akal dan agama sudah terjawab adalah bagaimana sebenarnya peran akal itu?
Peran penting akal
tersebut dapat dibagi menjadi tiga bagian (dalam Hawa Nafsu, karya Muhamad Mahdi al Ashify, 72)
1. Mengenal Allah swt.
sebagai pangkal dan titik tolak tugas akal.
2. Ketaatan mutlak
kepada segala perintah Allah swt
3. Ketakwaan kepada
Allah swt, yang merupakan sisi lain dari ketaatan kepada Allah, yang berupa
melaksanakan kewajiban dan menjauhi laranganNya.
Berdasarkan hadits,
Rasulullah saww bersabda: “akal terbagi menjadi tiga bagian, dan barangsiapa
menyandangnya maka sempurnalah akalnya, dan yang tidak, maka dia tidak berakal.
1. Mengenal Allah swt
secara benar
2. Ketaatan yang mutlak
kepada Allah swt
3. Kesabaran yang mendalam untuk menjalankan perintah-Nya” (Biharul Anwar 1 : 106)
Penutup
Setelah
mengetahui hubungan mengenai akal dan agama serta peran akal yang
benar, maka dapat disimpulkan bahwa
sumber pengetahuan dalam diri manusia berupa akal adalah alat maha penting yang
harus benar-benar dioptimalkan agar manusia dapat mengenal Tuhannya.
Munculnya keinginan
yang kuat untuk mendekatkan diri kepada yang maha sempurna merupakan
tanda-tanda telah difungsikannya akal seorang manusia. Akankah kita terus
mengikuti godaan gejolak hawa nafsu yang buruk, menutup peran akal yang
merupakan pengendalinya dan terus-menerus enggan mengenal dzat yang menciptakan
kita melalui pengetahuan agama yang sejalan dengan akal?.
t tiga cara, ketiga cara
tersebut adalah:
Indera: Yang paling penting di antara mereka adalah pendengaran dan
penglihatan;
Akal serta pemikiran: Dalam ruang lingkup yang terbatas dan sesuai
dengan landasan-landasan serta dasar-dasarnya yang khusus, akal dapat
menyingkap hakikat dengan pasti dan yakin;
Wahyu: Dengan perantara manusia pilihan dan memiliki kedudukan yang tinggi dapat
menjembatani hubungan manusia dengan alam gaib.
Dua cara yang pertama
merupakan hal yang umum yang mana semua manusia dapat mengenal alam semesta
melalui keduanya, begitu juga dua cara tersebut dapat membantu manusia dalam
memahami syariat. Adapun cara yang ketiga hanya orang-orang khusus yang
mendapatkan inayah Ilahi, dan orang-orang tersebut adalah para nabi Allah Swt.
Adapun penggunaan
indera hanya untuk hal-hal yang dapat di persepsi dan nampak saja, begitu juga
akal dapat kita aplikasikan pada permasalahan yang sifatnya terbatas dan
memiliki landasan untuk itu, akan tetapi aplikasi wahyu lebih luas dan mencakup
seluruh permasalahan, lebih umum dan luas dari permasalahan akidah dan hukum.
Al-Qur'an
menjelaskan permasalahan ini dalam beberapa ayatnya, sebagai contoh kami
sebutkan:
"Dan Allah yang telah mengeluarkan kamu dari perut ibu kamu
dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apapun, kemudian Dia memberi kamu
pendengaran, penglihatan, dan hati agar supaya kamu bersyukur". (Qs.
an-Nahl [16]: 78)
Adapun kata
"al-Af-idah" dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari
kalimat "Fuâd" yang memiliki makna "Pendengaran" dan
"penglihatan" (mata hati) serta akal dan daya fikir manusia, dan pada
akhir ayat Allah Swt menyuruh kita untuk bersyukur dan juga sekaligus menekankan
bahwa manusia harus menggunakan ketiga nikmat tersebut, karena makna dari
syukur itu sendiri adalah menggunakan nikmat pada tempatnya yang sesuai.
Adapun mengenai
wahyu, al-Qur'an menyatakan:
"Dan tidaklah Kami mengutus laki-laki (para nabi-nabi) sebelum
kamu kecuali Kami turunkan wahyu pada mereka, maka bertanyalah kamu pada
orang-orang yang mengetahui apabila kamu tidak mengetahui". (Qs. an-Nahl
[16]: 43)
Manusia yang
beragama akan senantiasa menggunakan indera yang diberikan oleh Allah Swt untuk
mengenal alam jagat raya ini dan memahami agama. Kebanyakan dari seluruh hasil
persepsi indera akan menjadi dasar serta wadah pertimbangan bagi akal, kemudian
akal akan membawa dan merumuskan hasil semua persepsi tadi untuk mengenal Allah
Swt, sifat-sifat serta segala perbuatanNya. Adapun segala yang dipersepsi oleh
ketiga jalan ini semuanya sangat berfungsi dan dapat digunakan untuk mengungkap
kebenaran.[1]
Dasar Kedua
Pada hakikatnya
para nabi As memusatkan dakwahnya pada dua perkara: akidah dan amal. Adapun
pusat pembahasan akidah berkisar pada iman akan keberadaan Tuhan, sifat serta
keagungan Ilahi, dan segala perbuatan-Nya.[2] Sedangkan yang dimaksud dengan
amal adalah segala taklif dan kewajiban serta hukum-hukum yang ditetapkan, yang
mana manusia dalam menjalankan kehidupan pribadi dan sosialnya harus
berdasarkan hukum-hukum tertentu dari Tuhan.
Dalam permasalahan akidah
yang menjadi tolok ukur dan standar adalah Ilmu serta Yakin, karena kedua hal
ini merupakan hujjah untuk mendapatkan akidah yang pasti. Oleh karena itu, seorang muslim harus mencapai pada derajat
yakin dalam permasalahan akidah dan tidak dibenarkan sama sekali taklid atau bersandar pada orang lain dalam
masalah ini.
Adapun dalam permasalahan
taklif serta hukum (amal), hal yang sangat ditekankan adalah pengamalan pada
setiap strata kehidupan manusia. Dalam hal ini, di samping yakin dalam
mengamalkannya juga harus bersandar pada penegasan syariat dan merujuk pada
seorang mujtahid yang memiliki seluruh syarat-syaratnya. Dan ini merupakan
salah satu jalan untuk mempunyai legilitas khusus dari orang yang mempunyai
wilayah penuh atas syariat. Insya Allah pada pembahasan yang akan datang kita
akan membahas dan membincangkannya secara lebih detail.
Dasar Ketiga, Pada pembahasan di atas telah kita tetapkan bahwa untuk penetapan
permasalahan akidah dan hukum-hukum dapat di gunakan dua metode dan pendekatan
yang telah diperkenalkan, yang mana
dalam hal ini adalah akal dan wahyu. Adapun yang di maksud dari wahyu adalah
kitab samawi, yakni al-Qur'an karim dan seluruh hadits yang silsilahnya
berakhir pada nabi Saw. Seluruh hadits para Imam As pun, sebagaimana yang akan
dijelaskan nanti, termasuk pada silsilah serta sanad yang menjadi hujjah Ilahi.
Akal dan wahyu satu sama lain saling
menguatkan dalam kehujjahannya. Jika dengan hukum pasti, akal dapat menetapkan
kehujjahan wahyu maka begitu juga sebaliknya wahyu pun menetapkan kehujjahan
akal pada permasalahan tertentu. Al-Qur'an sering menekankan dalam beberapa
permasalahan akan peran akal dan penggunaannya, mengajak manusia untuk
merenungkan serta memikirkan tentang keindahan dan keunikan proses penciptaan,
dan al-Quran sendiri menekankan untuk menggunakan akal untuk membuktikan
kebenaran kandungan dakwahnya. Tidak ada kitab samawi yang kandungannya
dipenuhi dengan pengetahuan dan disertai pembuktian seperti halnya al-Quran,
dan dalam al-Qur'an terdapat pembuktian-pembuktian yang bersifat rasional yang
tidak terbatas tentang segala pengetahuan dan pembahasan akidah. Para Imam
Ahlulbait As, mengafirmasikan nilai
argumentasi akal dalam permasalahan yang akal dapat menghukuminya. Imam ketujuh
Musa Kazhim As menyatakan dengan jelas bahwa wahyu adalah hujjah lahiri dan
akal adalah hujjah batini.[3]
Dasar Keempat
Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa wahyu merupakan dalil yang kuat dan akal adalah sebuah
lentera yang Tuhan nyalakan dalam jiwa manusia, dan selamanya tidak akan pernah
terjadi pertentangan di antara keduanya. Kalau pun terkadang kita persepsi
terjadi pertentangan maka harus kita koreksi bahwa mungkin terdapat kesalahan
dari cara pengambilan kesimpulan kita terhadap permasalahan agama atau terdapat
kesalahan dalam pendahuluan-pendahuluan pembuktian akal, karena Tuhan Yang
Mahabijaksana tidak pernah mengajak manusia pada dua jalan yang satu sama lain
saling berkontradiksi.
Sebagaimana tidak
terdapat pertentangan antara akal dan wahyu, begitu juga tidak terdapat
pertentangan antara ilmu dengan wahyu. Jika kita melihat terjadi pertentangan
di antara keduanya maka kita tetap mesti
menyatakan bahwa mungkin terdapat kekeliruan dalam pengambilan kesimpulan
permasalahan agama, atau bisa juga ilmu yang berkenaan dengan masalah tersebut
belum mencapai tingkat kepastian. Pada dasarnya kebanyakan sumber dari
pertentangan itu sendiri adalah masalah yang kedua, yang dalam hal ini terdapat
konsep-konsep ilmu yang tidak pasti, namun serta merta diklaim ilmu yang pasti itu sendiri. Dengan keadaan seperti ini maka tentu saja bisa
muncul gambaran pertentangan di antara
ilmu dan wahyu.
Dasar Kelima
Adapun masalah
sistem aturan yang Mahabijak yang terdapat pada alam jagat raya ini, pada
hakikatnya hal tersebut lepas dari pemikiran dan gambaran kita semua, yang
hakikatnya merupakan suatu ketentuan,
keabadian, dan kekal. Dengan demikian, apabila manusia melalui salah satu alat
pengenalannya dapat mengungkap suatu realitas yang aslinya adalah hakikat itu
sendiri, maka harus di katakan bahwa itu adalah kebenaran dan akurat, dan jika
dalam mengungkap suatu hakikat, sebagian ilmu sesuai dengan hakikat itu dan
sebagian lainnya tidak sesuai, maka ilmu yang sesuai tadi merupakan kebenaran
untuk selamanya dan kebenaran tersebut tidak akan berubah hanya karena faktor
berubahnya syarat-syarat yang terdapat pada lingkungan. Dengan kata lain, jika
suatu pengetahuan terhadap realitas dinisbahkan dengan kondisi dan zaman, ia
pada suatu zaman menjadi hakikat dalam zaman itu dan di zaman yang lain bisa
menjadi berubah, maka pengetahuan seperti ini tidak dapat diterapkan pada
permasalahan yang sifatnya takwini atau pasti, seperti contoh: jikalau hasil
dari 2x2=4 maka hasilnya mutlak seperti ini, dan jika tidak seperti itu maka
hasilnya mutlak tidak seperti itu, dan pengetahuan seperti ini tidak mungkin
pada suatu zaman merupakan hakiki dan di zaman lain bukan hakiki.
Penisbahan suatu
pengetahuan merupakan bagian dari perkara gambaran manusia, yang kebenaran dan
pengesahannya hanya dianalisa melalui pemikiran manusia dan tidak lebih dari
itu. Sebagai contoh jikalau sebuah masyarakat yang menjalankan sistem
pemerintahan dan birokrasinya tidak mengikuti wahyu Ilahi maka yang terjadi
adalah mereka bebas menentukan sistem aturan pemerintahan mereka, sehingga jika
suatu hari mereka bersepakat atas suatu sistem aturan sampai pada zaman
tertentu dimana kesepakatan sistem tersebut masih berlaku di antara mereka maka
sistem tersebut merupakan suatu hakikat buat mereka pada zaman itu, akan tetapi
jika suatu hari mereka bersepakat atas hal yang bertentangan dengan sistem
pertama maka hakikat yang kedua akan tercipta, dimana setiap kesepakatan sistem
tersebut sama-sama sebagai suatu hakikat di zamannya masing-masing, akan tetapi
setiap kesepekatan tersebut masing-masing mempunyai realitas yang berbeda dan
mempunyai batasan-batasan tersendiri. Ketika mereka yakin bahwa apa yang mereka
sepakati itu adalah puncak dari pengetahuan mereka dan mereka yakin bahwa itu
adalah suatu hakikat maka hal tersebut untuk selamanya merupakan hakikat dan
begitu juga hal yang bertentangan dengan hakikat tersebut selamanya batil dan
tidak mempunyai landasan.[]
[1]. Penyucian serta pembersihan jiwa manusia dari maksiat dan
segala dosa menyebabkan dasar turunnya ilham-ilham Ilahi yang mana sebagian
ulama menganggap hal tersebut merupakan salah satu alat pengetahuan.
[2]. Mengutus para Nabi, menentukan para pengganti dan membangkitkan
kembali seluruh manusia setelah mati, semua itu merepukan bagian dari perbuatan
Ilahi.
[3]. Sesungguhnya Allah
memiliki dua hujjah atas setiap manusia: hujjah lahiri dan hujjah batini,
hujjah lahiri adalah para Rasul, para Nabi serta para Imam As, adapuhujjat
batini adalah akal. Kulaini, al-Kafi : 1/160 , Mansyur Aqaid Imamiyyah, hal :
13 Ustad Ja'far Subhani.
Epistemologi dan Pandangan Dunia
Pandangan dunia (weltanschauung) seseorang dapat
dipengaruhi oleh beberapa hal, di antaranya konsepsi dan pengenalannya terhadap
"kebenaran" (asy-Syai fil khârij).
Kebenaran yang dimaksud di sini adalah segala sesuatu yang
berkorespondensi dengan dunia luar dan realitas. Semakin besar
pengenalannya, semakin luas dan dalam
pandangan dunianya. Pandangan dunia yang valid dan argumentatif dapat
melesakkan seseorang mencapai titik-kulminasi peradaban dan sebaliknya akan
membuatnya terpuruk hingga titik-nadir peradaban. Karena nilai dan kualitas
keberadaan kita sangat bergantung kepada pengenalan kita terhadap
kebenaran. Anda dikenal atas apa yang
Anda kenal. Wujud anda ekuivalen dengan pengenalan Anda dan vice-versa.
Akan tetapi, bagaimanakah kebenaran itu dapat
dikenal? Parameter atau paradigma apa
yang digunakan untuk dapat mengidentifikasi kebenaran itu? Mengapa kita
memerlukan paradigma atau parameter ini?
Dapatkah manusia mencerap kebenaran itu?
Kalau kita menilik perjalanan sejarah umat manusia, sebagai makhluk dinamis dan progresip,
manusia acapkali dihadapkan kepada persoalan-persoalan krusial tentang hidup
dan kehidupan, tentang ada dan keberadaan, tentang perkara-perkara
eksistensial. Penulusuran, penyusuran
serta jelajah manusia untuk menuai jawaban atas masalah-masalah di atas membuat
eksistensi manusia jauh lebih berarti.
Manusia berusaha bertungkus lumus memaknai keberadaannya untuk mencari
jawaban ini. Till death do us apart,
manusia terus mencari dan mencari hingga akhir hayatnya. Ilmu-ilmu empiris dan
ilmu-ilmu naratif lainnya ternyata tidak mampu memberikan jawaban utuh dan
komprehensif atas masalah ini.[1] Karena uslub atau metodologi ilmu-ilmu di
atas adalah bercorak empirikal.
Filsafat sebagai induk ilmu pengetahuan hadir untuk mencoba
memberikan jawaban atas masalah ini. Karena baik dari sisi metodologi atau pun
subjek keilmuan, filsafat menggunakan metodologi rasional dan subjek ilmu
filsafat adalah eksisten qua eksisten.[2]
Betapa pun, sebelum memasuki gerbang filsafat terlebih dahulu instrumen
yang digunakan dalam berfilsafat harus disepakati. Dengan kata lain, akal yang digunakan sebagai instrumen
berfilsafat harus diuji dulu validitasnya, apakah ia absah atau tidak dalam
menguak realitas. Betapa tidak, dalam menguak realitas terdapat perdebatan
panjang semenjak zaman Yunani Kuno (lampau) hingga masa Postmodern
(kiwari) antara kubu rasionalis (rasio)
dan empiris (indriawi dan persepsi). Semenjak Plato hingga Michel Foucault dan
Jean-François Lyotard. Dengan demikian, pembahasan epistemologi sebagai
subordinat dari filsafat menjadi mesti adanya.
Yakni, sebelum kita merangsek memasuki kosmos filsafat –
yang nota-bene menggunakan akal (an-sich) – kita harus membahas instrumen dan
metodologi apa yang valid untuk menyingkap tirai realitas ini. Dan hal ini merupakan raison d'être
pembahasan epistemologi. Atau sederhananya, pembahasan epistemologi adalah
pengantar menuju pembahasan filsafat. Tentu saja, harus kita ingat bahwa ilmu
logika juga harus rampung untuk menyepakati bahwa dunia luar terdapat hakikat
dan untuk mengenalnya adalah mungkin.[3] Walhasil, pembahasan epistemologi -sebagai ilmu yang
meneliti asal-usul, asumsi dasar, sifat-sifat, da bagaimana memperoleh
pengetahuan menjadi penentu penting dalam menentukan sebuah model filsafat -
harus dikedepankan sebelum membahas perkara-perkara filsafat.
Apa itu Epistemologi
Epistemologi derivasinya dari bahasa Yunani yang berarti
teori ilmu pengetahuan. Epistemologi merupakan gabungan dua kalimat episteme,
pengetahuan; dan logos, teori. Epistemologi adalah cabang ilmu filsafat yang
menengarai masalah-masalah filosofikal yang mengitari teori ilmu pengetahuan.
Epistemologi bertalian dengan definisi dan konsep-konsep ilmu, ragam ilmu yang
bersifat nisbi dan niscaya, dan relasi eksak antara 'alim (subjek) dan ma'lum
(objek). Atau dengan kata lain, epistemologi adalah bagian filsafat yang
meneliti asal-usul, asumsi dasar, sifat-sifat, dan bagaimana memperoleh
pengetahuan menjadi penentu penting dalam menentukan sebuah model filsafat. Dengan
pengertian ini epistemologi tentu saja menentukan karakter pengetahuan, bahkan
menentukan “kebenaran” macam apa yang dianggap patut diterima dan apa yang
patut ditolak.
Masalah-masalah Filosofis; Masa Yunani dan Masa Medieval
Pada abad ke-13, seorang filosof dan teolog Itali yang
bernama Santo Thomas Aquinas berupaya mensintesakan keyakinan Nasrani dengan
ilmu pengetahuan dalam cakupan yang lebih luas, dengan memanfaatkan
sumber-sumber beragam seperti karya-karya filosof Aristoteles, cendekiawan Muslim
dan Yahudi. Pemikiran Santo Thomas Aquinas pada masa-masa kiwari sangat
mempengaruhi irama dinamika teologi Nasrani dan kosmos filsafat Barat.
Pada abad ke-5 SM, Sophist Yunani menanyakan kemungkinan
reliabilitas dan objektivitas ilmu. Oleh karena itu, seorang Sophist prominen,
Gorgias, berpendapat bahwa tidak ada yang benar-benar wujud, karena jika
sesuatu ada tidak dapat diketahui, dan jika ilmu bersifat nisbi, tidak dapat
dikomunikasikan. Seorang Sophist ternama lainnya, Protagoras, berpandangan bahwa
tidak ada satu pendapat pun yang dapat dikatakan lebih benar dari yang lain,
karena setiap pendapat adalah hanyalah sebuah penilaian yang berakar dari
pengalaman yang dilaluinya. Plato, mengikuti ustadznya Socrates, mencoba untuk
menjawab isykalan-isyakalan para Sophist dengan mempostulasikan keberadaan
semesta yang bersifat tetap dan bentuk-bentuknya yang invisible, atau ide-ide,
yang melaluinya ilmu pasti dan eksak dapat diraih. Mereka percaya bahwa
benda-benda yang dilihat dan diraba adalah kopian-kopian yang tidak sempurna
dari bentuk-bentuk yang sempurna yang dikaji dalam ilmu matematika dan
filsafat. Dengan demikian, hanya penalaran abstrak dari disiplin ilmu ini yang
dapat menuai ilmu pengetahuan original, sementara mengandalkan indra-persepsi menghasilkan
pendapat-pendapat yang inkonsisten dan mubham.
Mereka menyimpulkan bahwa kontemplasi filosofis tentang bentuk-bentuk
dunia gaib merupakan tujuan tertinggi kehidupan manusia.
Aristoteles mengikuti Plato ihwal ilmu abstrak adalah
ilmu yang lebih superior atas ilmu-ilmu yang lainnya, namun tidak setuju dengan
metode dalam mencapainya. Aristotels berpendapat bahwa hampir seluruh ilmu
berasal dari pengalaman. Ilmu diraih baik secara langsung, dengan
mengabstraksikan ciri-ciri khusus dari setiap spesies, atau tidak langsung,
dengan mendeduksi kenyataan-kenyataan baru dari apa yang telah diketahui,
berdasarkan aturan-aturan logika. Observasi yang teliti dan ketat dalam
mengaplikasikan aturan-aturan logika, yang pertama kalinya disusun secara
sistematis oleh Aristoteles, akan membantu menjaga dari perangkap-perangkap
yang dipasang oleh para Sophist. Maktab Epicurian dan Stoic sepakat dengan
pandangan Aristoteles bahwa ilmu pengetahuan bersumber dari indra-persepsi,
akan tetapi menentang keduanya baik Aristoteles atau pun Plato yang
berpandangan bahwa filsafat harus dinilai sebagai sebuah bimbingan praktis
untuk menjalani hidup, mereka berpendapat sebaliknya bahwa filsafat adalah
akhir dari kehidupan.
Setelah
beberapa kurun berlalu kurangnya ketertarikan dalam ilmu rasional dan
saintifik, filosof Skolastik Santo Thomas Aquinas dan beberapa filosof abad
pertengahan berusaha membantu untuk mengembalikan konfidensi terhadap rasio dan
pengalaman, mencampur metode-metode rasional dengan iman dalam sebuah sistem keyakinan
integral. Aquinas mengikuti Aristoteles dalam masalah tentang persepsi sebagai
starting-point dan logika sebagai prosedur intelektual untuk sampai kepada ilmu
yang dapat diandalkan (reliable) tentang tabiat, akan tetapi memandang iman
dalam otoritas skriptural sebagai nara sumber keyakinan agama.
Masa Plato dan Aristoteles
Plato dapat dikatakan sebagai filsuf pertama yang secara
jelas mengemukakan epistemologi dalam filsafat, meskipun ia belum menggunakan
secara resmi istilah epistemologi ini. Filsuf Yunani berikutnya yang berbicara
tentang epistemologi adalah Aristoteles. Ia murid Plato dan pernah tinggal
bersama Plato selama kira-kira 20 tahun di Akademia. Pembahasan tentang
epistemologi Plato dan Aristoteles akan lebih jelas dan ringkas kalau dilakukan
dengan cara membandingkan keduanya, sebagaimana berikut ini,
Topik Pemikiran:
Pandangan tentang dunia, menurut Plato, Ada 2
dunia: dunia ide & dunia sekarang
(semu) sementara dalam pandangan Aristoteles, Hanya 1 dunia: Dunia nyata yang
sedang dijalani. Kenyataan sejati,
menurut Plato, Ide-ide berasal dari dunia ide. Sementara dalam kacamata
Aristoteles, segala sesuatu yang ada di alam bisa diindera. Pandangan tentang
manusia, menurut Plato, Terdiri dari badan dan jiwa. Jiwa abadi; badan fana (tidak
abadi), Jiwa terpenjara oleh badan. Sementara dalam pandangan Aristoteles,
badan dan jiwa sebagai satu kesatuan tak terpisahkan. Asal pengetahuan, menurut Plato, dunia ide,
namun tertanam dalam jiwa setiap manusia. Sementara dalam pandangan Aristoteles,
kehidupan dunia dan alam nyata.
Cara meraih pengetahuan, menurut Plato, terpancar dari
alam jiwa (Anamnesis). Sementara dalam pandangan Aristoteles, observasi dan
abstraksi lalu diolah dengan logika. Perbedaan epistemologi Plato dan
Aristoteles ini memiliki pengaruh besar terhadap para filsuf modern. Idealisme
Plato mempengaruhi filsuf-filsuf Rasionalis seperti Spinoza, Leibniz, dan
Whitehead. Sedangkan pandangan Aristoteles tentang asal dan cara memperoleh
pengetahuan mempengaruhi filsuf-filsuf Empiris seperti Locke, Hume, dan
Berkeley.
Rasio Vs Indra Persepsi
Antara abad 17 hingga akhir abad ke-19, masalah utama
yang muncul dalam pembahasan epistemologi adalah resistensi antara kubu
rasionalis vis-à-vis kubu empiris
(inderawi-persepsi). Filsuf Francis, René Descartes (1596-1650), filsuf
Belanda, Baruch Spinoza (1632-1677), dan filsuf Jerman, Wilhelm Leibniz
(1646-1716) adalah para pemimpin kubu rasionalis. Mereka berpandangan bahwa
sumber utama dan pengujian akhir ilmu pengetahuan adalah logika deduktif (baca: qiyas) yang bersandarkan kepada
prinsip-prinsip swabukti (badihi) atau axioma-axioma. Sementara orang-orang seperti, Francis Bacon ( 1561-1626) and John Locke
(1632-1704) keduanya adalah filsuf Inggris berkeyakinan bahwa sumber utama dan
pengujian akhir ilmu pengetahuan adalah bersandar kepada pengalaman, persepsi dan inderawi.
Filsuf Francis René Descartes secara rigoris menggunakan
metode deduksi dalam jelajah filsafatnya. Barangkali Descartes ini dikenal baik
atas karya pionirnya untuk bersikap skeptis dalam berfilsafat. Dialah yang
pertama kali memperkenalkan metode sangsi dalam investigasi terhadap ilmu
pengetahuan.
Descartes yang kerap disebut sebagai Bapak Filsafat
Modern (sekaligus filsafatnya kemudian dikenal sebagai Cartesians) ini dalam
mengusung metode rasionalnya, dia menggunakan metode sangsi dalam menyikapi
pelbagai fenomena atau untuk mencerap ilmu pengetahuan. Postulat, Cogito Ergo Sum adalah milik Descartes.
Rumusan postulat ini yang menemaninya untuk menyingkap ilmu pengetahuan.
Menurut Descartes segala sesuatu yang berada di dunia luar harus disangsikan
dan diragukan. Pandangan Descartes tentang manusia bersifat dualisme. Ia
melihat manusia sebagai dua substansi: jiwa dan tubuh. Jiwa adalah pemikiran
dan tubuh adalah keluasan. Tubuh tidak lain adalah suatu mesin yang dijalankan
jiwa. Hal ini dipengaruhi oleh epistemologinya yang memandang rasio sebagai hal
yang paling utama pada manusia.
Empirisme pertama kali diperkenalkan oleh filsuf dan
negarawan Inggris Francis Bacon pada awal-awal abad ke-17, akan tetapi John
Locke yang kemudian mendesainnya secara sistemik yang dituangkan dalam bukunya
"Essay Concerning Human Understanding (1690). John Locke memandang bahwa
akal manusia pada awal lahirnya adalah ibarat sebuah tabula rasa, sebuah batu
tulis kosong tanpa isi, tanpa pengetahuan apapun. Lingkungan dan pengalamanlah
yang menjadikannya berisi.
Pengalaman inderawi menjadi sumber pengetahuan bagi manusia dan cara
mendapatkannya lewat observasi dan pemanfaatan seluruh indera manusia. John
Locke adalah orang yang tidak percaya terhadap konsepsi intuisi dan batin.
Filsuf empirisme lainnya adalah Hume. Ia memandang manusia sebagai sekumpulan
persepsi (“a bundle or collection of perceptions”). Manusia hanya mampu
menangkap kesan-kesan saja lalu menyimpulkan kesan-kesan itu seolah-olah
berhubungan. Pada kenyataannya, menurut Hume, manusia tidak mampu menangkap
suatu substansi. Apa yang dianggap substansi oleh manusia hanyalah kepercayaan
saja. Begitu pula dalam menangkap hubungan sebab-akibat. Manusia cenderung
menganggap dua kejadian sebagai sebab dan akibat hanya karena menyangka
kejadian-kejadian itu ada kaitannya, padahal kenyataannya tidak demikian.
Selain itu, Hume menolak ide bahwa manusia memiliki kedirian (self). Apa yang
dianggap sebagai diri oleh manusia merupakan kumpulan persepsi saja.
Urgensi Epistemologi
Dunia ini penuh dengan berbagai maktab dan ideologi.
Setiap ideologi berlandaskan pada suatu "pandangan dunia", dan
"pandangan dunia" ini berpijak pada epistemologi. Dari sini manusia
mengetahui dengan jelas betapa pentingnya epistemologi. Seseorang yang
memiliki ideologi materialisme, yang tentunya ideologi itu berlandaskan pada
pandangan dunia materialis, dan pandangan ini juga berpijak pada suatu
epistemologi khusus. Dan ideologi-ideologi yang lain, juga bersumber dari
pandangan-pandangan dunia lain, dan pandangan-pandangan ini masing-masing
berpijak pada epistemologi-epistemologi tertentu. Oleh karena itu, sebelum
memasuki berbagai pembahasan berkenaan dengan ideologi dan pandangan dunia,
terlebih dahulu akan dijelaskan hal-hal yang berkaitan dengan masalah
epistemologi.
Pada masa sekarang ini epistemologi merupakan suatu
masalah yang amat penting, sedangkan pada masa yang lalu hal ini tidak begitu
dianggap penting. Epistemologi telah dikaji sejak dahulu kala, kurang lebih
sejak dua ribu tahun yang lalu. Di dalam filsafat Islam, kita tidak akan
menjumpai suatu bab yang berjudul Nazhariah al-Ma`rifah atau "Teori
Pengetahuan". Tetapi sebagian besar persoalan yang menyangkut masalah
epistemologi, dipaparkan secara terpisah-pisah dalam berbagai pembahasan
berkenaan dengan ilmu, pengetahuan, pemahaman, rasio, logika, dan berbagai
permasalahan tentang bentuk pemikiran dan yang berhubungan dengan diri dan
jiwa. Oleh karena itu, sejak dahulu kala sedikit banyak mereka juga memahami
masalah epistemologi, tetapi pada masa sekarang ini, pembahasan filsafat lebih
banyak berputar pada masalah epistemologi.
Kemungkinan Epistemologi
Pembicaraan pertama dan klasik dalam bab epistemologi
adalah mungkinkah epistemologi itu? Mungkinkah kita mengetahui dan memahami
hakikat alam ini? Mungkinkah kita memahami hakikat manusia? Mungkinkah
mengetahui hakikat wujud ini?[4] Ada sekelompok orang yang secara total menolak
adanya kemungkinan ini, dan mengatakan bahwa epistemologi tidak mungkin ada
pada diri manusia. Yakni pada diri manusia tidak ada suatu bentuk epistemologi
yang dapat dijadikan sebagai sandaran yang bisa dipercaya. Istilah "saya
tidak tahu" sudah merupakan kodrat, ketentuan dan nasib manusia yang tidak
dapat diubah. Secara sekilas pandangan ini lemah dan tidak perlu dihiraukan,
tetapi para pendukung gagasan ini memiliki berbagai argumen yang kuat, yang
tidak mudah dipatahkan. Saya tidak hendak mengatakan bahwa hal itu tidak mungkin
(mematahkan argumen mereka), tetapi saya mengatakan bahwa hal itu tidak mudah.
Pyrho dan Kemungkinan Epistemologi
Pada masa setelah Socrates, ada sekelompok orang yang
menamakan dirinya "Kelompok Peragu" dan yang paling terkenal di
antara mereka adalah seorang yang bernama Pyrho. Ia mengungkapkan sepuluh
argumen mengenai ketidakmungkinan epistemologi. Ia mengatakan, "mustahil
dapat mengetahui sesuatu dengan pasti, ragu-ragu dan saya tidak tahu adalah
ketentuan dan nasib pasti manusia". Argumen yang paling ringan ialah
tatkala ia menyatakan, "Jika manusia itu hendak memahami dan mengetahui
sesuatu, apa alat dan instrumen yang akan ia gunakan? Kita tidak memiliki alat
lebih dari dua: indera dan rasio. Sekarang saya bertanya, Apakah indera dapat
berbuat kesalahan ataukah tidak? Pasti semua menjawab bahwa kesalahan yang
terjadi pada alat penglihatan, pendengaran, perasa, peraba dan penciuman tidak
dapat dihitung jumlahnya, dan bahkan ada yang menyatakan mampu untuk
membuktikan seratus kesalahan yang telah dilakukan oleh alat penglihatan. Ia
melanjutkan, "Sesuatu yang ada kemungkinan salah dan dapat menjadi salah,
tidak dapat dijadikan sebagai pegangan dan sandaran. Ketika saya melihat
sesuatu dan ternyata penglihatan saya itu salah, maka saya tidak dapat mempercayai
penglihatan saya tatkala penglihatan itu melihat sesuatu yang lain."
(Islam dan Epistemologi, hal. )
Lalu bagaimanakah dengan rasio? Ia mengatakan,
"Rasio justru banyak melakukan kesalahan melebihi indera. Pada berbagai
argumen rasional, ilmuwan dan para filsuf seringkali melakukan kesalahan.
Dengan demikian, indera dan rasio dapat melakukan kesalahan, sementara kita
hanya memiliki dua alat ini. Oleh karena itu, bagaimanapun dan apa pun yang
kita pikirkan, apa pun yang berhubungan dengan rasio dan indera, maka jelas
dapat menjadi salah, dengan demikian, kita tidak dapat mempercayainya dan
menjadikan keduanya itu sebagai pegangan." (Mengenal Epsitemologi,
Muthahhari, hal. 25)
Keraguan al-Ghazali
Di antara ulama Islam seseorang yang pertama kali
memulai filsafat dan madrasahnya dari keraguan adalah al-Ghazali. Al-Ghazali
memulai aktivitasnya dari keraguan, sebagaimana yang dilakukan oleh Descartes.
Kedua sosok itu berangkat dari titik yang sama. Keduanya memulai aktivitasnya
dari keraguan dan keduanya menyatakan bahwa telah berhasil meraih keyakinan.
Tetapi ada dari mereka yang memulai aktivitasnya dari keraguan dan tetap berada
dalam keraguan, hal ini terdapat dalam dunia Islam dan juga dunia Barat dan
jika ada kesempatan saya akan menceritakan ringkasan sejarahnya. Tatkala
al-Ghazali hendak memulai menuntut ilmu, ia meragukan segala yang ada. Yakni
dia meragukan apa saja yang telah ia gapai. Ia mulai menuju indera dan
mengatakan, "Sekarang saya duduk di sini, buku ada di depan saya, pena dan
kertas ada di tangan saya, saya tengah melihat angkasa, saya tengah mendengar
berbagai suara, sekalipun saya ragu terhadap berbagai hal, tetapi saya tidak
dapat ragu terhadap keraguan saya ini". Kemudian dia memberi jawaban
kepada dirinya sendiri, (bahkan di sini pun dia masih tetap tidak stabil dan
terjerumus dalam kesalahan). la mengatakan, "Wahai Ghazali! Sampai
sekarang ini engkau masih tengah bermimpi. Misalnya saja dalam mimpi engkau
duduk dan menulis buku, sedang berbicara dengan rekan-rekanmu, engkau mendengar
pembicaraannya, dan di alam mimpi itu engkau melihat semuanya dengan mata
kepalamu sendiri, memakan makanan yang lezat-lezat, dan semua itu tidak ubahnya
seperti yang diungkapkan oleh Nasim Syumol mengenai keluhan si fakir yang hidup
sengsara,
Suatu malam aku bermimpi
mengenakan pakaian baru
Ku dengar alunan musik dan
aku di ranjang yang hangat dan lembut
Sakuku penuh dengan uang
yang tak terhitung
Tatkala terjaga, aku lihat
sebagian anggota tubuhku tanpa pakaian
Wahai Ghazali! Tidakkah dalam alam mimpimu engkau telah melihat
hal-hal yang semacam ini? Sebagaimana sekarang ini engkau tidak merasa ragu
bahwa ini (keraguan) adalah benar, di alam mimpimu pun engkau tidak merasa ragu
atas apa-apa yang engkau lihat saat itu. Pernahkah engkau menjumpai seseorang yang
merasa ragu atas apa-apa yang ia lihat dalam mimpinya dan mengatakan,
"Apakah yang aku lihat itu betul atau salah? Di alam mimpi manusia tidak
akan merasa ragu, apa yang ia saksikan benar-benar ia saksikan, tetapi ketika
ia terjaga, ternyata semua itu hanya khayalan dan tidak ada bentuknya, tatkala
terjaga, aku lihat sebagian anggota tubuhku tanpa pakaian.
Mungkinkah seluruh kehidupanku ini bukan mimpi besar?
Apakah tidak mungkin sekarang ini saya, Ghazali, yang dilahirkan oleh ibuku si
fulana dan memiliki ayah si fulan, menuntut ilmu di sekolah, menikah, belajar
selama bertahun-tahun, bertahun-tahun melatih diri, dan sekarang duduk di sini,
lalu secara tiba-tiba saya terbangun dan menyaksikan bahwa semuanya hanyalah
mimpi? Dari mana saya tahu kalau ini bukan mimpi? Adakah bukti yang memperkuat
bahwa kehidupan saya sekarang ini, di mana sekarang ini saya duduk sebagai
filsuf dan hendak menemukan suatu dasar pemikiran, adalah bukan merupakan
lanjutan dari sebuah mimpi panjang?" (Mengenal Epsitemologi, Muthahhari,
hal. 26)
Pernyataan itu menunjukkan bahwa betapa manusia dalam
menghadapi permasalahan yang berhubungan dengan epistemologi dapat terperosok
dalam berbagai jurang kesulitan.
Descartes dan Masalah Epistemologi
Bukankah Descartes juga demikian? Descartes juga pada
saat meneliti "pandangan dunia"nya, memeriksa keyakinannya terhadap
agama serta pengetahuan dan juga pada saat ia mengkaji ulang akhlak (etika),
filsafat dan berbagai ilmu-ilmunya, tiba-tiba ia terperosok ke dalam masalah
epistemologi dan mengatakan, "Dengan dalil apa tatkala saya menyatakan
bahwa dunia ini adalah demikian, Tuhan itu ada, jiwa itu ada, ruh itu ada,
dunia ini ada, Paris itu ada, agama al-Masih adalah demikian?" Kemudian ia
menuju pada berbagai alat dan instrumen epistemologi, ia melihat bahwa semuanya
masih dapat diperdebatkan lagi. la hendak bersandar pada indera, ia melihat
bahwa indera adalah yang paling lemah dan rapuh dibandingkan yang lain. la
hendak bersandar pada rasio, ia juga melihat bahwa rasio memiliki kelemahan. Tiba-tiba
ia merasakan kehilangan keyakinan dan kepercayaan, ia mulai meragukan segalanya
dan tidak tersisa lagi keyakinan dalam dirinya. Tatkala ia telah tenggelam
dalam rasa bimbang dan ragu-ragu ini, tiba-tiba ia disadarkan oleh poin ini
yang mana ia mengatakan, "Sekalipun saya meragukan segala yang ada, tetapi
saya tidak ragu bahwa saya tengah dalam keadaan ragu." Descartes berdiri
di atas sebuah batu besar di alam terbuka dan mengatakan, "Saya telah
menemukan sesuatu; tatkala saya meragukan indera saya, meragukan berbagai
pengetahuan rasio saya, atau bahkan meragukan pada keberadaan diri saya
sendiri, juga meragukan keberadaan Tuhan, meragukan agama dan kehidupan saya,
semua itu adalah benar. Tetapi saya tidak dapat merasa ragu pada satu hal saja
yaitu, saya tidak ragu bahwa saya tengah merasa ragu. Bahkan sekalipun saya
meragukannya, saya tetap mengetahui bahwa saya tengah merasa ragu."
(Mengenal Epistemologi, Muthahhari, hal. 28)
Di bawah langit dan di tengah hamparan bumi itu ia telah
berhasil menemukan suatu landasan epistemologi. Begitu ia menemukan landasan
itu, dengan segera ia membangunnya dengan mengatakan, "Saya sekarang
tengah merasa ragu, dan karena saya merasa ragu, berarti saya yang tengah
merasa ragu ini, adalah ada." Di sini ia telah menemukan suatu keyakinan
yakni bahwa "saya ini ada" dan ia mulai perjalanannya dengan
"saya sekarang tengah merasa ragu, dan karena saya tengah merasa ragu,
berarti saya yang tengah merasa ragu ini, adalah ada." Sekarang marilah
kita lihat bersama benarkah apa yang dikatakan oleh Descartes? Ibnu Sina pada
masa tujuh ratus tahun sebelum Descartes telah mengungkapkan kata-kata semacam
itu, dan ia juga telah berhasil menemukan jawabannya, dan di sini saya tidak
akan memaparkan permasalahan itu.
Jawaban atas Keraguan Pyrho
Jika demikian maka masalah pertama epistemologi adalah
masalah kemungkinan epistemologi yang mana mungkinkah manusia memiliki
kemampuan untuk memahami dan mengetahui? Pyrho mengatakan bahwa manusia itu
tidak mampu untuk memahami dan mengetahui (hal itu berdasarkan pada
argumen-argumennya yang telah dikemukakan). Terdapat jawaban dan sanggahan atas
pandangan Pyrho ini. Dalam catatan kaki di buku Ushul Falsafeh (Dasar-dasar
Filsafat) telah dipaparkan berbagai kesalahan atas pandangan ini. Mereka memberikan
jawaban kepada Pyrho sebagai berikut, "Anda mengatakan bahwa indera dapat
melakukan kekeliruan dengan dalil bahwa penglihatan saya terkadang keliru,
suatu kali saya pernah melihat seakan-akan ada seorang yang berkepala dua,
ranting pohon yang setengahnya berada dalam air terlihat patah dan lain
sebagainya. Anda yang mengatakan bahwa indera dapat melakukan kekeliruan,
apakah tatkala Anda menyaksikan indera melakukan kekeliruan, pada saat itu juga
Anda merasa yakin bahwa itu adalah suatu kekeliruan, ataukah Anda merasa ragu
bahwa indera itu telah melakukan kekeliruan? Tatkala Anda mengatakan bahwa
ketika saya bangun dari tidur, dan saya mengusap kedua mata saya, saya melihat
orang yang tengah berdiri di hadapan saya memiliki dua hidung dan empat mata, lalu
Anda mengatakan bahwa ini adalah kekeliruan, apakah dalam hal ini Anda
mengetahui dan yakin bahwa itu adalah kekeliruan, ataukah Anda hanya menduga
bahwa itu adalah kekeliruan? Tidak, saya mengetahui bahwa itu adalah
kekeliruan, pasti ia tidak memiliki dua hidung dan empat mata." (Mengenal
Epsitemologi, Muthahhari, hal. 30)
Jika demikian maka Anda sendiri telah menemukan
kekeliruan ini dengan perantaraan sebuah keyakinan, lalu bagaimanakah Anda
mengatakan bahwa saya tidak mampu untuk memperoleh pengetahuan? Ini adalah
sebuah pengetahuan (ma`rifah). Tatkala Anda mengatakan bahwa di suatu tempat
rasio telah berbuat suatu kekeliruan, kemudian dengan yakin dan pasti Anda
mengatakan bahwa rasio telah melakukan suatu kekeliruan, hal itu sama dengan
ungkapan: "Saya mengetahui bahwa rasio telah melakukan suatu
kekeliruan," dengan demikian, Anda telah sampai pada hakikat. Tatkala
manusia masih belum sampai pada hakikat, dia tidak akan mengetahui kekeliruan
apa-apa yang ada di depannya.
Oleh karena itu, kita mesti mengatakan demikian bahwa
manusia pada sebagian pengetahuan yang ia miliki terdapat kekeliruan dan juga
secara pasti tidak terdapat kekeliruan pada sebagian pengetahuan yang lain.
Dengan demikian maka kita mesti melakukan pembagian atas kasus permasalahan ini.
Kita mesti mencari dan menemukan sebuah neraca, lalu kita perhatikan bersama
apakah dengan neraca itu kita mampu untuk mengadakan pembenahan atas berbagai
kekeliruan itu ataukah tidak? Kenapa tatkala kita melakukan kekeliruan pada
beberapa masalah saja, lalu kita mengingkari epistemologi secara total? Kenapa
kekeliruan kita dalam beberapa kasus permasalahan itu, kita sejajarkan dengan
berbagai keyakinan kita terhadap berbagai permasalahan yang amat jelas yang di
situ tidak terdapat suatu keraguan pun? Pernyataan Pyrho ini tidak ubahnya
semacam syair milik Sa'di:
Karena di antara sebuah kaum ada seorang jahil
Ia tidak berada di atas bukit dan tidak pula di atas awan
Tidakkah engkau melihat seekor lembu yang ada di padang rumput
Mencemari seluruh lembu yang ada di desa
Benar, kasus tersebut dapat berlaku pada hal-hal yang berkaitan
dengan permasalahan sosial, yakni jika ada beberapa individu dari sebuah
masyarakat, dari sebuah kelompok, misalnya saja dari kelompok rohaniawan,
muncul pribadi-pribadi yang tidak bermoral atau berprilaku buruk, maka hal itu
akan mencoreng harga diri mereka semua. Tetapi bukan berarti ketika si Zaid
berbuat kesalahan lalu kita menghukum si Amir.
Di kota Balakh pandai besi berbuat salah
Di kota Syusytar mereka memenggal leher pandai tembaga
Sebagian dari epistemologi kita ini adalah salah dan pasti sebagian
yang lain adalah benar, lalu (dengan menggunakan epistemologi yang benar itu)
kita melakukan koreksi pada epistemologi yang salah itu. Dari sinilah munculnya
ilmu logika (mantiq).
Ilmu logika adalah sebuah ilmu yang merupakan asas dari
epistemologi. Berkaitan dengan mungkin atau tidak mungkinnya memperoleh
epistemologi, sebagian yang menyatakan bahwa kita tidak mungkin memperoleh
pengetahuan adalah karena mereka memukul rata permasalahan yang ada, sementara
mereka yang menyatakan bahwa kita ada kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan,
akan mencari neraca yang dapat digunakan untuk menimbang epistemologi yang
salah dan yang betul, dan dengan neraca itu pula mereka akan memisah-misahkan
antara epistemologi yang salah dan epistemologi yang betul.
Kita mesti melihat apa yang dikatakan oleh al-Quran berkaitan dengan
permasalahan ini? Apakah al-Quran mengakui bahwa ada kemungkinan untuk
memperoleh epistemologi, ataukah al-Quran bahkan menyatakan bahwa tidak ada
kemungkinan untuk memperoleh epistemologi? Sekalipun (al-Quran menyatakan) ada
kemungkinan untuk memperoleh epistemologi, tetapi dikarenakan hal itu datangnya
dari al-Quran dan mazhab, maka epistemologi yang berada dalam lingkup ideologi
itu, kemungkinan akan memiliki suatu hukum tertentu, dan hukum tersebut ialah:
apakah epistemologi itu dibenarkan oleh syariat ataukah bahkan terlarang?
Epistemologi itu boleh atau tidak boleh? Di sini terdapat dua bentuk
permasalahan. Pertama, apakah epistemologi itu mungkin ataukah tidak mungkin?
Kedua, apakah epistemologi itu diperbolehkan (ataukah tidak diperbolehkan)?
Tentunya Anda telah mengetahui bahwa di dalam Taurat permasalahan ini
dijelaskan dengan suatu bentuk penjelasan yang lain dari pada yang lain, dan
dikarenakan kita meyakini bahwa Taurat adalah sebuah kitab yang di dalamnya
telah terjadi perubahan dan penyimpangan - yakni tatkala kita membandingkan
dengan al-Quran, suatu permasalahan yang dijelaskan oleh al-Quran dan juga oleh
Taurat - maka kita akan menyaksikan dengan jelas bahwa Taurat dalam menjelaskan
permasalahan itu bertolak belakang dengan penjelasan al-Quran. Kita sama sekali
tidak ragu bahwa penjelasan yang ada dalam Taurat itu, benar-benar telah
disimpangkan dan diselewengkan. A-Quran yang merupakan sebuah kitab agama tidak
akan mengungkapkan permasalahan ini secara filosofis; yakni dengan bentuk
apakah epistemologi itu mungkin ataukah mustahil? Akan tetapi kita mesti
memahami isi al-Quran itu dengan memperhatikan apakah pandangan dan pendapat
yang terdapat dalam a-Quran itu berdasarkan pada kemungkinan epistemologi,
ataukah berdasarkan pada kemustahilan epistemologi? Apakah berbagai tuntunan
yang ada dalam al-Quran itu dapat dianggap berdasarkan pada kemungkinan
epistemologi ataukah pada ketidakmungkinan epistemologi? Dan masalah yang lain
ialah apakah epistemologi itu dibolehkan ataukah tidak dibolehkan?
Penyimpangan Sejarah yang Paling Merugikan
Dalam Taurat, terdapat peyimpangan yang saya rasa dalam
dunia ini tidak ada suatu bentuk penyimpangan yang lebih merugikan dari bentuk
penyimpangan itu. Kita semua mengetahui bahwa kisah Nabi Adam as selain
tercantum dalam al-Quran juga tercantum dalam Taurat. Kisah tersebut ialah:
Adam as dan istrinya selama berada di surga diperbolehkan untuk menikmati
berbagai kenikmatan dan seluruh buah-buahan yang ada, namun di sana terdapat
suatu jenis pohon yang mana mereka berdua tidak diperbolehkan untuk
mendekatinya dan memakan buahnya. Adam as memakan buah pohon tersebut dan
dikarenakan hal itulah maka ia dikeluarkan dari surga. Inilah kisah yang
terdapat dalam al-Quran dan juga Taurat. Tetapi persoalannya adalah, pohon
apakah itu? Dari berbagai keterangan yang terdapat dalam al-Quran, dan juga
berbagai hadis yang dapat dijadikan sandaran, dapat diambil kesimpulan bahwa
buah terlarang itu adalah berhubungan dengan sisi kebinatangan (hayawaniah)
manusia dan bukan berhubungan dengan sisi kemanusiaan (insaniah) manusia. Yakni
suatu perkara yang merupakan bagian dari hawa nafsu, keserakahan, iri, dengki,
yang menurut istilah disebut dengan "anti kemanusiaan". Janganlah
engkau mendekati pohon tamak, yakni janganlah engkau tamak. Janganlah engkau
mendekati pohon dengki, yakni janganlah engkau mendengki. Tetapi Adam as,
menjatuhkan dirinya dari kemanusiaan dan mendekati pohon itu. la mendekat pada
tamak, serakah, dengki, takabur, yakni mendekat pada berbagai perkara yang
merendahkan serta menjatuhkan nilai-nilai kemanusiaan. Allah berfirman
kepadanya, "Keluarlah dari sini." (kapan Allah mengusirnya dari
surga?) Allah mengusir Adam as dari surga setelah, Dan Dia mengajarkan kepada
Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para
malaikat, lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama-nama benda-bendu itu
jika kamu orang-orang yang benar!." (Q.S. al-Baqarah: 31). Setelah Allah
mengajarkan kepadanya seluruh hakikat, (lalu Allah berfirman), "Ini bukan
tempat tinggalmu, keluarlah dari sini!"
Isi Kitab Taurat telah diselewengkan oleh orang-orang
yang memiliki tujuan keji, di mana di sana disebutkan bahwa pohon yang tidak
boleh didekati oleh Adam, adalah berhubungan dengan sisi kemanusiaan Adam dan
bukan berhubungan dengan sisi kebinatangan, berhubungan dengan peningkatan
kedudukan Adam dan bukan perendahan kedudukan Adam. Bagi Adam terdapat dua
bentuk kesempurnaan dan Allah tidak menginginkan kedua kesempurnaan itu diraih
oleh Adam secara sekaligus; pertama, kesempurnaan pengetahuan dan yang kedua,
kekekalan di surga. Adam telah merasakan buah dari pohon pengetahuan
(epistemologi), lalu matanya terbuka dan pada saat itu ia mulai mengetahui apa
yang baik dan apa yang buruk. Ia bergumam, "Sebelum ini saya dalam keadaan buta,
sekarang ini mata saya terbuka. Sekarang saya mulai dapat mengetahui apa yang
baik dan apa yang buruk." Kemudian Allah Swt berfirman kepada para
malaikat, "Lihatlah! Kamu tidak menghendaki ia menikmati buah dari pohon
pengetahuan dan epistemologi, tetapi ia telah memakannya, dan matanya menjadi
terbuka. Sekarang tatkala matanya telah terbuka, ini amat berbahaya jika ia
sampai memakan buah pohon kekekalan, yang akhirnya ia akan hidup kekal. Dengan
demikian maka sebaiknya kita keluarkan saja ia dari surga."
Bentuk pengetahuan dan penyelewengan agama dan mazhab
ini, mengakibatkan kerugian yang cukup besar. Akhirnya mereka mengatakan,
"Dengan demikian maka cukup jelas, adanya kontradiksi antara agama dan
pengetahuan. Adam mesti beragama dan mematuhi perintah Tuhan, atau memakan buah
pengetahuan sehingga matanya menjadi terbuka, atau mematuhi perintah Tuhan dan
matanya tetap dalam keadaan buta dan tidak mengetahui sesuatu apa pun, atau
memiliki pengetahuan tetapi melanggar perintah Tuhan. Karena supaya matanya
dapat terbuka, ia mesti melanggar perintah Tuhan dan mengesampingkan
agama". Kemudian lambat laun di Eropa muncul berbagai ungkapan di
antaranya ialah, "Jika seorang yang mengikuti pandangan Socrates, hidup
sengsara dan kelaparan itu jauh lebih baik dari pada menjadi budak",
"Sehari saja saya hidup dengan mata terbuka (memiliki pengetahuan pen.)
jauh lebih saya sukai daripada seumur hidup dalam keadaan buta (bodoh pen.) dan
kemudian berharap akan masuk surga", "Saya lebih suka berada dalam
neraka Jahanam dengan mata terbuka (memiliki pengetahuan), dari pada berada
dalam surga dalam keadaan buta (bodoh)."
Hal inilah yang menyebabkan di Eropa muncul sebuah pemikiran yang
amat gawat, yaitu adanya kontradiksi antara ilmu pengetahuan dan agama. Anda
jangan mengira bahwa pemikiran semacam ini munculnya dari empat ilmuwan yang
mengeluarkan pendapatnya. Akar pemikiran itu terdapat dalam agama Nasrani dan
Yahudi yang mana keduanya menganggap Taurat sebagai "perjanjian lama"
dari kitab samawi. Yakni di sana disebutkan bahwa kalian mesti konsisten
terhadap agama dan nantinya kalian masuk ke dalam surga yang penuh dengan
kenikmatan, makan, minum, tidur dengan leluasa serta berkeliling ke berbagai
penjuru surga, tetapi mata kalian mesti dalam keadaan tertutup. Tetapi jika
mata kalian terbuka, maka kalian mesti hidup dalam keadaan sengsara dan
menanggung berbagai beban penderitaan.
Al-Quran dan Kisah Adam As
Adapun dalam al-Quran sama sekali tidak terdapat bentuk pembicaraan
semacam itu. Al-Quran menceritakan kisah Adam As tatkala mendekati pohon
tersebut setelah kisah, Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda)
seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman:
"Sebutkanlah kepada-Ku nama betuta-benda itu jika kamu orang-orang yang
benar!. (Qs. al-Baqarah [2]: 31)
Yakni sebelum Adam As menempati surga telah dikatakan kepadanya
untuk tetap tinggal di sana, matanya dalam keadaan terbuka, telah mengetahui
berbagai rahasia alam, ia adalah seorang manusia dan bukan seekor binatang yang
matanya dalam keadaan tertutup, dan karena memakan buah dari pohon itu lalu
matanya menjadi terbuka. Sejak pertama masuk ke dalam surga Adam As adalah
seorang manusia. Karena ia adalah seorang manusia, maka ia memiliki
pengetahuan, epistemologi, memahami dan mengetahui berbagai hakikat. Adam As
dikeluarkan dari surga adalah karena ia telah keluar dari sisi kemanusiaan.
Dengan ilmu dan pengetahuan yang ia miliki, ia masih terperdaya hawa nafsunya,
menjadi budak ketamakan dan keserakahan yang akhirnya ia menjadi tamak dan
serakah. Allah menegaskan bahwa di sini (surga) adalah tempat untuk manusia.
Adam as telah keluar dari kemanusiaan dan diturunkan dari surga. Adam As tidak
mengamalkan epistemologi dan pengetahuan yang ia miliki.
Epistemologi melahirkan "pandangan dunia", dan
"pandangan dunia" melahirkan ideologi dan ideologi perlu pengenalan.
"Saya (Adam) adalah manusia dan saya mengetahui berbagai hakikat. Kalimat
'saya mengetahui' menunjukkan kepada saya tentang suatu bentuk alam ini. Dan
karena saya (Adam) mengetahui alam semesta sedemikian rupa, maka saya terikat
dengan 'harus dan tidak boleh'. Tetapi saya tidak menghiraukan `harus dan tidak
boleh' itu, tidak merasakan adanya rasa tanggung jawab, sekalipun ada bisikan:
'pohon itu adalah pohon kekekalan, karena Allah merasa iri padamu, maka Dia
melarangmu memakan buahnya. Sekarang pergilah ke pohon itu dan makanlah
buahnya,' (mereka menceritakan bahwa Adam memperoleh bisikan semacam itu) saya
tidak boleh terpedaya."
Wahai Adam! Anda adalah seorang manusia, Anda memiliki
epistemologi, Anda memiliki "pandangan dunia", Anda memiliki
ideologi, dan pada akhirnya ideologi mengharuskan amal perbuatan (perbuatan
memiliki dua sisi; sisi positif dan sisi negatif), diperlukan ketakwaan,
menjaga diri. Mungkinkah seorang yang memiliki ideologi, tetapi tidak memiliki
kekuatan untuk menahan diri atas rasa sedikit kekurangan? Apakah di samping saya
memiliki ideologi, saya juga senantiasa menuruti apa saja yang saya lihat?
Misalnya ketika pandangan saya tertuju pada suatu makanan, kemudian air liur
saya menetes, apakah lalu saya tidak mampu menahan diri untuk tidak memakannya!
Seorang manusia, dituntut untuk memiliki ketakwaan dan kekuatan untuk menahan
diri.
Dalam logika Islam, sebab Adam As dikeluarkan dari surga
adalah karena ia tidak mengamalkan peringkat ke empat dari epistemologinya.
Peringkat pertama adalah epistemologi, kemudian "pandangan dunia",
kemudian ideologi dan terakhir ideologi mengharuskan ia untuk melaksanakan
suatu amal perbuatan. Di sinilah ia tergelincir, sehingga Allah mengusirnya
dari surga. Tetapi dalam Taurat disebutkan bahwa sejak pertama Tuhan telah
melarangnya (Adam) untuk mencari dan memperoleh epistemologi, dan dikarenakan
ia telah memperoleh pengetahuan dan epistemologi sehingga menyebabkan kedua
matanya menjadi terbuka, maka Tuhan pun mengusirnya dari surga; pohon itu
adalah pohon ilmu pengetahuan.
Dari penjelasan yang telah saya kemukakan menjadi jelas,
bahwa di dunia ini jarang sekali ada suatu pemikiran, pengetahuan, dan
pandangan yang diselewengkan, yang mengakibatkan kerugian besar terhadap umat
manusia, alam dan agama, seperti penyelewengan yang ada di dalam Taurat.
Tentunya, sampai sekarang ini dampak tersebut masih tetap berlanjut, yakni di
dunia ini masih terdapat arus pemikiran yang kuat yang menyatakan, "Ilmu
atau agama, atau salah satu dari keduanya itu," (ilmu dan agama adalah dua
hal yang kontradiktif).
Dengan demikian, al-Quran tidak mengakui pelarangan
penggalian epistemologi, tetapi bahkan mendukung epistemologi. Dalil apakah
yang membuktikan bahwa al-Quran mendukung kemungkinan epistemologi? Hal itu
cukup jelas, ketika al-Quran mengajak manusia pada penggalian epistemologi,
al-Quran sama sekali tidak mengajak pada sesuatu yang mustahil. Apa yang hendak
dikatakan oleh al-Quran tatkala menceritakan kisah Adam as dan keluasan
epistemologinya? Al-Quran hendak mengatakan, "Wahai manusia! Kalian memiliki
kemampuan untuk menggali epistemologi yang tidak terbatas, Dan Dia mengajarkan
kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya." Sewaktu Imam Ja'far
Shadiq As sedang duduk beralaskan kulit binatang, lalu beliau menunjuk pada
alas duduk itu dan berkata, "Bahkan (Adam mengetahui) yang ada di bawah
kaki saya ini." Yakni sampai sebegitu luas epistemologi yang dimiliki oleh
Adam as. (Mengenal Epsitemologi, Muthahhari, hal. 41)
Dengan demikian maka al-Quran mengakui adanya
kemungkinan untuk memperoleh epistemologi. kisah Nabi Adam as penuh dengan
hikmah dan pelajaran. Dan di antara hikmah, pelajaran, dan rahasia yang
terdapat dalam kisah itu adalah masalah kemungkinan untuk memperoleh
epistemologi. Dengan kisah itu, al-Quran hendak menyatakan kepada seluruh
manusia, "Wahai manusia! Kalian adalah anak-anak Adam as itu, anak dari
Adam as yang memiliki epistemologi sampai sedemikian rupa. Kalian adalah anak
Adam as yang telah berhasil memperoleh epistemologi yang tidak terbatas. Oleh
karena itu pergilah menuju epistemologi yang tidak terbatas. Kalian adalah anak
epistemologi." Menurut pandangan al-Quran, anak Adam as adalah sama dengan
anak epistemologi.
Ajakan Al-Quran pada Epistemologi
Al-Quran secara tegas mengajak anak keturunan Adam as
pada epistemologi. Dalam al-Quran terdapat berbagai perintah dan anjuran untuk
memperhatikan, melihat, dan merenungkan. Dalam al-Quran terdapat berbagai
ungkapan semacam ini, Katakanlah: "Perhatikanlah apa yang ada di langit
dan di bumi." (Q.S. Yunus: 101)
Katakanlah kepada masyarakat ini untuk melihat (baca:
berpikir), dan mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi. Al-Quran hendak
menegaskan kepada manusia untuk memahami dan mengetahui apa yang ada di langit
dan di bumi dengan menyatakan, "Wahai manusia kenalilah dirimu sendiri,
kenalilah alammu, kenalilah Tuhanmu, kenalilah masamu dan kenalilah masyarakat
serta sejarahmu." Bahkan ayat, Hai orang-orang yang beriman, jagalah
dirimu, (Q.S. al-Maidah: 105). Yakni wahai orang-orang yang beriman atas kalian
diri kalian sendiri. Sekarang terlintas dalam benak saya bahwa berbagai mufasir
yang di antara mereka adalah Allamah Thabathaba'i" mengatakan bahwa maksud
ayat itu adalah, kenalilah dirimu sendiri.
Pada sebuah ayat yang amat populer dengan sebutan
"dzar" (alam dzar atau alam mitsal, alam ide, mundus imaginalis),
terdapat satu poin yang amat menakjubkan berkenaan dengan masalah mengenal diri
sendiri, sekalipun bentuk penjelasan itu secara sandi. Al-Quran mengatakan:
"Dan Allah mengambil kesaksian terhadap diri mereka." (Q.S. al-A'raf
: 172).
Yakni manusia memberikan kesaksian atas diri mereka
sendiri. Dalam memberi kesaksian ini ada dua bentuk. Adakalanya seseorang
memberi kesaksian atas sesuatu yang sebelumnya pernah ia lihat dan saksikan,
kemudian ia hendak menyampaikan kepada orang lain dan memberikan kesaksian. Dan
adakalanya, ada seseorang yang dihadirkan di suatu tempat untuk kemudian ia
akan dijadikan sebagai saksi. Yang pertama disebut dengan "menunaikan
kesaksian" (ada' asy-syahadah) dan yang kedua disebut dengan "menanggung
kesaksian" (tahammul asy-syahadah). Al-Quran mengatakan bahwa Allah
menunjukkan manusia kepada dirinya sendiri (walhasil ayat ini adalah salah satu
ayat yang berkenaan dengan fitrah), mereka menjadi saksi atas diri mereka
sendiri. Yakni al-Quran mengatakan bahwa lihatlah diri kalian! Allah mengambil
kesaksian terhadap diri mereka.
Tatkala manusia telah melihat diri mereka sendiri,
kemudian Allah berfirman, Bukankah Aku ini Tuhanrnu? Bukankah Aku adalah
Tuhanmu? Mereka menjawab, "Ya." Di sini al-Quran tidak mengatakan
bahwa Allah menunjukkan Zat-Nya kepada manusia, lalu mengatakan bahwa bukankah
Aku adalah Tuhanmu? Tetapi al-Quran mengatakan bahwa manusia diperlihatkan
kepada dirinya sendiri, kemudian Dia berfirman, Bukankah Aku ini Tuhanmu?
Apakah tujuan dari semua ini? Apakah hal itu sama seperti ketika si Zaid mereka
tunjukkan (kepada seseorang) dan kemudian mereka bertanya (kepada orang itu),
"Tidakkah engkau melihat si Amir?" Tidak, duduk permasalahannya bukan
semacam ini.
Sebagai perumpamaan, kita dapat mengumpamakan semacam
seorang yang mengatakan kepada temannya, "Lihatlah cermin itu."
Ketika temannya melihat ke arah cermin itu, kemudian ia menanyakan,
"Bukankah saya seorang yang tampan?" Kenapa demikian? Karena ia
melihat ke arah cermin. Jika temannya itu melihat ke arah dinding, maka jadinya
tidak demikian. Allah sebegitu dekat dengan manusia! Mengenal diri dan mengenal
Tuhan telah bercampur menjadi satu. Sehingga Dia memerintahkan, "Wahai
manusia! Lihatlah dirimu sendiri." Dan tatkala mereka telah melihat kepada
diri mereka sendiri, lalu Allah berfirman, Bukankah Aku ini Tuhanmu. Ketika
engkau melihat dirimu sendiri maka engkau akan melihat-Ku, ketika engkau
mengenal dirimu sendiri, maka engkau akan mengenal-Ku. Ungkapan,
"Barangsiapa yang telah mengenal dirinya, maka dia telah mengenal
Tuhan-nya," merupakan sebuah ungkapan yang amat populer di dunia Islam.
Bahkan ungkapan ini telah disebutkan pada masa sebelum Islam, Socrates juga
pernah mengatakannya, di India pun banyak yang pernah mengucapkan ungkapan itu.
Tetapi tidak ada satu penjelasan pun yang seindah penjelasati al-Quran. Amirul
Mukminin Ali bin Abi Thalib as seringkali menyampaikan kalimat tersebut, dan
Rasul mulia saw juga telah menyampaikannya, tetapi tidak ada seorang pun yang
memiliki penjelasan yang lebih indah dari yang dijelaskan oleh al-Quran.
Al-Quran dengan kefasihannya menunjukkan manusia kepada manusia itu sendiri,
dengan cara memerintahkan manusia untuk melihat dirinya sendiri, dan begitu
manusia telah melihat dirinya sendiri, seketika itu Allah bertanya,
"Apakah sekarang engkau dapat melihat-Ku dengan baik?" Manusia
menjawab, "Ya, sekarang kami dapat melihat-Mu dengan balk." Di sini
al-Quran tidak mengatakan, "Barangsiapa yang telah mengenal dirinya, maka
ia telah mengenal Tuhan-nya," yakni antara telah mengenal yang satu dengan
telah mengenal yang lain sifatnya adalah berurutan; pertama mengenal diri
sendiri, berikutnya adalah mengenal Tuhan.
Tetapi al-Quran hendak menyatakan bahwa sebegitu
dekatnya antara dua pengenalan itu, sehingga tatkala engkau melihat yang ini
maka engkau pun akan melihat yang itu. Semua penjelasan yang diberikan oleh
selain al-Quran, senantiasa meletakkan dua pengenalan itu secara berurutan,
sedangkan al-Quran menjelaskannya dengan menggunakan sebuah kalimat bahwa
manusia cukup hanya dengan mengenal diri, karena jika telah mengenal diri maka
pasti telah mengenal Tuhan. Sebegitu dekatnya antara pengenalan diri dengan
pengenalan Tuhan, laksana seseorang yang memandang sebuah cermin. Sekalipun
yang ada di dalam cermin itu hanyalah semacam bayangan (gambar) saja, tetapi
ketika Anda berada di depan sebuah cermin maka Anda tidak dapat menghindarkan
diri untuk tidak melihat gambar Anda di cermin itu.
Tatkala seseorang memperhatikan dan merenungkan poin
al-Quran ini, pasti ia akan merasa kagum dan tercengang. Inilah ayat al-Quran.
Coba Anda perhatikan, Rasul saw adalah seorang bangsa Arab yang buta aksara,
penduduk desa, tidak pernah belajar, tidak memiliki guru dan pengajar, orang
terpandai yang ada dalam masyarakat itu tidak ubahnya semacam kelas tiga
sekolah dasar yang ada pada masa kita ini, hanya mampu membaca satu baris
tulisan dan tulisan tangannya tidak rapi serta tidak beraturan. Apakah dapat
dipercaya bahwa berbagai ucapan yang indah dan mempesona yang keluar dari lisan
laki-laki (Muhammad Saw) semacam itu, tanpa ada hubungan dengan alam metafisika
(ma'nawi) atau alam yang lain? Bahkan orang-orang semacam Socrates sama sekali
tidak akan mampu untuk mengeluarkan ucapan seindah itu. Ia (Muhammad Saw)
memiliki bentuk pandangan yang begitu dalam dan luas.
Katakanlah:"Perhatikanlah apa yang ada di langit
dan di bumi?" (Q.S. Yunus: 101). Perhatikanlah apa yang ada di berbagai
langit dan di berbagai belahan bumi (tidak pada bumi saja), perhatikanlah apa
yang ada di seluruh alam ini! Ketahuilah apa yang ada di seluruh penjuru alam
ini! Dengan demikian maka al-Quran mengajak manusia pada epistemologi. Tidak
ada lagi pembicaraan mengenai kemungkinan memperoleh epistemologi, artinya
kemungkinan untuk memperoleh epistemologi adalah pasti.[]
[1] . Silahkan rujuk Âmuzesy-e Falsafeh, Ustadz Ayatullah Agâ Misbâh
Yazdi, jilid 1, hal. 91, Syarkat-e Câp-e wa Nasyr-e Bainal Milal Sazemân-e
Tablighati Islâmi, Qum.
[2] . Idem.,
[3] . Ma'rifat Syinâsi dar Qur'ân, Ustadz Ayatullah Agâ Jawâdi
Âmuli, hal. 22, Markaz-e Nasyr Isra', Qum.
[4]. Pemahaman dan pengetahuan ini adalah sama dengan keyakinan,
karena keraguan adalah bukan pemahaman. Pemahaman ialah tatkala kita sampai
pada titik tertentu di mana kita berpikir bahwa ini adalah demikian, dan saya
tidak meragukan atas apa yang saya pikirkan itu dan saya yakin bahwa itu adalah
betul. Saya tidak meragukan kebenarannya, karena jika saya meragukannya maka
berarti itu bukan pengetahuan tetapi itu adalah "apakah",
"apakah demikian", "saya tidak tahu", "mungkin
ada", "mungkin tidak ada" dan berbagai ungkapan yang sejenis
dengan kalimat la `adri (tidak tahu). Suatu pengetahuan dapat disebut sebagai
pengetahuan yang hakiki, jika di situ tidak terdapat sedikit pun keraguan,
tetapi jika terdapat keraguan maka menjadi la 'adri (tidak tahu).
Media-media Epistemologi
Berkenaan dengan pembahasan epistemologi,
terdapat berbagai bentuk permasalahan.
pada pertemuan yang lalu telah dijelaskan dua buah permasalahan yaitu
tentang nilai dan pentingnya epistemologi. Khususnya kita telah masuk pada
pembahasan kenapa pada masa sekarang ini dunia kita amat mementingkan masalah
epistemologi. 5ebagian mengatakan bahwa filsafat adalah bukan mengenal alam
tetapi mengenal pengetahuan. Dan menurut istilah asingnya adalah bukan ontologi
tetapi epistemologi. Telah saya paparkan bahwa dikarenakan dunia pada masa
sekarang ini. Ada juga suatu permasalahan yang lain, yaitu berkenaan dengan
berbagai media dan alat guna memperoleh epistemologi. Apa sajakah alat yang
dimiliki oleh manusia guna memperoleh epistemologi? Sedangkan sumber
epistemologi, tahapan epistemologi, bentuk dan bagian epistemologi merupakan
suatu permasalahan yang lain, di mana bentuk dan bagian epistemologi itu tidak
sama dengan tahapan epistemologi. Permasalahan yang lain adalah berbagai topik
epistemologi. Yakni topik-topik apakah yang mesti diketahui dan dikenal oleh
manusia? Permasalahan lain yang kemungkinan jauh lebih penting dari semua
permasalahan yang ada, adalah masalah neraca epistemologi. Dengan neraca apakah
kita dapat mengetahui bahwa suatu bentuk epistemologi itu benar atau salah? Apa
neraca yang dapat digunakan untuk mengetahui jenis epistemologi yang terbaik?
Masalah isi kandungan dan kuantitas epistemologi, merupakan masalah lain yang
akan kita bahas kelak.
Indera
Merupakan Media yang Diperlukan Untuk Epistemologi
Apa sajakah media epistemologi itu? Di antara
yang dimiliki manusia untuk memperoleh epistemologi adalah "indera dan
persepsi Manusia memiliki berbagai macam indera; indera penglihatan, indera
pendengaran, indera peraba. Seandainya manusia kehilangan semua indera itu,
maka ia akan kehilangan semua bentuk epistemologi. Ada sebuah ungkapan yang
amat populer sejak dahulu kala, dan ungkapan ini dapat dinisbahkan kepada
Arisoteles, "Barangsiapa yang kehilangan satu indra, ia telah kehilangan
satu ilmu (man faqadâ hissan faqada 'ilman)."
Setiap
manusia yang kehilangan salah satu inderanya, maka ia juga akan kehilangan satu
bentuk epistemologi. Jika seseorang dalam keadaan buta, maka ia tidak mungkin
pernah membayangkan warna-warna, berbagai bentuk dan jarak. Anda tidak akan
mampu memberikan penjelasan kepadanya mengenai suatu warna, sekalipun dengan
menggunakan berbagai macam kalimat dan kata guna mendefinisikan warna itu agar
ia dapat mengenalinya. Anda jugs tidak akan mampu mengisahkan kepadanya
mengenai warns dari suatu benda.
Ada sebuah permisalan yang cukup populer, ada
seorang buta sejak lahir, dimana ia seumur hidupnya belum pernah meminum susu
beras (air rebusan beras), namun ia hanya mendengar nama itu. Ia bertanya pada
orang-orang, "Susu beras itu seperti apa?" Orang yang ditanya
berusaha menjelaskan susu beras dengan menunjukkan warnanya. Orang yang ditanya
tidak tahu bahwa si buta tersebut telah mengalami kebutaan semenjak lahir dan tidap
pernah melihat susu beras tersebut sehingga mampu mengidentifikasi warna yang
dimaksud. Namun Anda dapat
menjelaskannya dengan menyebutkan rasa dari berbagai rasa yang pernah ia (orang
buta) rasakan. Sebagai contoh, Anda dapat mengatakan bahwa jika rasa susu, rasa
nasi dan gula dicampur menjadi satu (maka rasanya seperti rasa susu beras).
Orang yang buta itu bertanya, "Susu beras itu seperti apa?"
Dijawab,;"Seperti leher angsa," (karena leher angsa warnanya putih,
maka ia menjelaskan dengan menggunakan leher angsa). Si buta kembali bertanya,
"Bagaimanakah leher angsa itu?" Orang tersebut mengulurkan tangannya
dan berkata, "Leher angsa adalah semacam ini." Si buta menjawab,
"Kini aku telah mengerti bahwa susu beras adalah semacam itu."
Mustahil manusia dapat menjelaskan sebagian
perkara kepada seseorang yang buta sejak lahir karena, "Barangsiapa yang
kehilangan satu indera, maka ia telah kehilangan satu ilmu". Mustahil
seseorang dapat menjelaskan kepada seorang yang tuli sejak lahir tentang suara,
musik ataupun lagu. Begitu juga dengan seseorang yang kehilangan indera yang
lainnya. Oleh karena itu, tidak diragukan lagi bahwa indera merupakan salah
satu alat guna memperoleh epistemologi. Tetapi apakah dalam memperoleh
epistemologi cukup hanya dengan indera saja? Tidak, nanti ketika saya
menjelaskan berbagai tahapan epistemologi, saya akan menjelaskan kenapa tidak
cukup dengan indera. Yakni, memang benar indera diperlukan untuk epistemologi,
tetapi masih belum memenuhi syarat bagi epistemologi.
Peran Kekuatan
Rasio Dalam Epistemologi
Di samping indera, manusia juga masih
memerlukan pada satu perkara ataupun beberapa perkara yang lain. Dalam
memperoleh pengetahuan, manusia terkadang memerlukan pada suatu bentuk
pemilahan (tajziah) dan penguraian (tahlil) serta adakalanya memerlukan
berbagai macam bentuk pemilahan dan penguraian. Pemilahan dan penguraian
merupakan aktivitas rasio. Berbagai pemilahan dan penyusunan rasional (tarkib
`aqli)itu, adalah meletakkan berbagai perkara pada kategori (rnaqulah)nya masing-masing,
di mana hal itu disebut dengan pemilahan (tajziah). Begitu juga dengan
penyusunan dalam bentuk khusus, clan di sini logika yang bertugas melakukan
aktivitas pemilahan (tajziah) dan penyusunan (tarkib) yang mana hal ini
memiliki penjelasan yang panjang. Sebagai contoh, jika kita mengenal berbagai
macam permasalahan ilmiah, maka mereka akan mengatakan kepada kita, "Yang
itu masuk dalam kategori kuantitas (maqulah kammi) dan yang ini masuk dalam
kategori kualitas (maqulah kaif), dan di sini perubahan kuantitas telah berubah
menjadi perubahan kualitas," dan banyak lagi pembicaraan yang sifatnya
semacam itu. Lalu apakah yang disebut dengan kualitas dan kuantitas dan hal-hal
yang semacam ini? Pada dasarnya kita telah meletakkan berbagai hal pada kategori
(maqulah)nya masing-masing. Sebagai contoh, untuk ukuran jarak adalah meter,
untuk berat adalah kilogram dan untuk ukuran luas kita tentukan dengan meter
persegi yang semua itu kita sebut dengan kuantitas. Beratus-ratus ribu perkara
kita masukkan dalam kategori kuantitas. Demikian pula terdapat beratus-ratus
ribu perkara yang kita masukkan dalam kategori kualitas. Sedangkan
beratus-ratus ribu perkara yang lain kita masukkan dalam kategori relatif
(maqulah idhofi, atau juga disebut dengan maqulah nisbi), lalu memiliki
kemampuan untuk melepas, maka memiliki kemampuan untuk berpikir dan mengetahui.
Seandainya rasio tidak memiliki kemampuan untuk mengabstraksi (men-tajdrid),
maka ia tidak mungkin memiliki kemampuan berpikir.
Di sinilah letaknya bahwa indera itu
merupakan suatu syarat demi mengetahui dan memahami, tetapi masih belum
memenuhi syarat. Masih diperlukan suatu tenaga dan kekuatan yang lain. Anda
dapat meletakkan nama apa saja bagi kekuatan itu; "kekuatan pikiran",
"kekuatan berpikir", "kekuatan akal", "kekuatan
rasio", "kekuatan yang mampu mengabstraksi (tajrid)",
"kekuatan yang mampu menggeneralkan", "kekuatan yang mampu
memilah dan menyusun", "kekuatan yang bahkan mampu untuk memilah dan
menyusun berbagai hakikat yang universal". Kekuatan itu kita sebut dengan
kekuatan rasio ('aql). Silahkan jika Anda hendak menyebutnya dengan nama yang
lain (ada yang mengatakan, "Saya sekarang tengah memasak bubur, dan Anda
bebas untuk meletakkan nama yang Anda suka").
Oleh karena itu, memang benar indera merupakan
salah satu media, tetapi suatu kekuatan yang lain yang disebut dengan rasio,
akal, pikiran, daya pikir, dan berbagai sebutan lainnya, merupakan satu media
kekuatan yang lain. Dalam usaha memahami dan mengetahui sesuatu, keduanya itu
mesti ada, dan kita selalu perlu pada keduanya itu.
Pandangan
al-Qur'an Tentang Media-media
Epistemologi
Apa pandangan al-Qur'an berkenaan dengan
epistemologi?[1] Apa yang diyakini oleh al-Qur'an sebagai sebuah media
epistemologi? Apakah al-Qur'an juga menganggap indera sebagai media
epistemologi? Apakah al-Qur'an menganggap rasio ('aql) sebagai media
epistemologi? Apakah al-Qur'an beranggapan bahwa indera dan rasio, keduanya itu
diperlukan untuk epistemologi? Apakah al-Qur' an beranggapan bahwa ada media
yang lain selain indera dan rasio. Seandainya al-Qur'an beranggapan demikian,
maka apakah topik epistemologi yang ada di sana berbeda dengan topik
epistemology yang ada di sini.
Al-Qur'an pada salah satu ayatnya yang
terdapat dalam surah an-Nahl, memaparkan suatu pembahasan di mana dari
pemaparan itu dapat diketahui dengan jelas bentuk pandangannya terhadap alat
episternologi. Dalam surah an-Nahl disebutkan, "Dan Allah mengeluarkan
kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia
memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur." (Qs.
an-Nahl [16]: 78) Dia adalah Tuhan yang mengeluarkan kalian dari perut ibu
kalian, dan kalian dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu. Yakni menurut sudut
pandang epistemologi, kalian tidak mengenal sesuatu apa pun, kalian sama sekali
tidak memiliki epistemologi.[2] (di sini tidak akan dibahas masalah fitrah,
karena pembahasan fitrah tidak ubahnya seperti pembahasan masalah epistemologi
yang akan banyak menyita waktu kita ini. Dan perlu saya tegaskan bahwa ayat ini
tidak bertentangan dengan masalah fitrah.) Dan Dia memberi kamu pendengaran,
penglihatan, kemudian kalian diberi telinga dan mata serta berbagai alat. Pasti
Anda telah mengetahui dengan jelas bahwa di antara indera yang dimiliki oleh
manusia, indera yang paling berpengaruh adalah telinga dan mata. Benar indera
peraba, perasa dan penciuman mampu menghasilkan suatu pengetahuan, tetapi hanya
pada wilayah yang sempit. Ibnu Sina berhasil menemukan suatu neraca yang indah.
la mengatakan, "Coba kalian cari dan temukan kata-kata yang berhubungan
dengan sesuatu yang dirasa, sesuatu yang disentuh, setelah itu kata-kata yang
berhubungan dengan penglihatan clan pendengaran, tentu kalian akan dapati bahwa
dalam bab penglihatan dan pendengaran terdapat beribu-ribu kata. Bahkan
sebagian besar dari sesuatu yang dapat disentuh clan dirasa itu adalah melalui
sentuhan penglihatan dan pendengaran." Dalam ayat tersebut al-Qur' an
menyebutkan dua indera yang penting itu. Yakni setelah mengatakan bahwa kalian
datang ke dunia ini dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apa pun, kemudian
menyebutkan, Dan Dia memberimu pendengaran dan penglihatan, Dia telah memberi
kalian telinga dan mata, memberi kalian berbagai indera. Yakni memberi berbagai
alat epistemologi. Pertama kali kalian tidak mengetahui sesuatu apa pun, tidak
mengenal sesuatu apa pun, lalu Dia memberi berbagai alat ini agar kalian dapat
mengenali clan mengetahui. Dan hati, agar kamu bersyukur. Apakah al-Qur'an
merasa cukup hanya dengan indera saja? Tidak, pada lanjutan ayat itu disebutkan
sesuatu yang menurut istilah Al-Qur'an disebut dengan lub dan juga hijr-dan
setiap jenis bahasa berhak untuk memberikan suatu kata pengganti bagi istilah
ini-yang mana itu berarti pusat pikiran. Terkadang Al-Qur'an menyebutkan bahwa
ada orang-orang yang tidak memiliki hati (jelas yang dimaksud di sini adalah
bukan hati yang merupakan salah satu dari organ tubuh). Allah memberi kalian
berbagai hati. Setelah mata clan telinga, kemudian disebutkan hati, yakni itu
adalah suatu kekuatan yang mampu untuk memilah (tajziah) dan menyusun (tarkib),
menggeneralkan (ta'mim), mengabstraksi (tajrid), suatu kekuatan yang memiliki
peran yang amat penting dalam epistemologi.
Kata Syukur
Dalam al-Qur'an
"Agar kamu bersyukur." Ini amatlah
penting; selayaknya kalian bersyukur dan berterimakasih. Apa maksudnya?
Kemungkinan Anda akan mengatakan bahwa maksudnya adalah dengan rnengucapkan
kalimat, "Ya, Allah aku bersyukur kepada-Mu atas mata dan telinga yang
telah Engkau anugerahkan kepadaku." Tidak, bukan demikian. Di antara
kata-kata yang ada di dalam al-Qur'an yang amat penting untuk diketahui adalah
kata syukur (syukr). Kata syukr memiliki arti taqdir (penghargaan). Bersyukur
yakni menghargai. Oleh karena itu maka Allah juga disebut dengan Syakûr (Maha Menghargai).
Kenapa Allah itu disebut Syakur? Apakah itu berarti Allah bersyukur pada
Zat-Nya sendiri? Anggapan semacam ini adalah tidak benar dan tidak berarti.
Ataukah yang dimaksud adalah Allah menyatakan kepada hamba-hamba-Nya, "Aku
bersyukur kepada kalian? Dikarenakan Allah itu bersyukur clan menghargai, maka
Dia, "Sesungguhnya Allah tidak menryia-nyiakan pahala orang-orang yang
berbuat baik." (Qs. at-Taubah [9]: 120), Karena Allah menghargai dan
mengenal nilai-nilai, maka Zat-Nya disebut dengan Syakûr. Yakni tidak
menyamakan antara perbuatan baik dengan perbuatan buruk, antara yang patuh
dengan yang membangkang, "Patutkah Kami menganggap orang-orang yang
beriman dan mengerjakan mnal yang saleh sama dengan orang-orang yang berbuat
kerusukun di muka bumi? Patutkah (pula) Kami menganggap orang-orang yang
bertakwa sama den gun orangorang yang berbuat mdksiat? (Qs. Shaad [38]:
28) Apakah Kami akan menyamakan antara
keduanya itu? "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang
yang tidak mengetahui?"(Qs. az-Zumar [39]: 9). Apakah sama antara mereka
yang mengetahui dengan mereka yang tidak mengetahui? Tidak, tidak semacam itu.
Dikarenakan Allah menghargai kemuliaan, kebaikan, usaha baik, niat baik clan
ketulusan hati yang ada pada diri manusia, maka Dia disebut dengan Syakûr.
Lalu apa yang dimaksud dengan hamba yang
syakûr? Yakni seorang hamba yang telah memperoleh berbagai kenikmatan dan
kemudian menghargai berbagai kenikmatan itu. Apa yang dimaksud dengan
menghargai kenikmatan? Apa maksud dari ungkapan, "Hendaklah Engkau
mengetahui nilai dari suatu kenikmatan?" Permasalahan ini telah menjadi
topik pembahasan sejak dahulu kala. Dan semuanya memberikan penjelasan yang
sama bahwa yang dimaksud dengan menghargai kenikmatan ialah menggunakan kenikmatan
itu pada jalan yang sesuai dengan tujuan penciptaan. Bersyukur ialah
menggunakan berbagai kenikmatan yang diberikan oleh Allah pada hal-hal yang
merupakan tujuan Allah dalam menciptakan kenikmatan itu. Mensyukuri tangan
bukan hanya dengan mengatakan "Tuhanku aku bersyukur (Ilahi syukr)."
Ucapan, "Tuhanku aku bersyukur," hanya merupakan suatu bentuk
pemberitahuan dan bukan berarti telah bersyukur. Tidak ubahnya semacam,
"Aku memohon ampunan kepada Allah Tuhanku dan aku bertobat kepada-Nya,"
"astaghfirullâh rabbi wa atubu ilaih" yang mana ini adalah sebuah
ungkapan tobat dan bukan berarti telah bertobat.
Sebagian ada yang keliru dalam memahami
antara ungkapan tobat dan bertobat itu sendiri. Bertobat ialah merasa amat
menyesal atas dosa yang pernah dilakukan, dan memiliki kemauan keras untuk
tidak mengulangi perbuatan dosa itu dan kembali pada kebenaran. Memang benar
bahwa ungkapan "Aku memohon ampunan kepada Allah Tuhanku dan aku bertobat
kepada-Nya" menjelaskan suatu bentuk rasa tobat, tetapi bukan berarti
bertobat. Jika saya memegang seuntai tasbih, bukan hanya sebanyak seratus kali
tetapi sebanyak seribu kali saya ucapkan kalimat itu, tetapi saya tidak
memiliki rasa penyesalan atas berbagai dosa yang telah saya perbuat, dan saya
tidak memiliki kemauan keras untuk meninggalkan perbuatan dosa itu, dan saya
masih tetap melakukan perbuatan dosa, ucapan seribu kali itu bukan berarti
bertobat. Jika tetap dalam kondisi semacam itu, maka kalimat itu sebaiknya
tidak usah diucapkan. Kalimat itu adalah ungkapan tobat dan bukan berarti
bertobat. Ungkapan "llahi aku bersyukur" merupakan suatu ungkapan
syukur dan bukan bersyukur. Bersyukur yakni bergerak, beramal, mempergunakan
kenikmatan sesuai dengan tujuan Allah dalam menciptakan kenikmatan itu. Untuk
apakah Allah menciptakan tangan? Untuk apakah Allah menciptakan kaki? Untuk
apakah Allah menciptakan otak? Untuk apakah Allah menciptakan telinga? untuk
apakah Allah menciptakan rasio? Bersyukur ialah dengan mempergunakan semua ini
pada jalurnya masing-masing. Lalu bagaimanakah bersyukur atas pendengaran dan
penglihatan? "Katakanlah: "Perhatikanlah apa yang ada di langit dan
apa yang ada di bumi. " (QS. Yunus: 101)
Bersyukur atas mata itu adalah memperhatikan
dan mengkaji alam. Bersyukur atas telinga ialah mendengarkan berbagai kebaikan,
bersyukur atas hati ialah berpikir, merenungkan, memilah dan menguraikan
(tajziah wa tahlil), melepas (tajricl), menggeneralkan dan berargumentasi. Jika
demikian lalu apa arti ayat yang berbunyi, "Dan Allah mengeluarkan kamu
dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun?" (QS. an-Nahl
[26]: 78). Artinya ialah, wahai manusia! Ketahuilah jalur perjalananmu. Allah
telah mengerakkanmu pada jalur ini. Yakni semua itu adalah sistem Ilahi, sunah
dan kehendak Ilahi merupakan berbagai realitas kehendaknya. Tatkala kamu datang
di dunia ini, kamu tidak mengetahui suatu apa pun, kemudian Dia memberimu mata,
telinga dan hati, untuk kamu syukuri, untuk kamu pergunakan pada tempatnya
masing-masing. Yakni untuk kamu ketahui, yakni mata, telinga dan hati untuk
kamu pergunakan sebagai alat epistemologi. Mata, telinga, indera peraba dan
indera perasa yang ada pada dirimu merupakan media epistemologi. Daya berpikir,
lub, hati, akal, rasio, hijr dan berbagai rahasia yang ada pada dirimu, semua
itu adalah media epistemologi. Allah menciptakan semua itu adalah agar kamu
mengenal dan mengetahui alam ini. Oleh karena itu al-Qur'an dengan tegas
menyatakan bahwa kedua alat itu adalah media epistemologi. Dengan demikian maka
sesuai dengan pandangan al-Qur'an kita mengakui adanya dua media epistemologi
(indera dan rasio). Alhasil, Al-Qur'an mengakui adanya alat epistemologi yang
lain, yang mana hal itu nanti akan dipaparkan kemudian. Di sini kita mesti
mengenal berbagai macam pandangan yang lain. Kemungkinan Anda telah membaca
pembahasan epistemologi dari berbagai buku filsafat seperti buku-buku yang
bertemakan kulliyat falsafah (hal-hal universal dalam filsafat). Ada sebagian,
misalnya Plato, meyakini bahwa media epistemologi itu hanya rasio (`aql).[3]
Dan sebagian yang lain tidak menganggap penting fungsi rasio, mereka
berkeyakinan bahwa media epistemologi itu hanya berbagai indera, sementara
rasio hanya memiliki suatu peran yang amat lemah. Mereka mengatakan bahwa
segala pengetahuan itu berhubungan langsung dengan indera. Di antara yang
memiliki pandangan semacam ini adalah para filosof Eropa. Hume berada pada
posisi di atas mereka semua. John Locke (berkebangsaan Inggris) juga merupakan
seorang tokoh Eksperimentalisme. Hobbes juga termasuk tokoh Eksperimentalisme.
Salah satu dari berbagai alat itu-yang dari
satu sisi artinya adalah alat indera itu sendiri, namun di sini mesti
dipisahkan artinya-adalah "praktik" (`amal). Selama kita hanya sibuk
dengan berbagai indera kita saja dan tidak melakukan praktik, itu dinamakan
dengan "induksi" (menurut istilah ilmu logika disebut dengan
istiqrâ'), sedangkan jika pada saat praktik, rasio juga ikut serta dalam
praktik itu, maka hal itu disebut dengan eksperimen (ikhtibar, tajribah). Di
antara kesalahan besar yang ada di tengah para filosof Eropa adalah, mereka
tidak memisahkan antara "induksi" dan "eksperimen",
sedangkan para filosof kita memisahkan dua perkara itu, dan keduanya itu jelas
harus dipisahkan. Induksi (istiqra') berada pada posisi prasangka atau dugaan,
sedangkan eksperimen (ikhtibar, tajribah) berada pada posisi keyakinan dan
argumentatif. Inilah yang saya maksudkan bahwa dari sudut pandang yang lain,
praktik mesti dipisahkan dari indera. Karena terdapat perbedaan antara perasaan
biasa (yaitu induksi, istiqra') dengan suatu perasaan yang disertai dengan
praktik (yaitu, eksperimen, tajribah), dan praktik kita itu tidak ubahnya
seperti aktivitas rasio. Sebagaimana di dalam rasio kita, terdapat praktik
memilah dan menyusun (tajziah wa tarkib), di luar pun kita juga memilah dan
menyusun, membuat berbagai tabel serta menambah dan mengurangi, dan semua itu
bermanfaat bagi kita.
Alat Hati
(Penyucian Jiwa)
Salah satu dari alat-alat epistemologi itu
adalah hati." Hati menurut istilah irfan dan bukan hati menurut istilah Al-Qur'an.
Terkadang Al-Qur'an juga mengartikan semacam ini, tetapi ini adalah suatu
istilah khusus, istilah irfan. Apakah hati itu merupakan sebuah media
epistemologi? Mungkinkah seseorang mampu memperoleh pengetahuan tanpa melalui
indera dan rasio, tetapi melalui hati? Maksud dari melalui hati ialah dengan
melakukan penyucian jiwa, penyucian hati. Sebagian dari para ilmuwan modern-di
antaranya adalah: Pascal, seorang ahli matematika yang cukup terkenal; William
James, ahli ilmu jiwa dan filosof terkenal berkebangsaan Amerika; Alexis Carrel
dan Bergson-menganggap hati sebagai alat epitemologi. Bahkan Bergson amat
meyakini hal itu melebihi yang lain. Ia meyakini bahwa media epistemologi yang
dimiliki oleh manusia hanyalah hati, dan ia beranggapan bahwa indera dan rasio
tidak memiliki peran sebagai media epistemologi. Descartes memiliki pendapat
sama seperti Plato, yaitu menganggap rasio sebagai media epistemologi dan tidak
mengakui indera sebagai alat epistemologi. Descartes mengatakan bahwa indera
itu hanya berguna untuk praktik, berguna untuk kehidupan, laksana sebuah mobil
bagi manusia yang berguna sebagai alat untuk bekerja, akan tetapi dengan indera
itu tidak mungkin dapat diperoleh suatu epistemologi. Epistemologi tidak lain
hanyalah dengan rasio. Berbagai argumen yang dikeluarkan oleh Descartes dalam
usaha menolak peran indera, oleh Bergson digunakan untuk menolak fungsi rasio.
Bergson mengatakan, "Pendapat Anda keliru tatkala Anda mengatakan bahwa
rasio adalah media epistemologi. Tidak, bukan semacam itu. Sebagaimana Tuhan
menciptakan berbagai indera sebagai media untuk mengarungi kehidupan, Tuhan
juga memberi manusia rasio yang merupakan suatu media lain yang juga berfungsi
untuk mengarungi kehidupan. Rasio bukan alat epistemologi, yang merupakan alat epistemologi
itu adalah perasaan 'itfani (yang oleh para ahli `irfan disebut dengan hati,
qalb)."
Perumpamaan
Maulawi
Perselisihan antara kalangan 'urafa (ahli
'irfan) dan para filosof adalah dalam masalah, "Kaki kaum rasional adalah
kaki kayu dan kaki kayu amatlah rapuh." Mulla Rumi memiliki berbagai
perumpamaan yang cukup indah dan menarik berkenaan dengan topik pembahasan ini.
Di antaranya ia mengatakan, "Pada suatu
hari di dunia, diadakan lomba lukis internasional. Orang-orang Cina menyatakan
bahwa lukisan dan peradabannya jauh lebih tinggi dari yang lain, dan
orang-orang Romawi menyatakan bahwa lukisan dan peradabannyalah yang lebih
tinggi. Telah ditentukan bahwa lomba tersebut diadakan di sebuah ruangan yang
luas, orang-orang Cina berada di satu sisi dan orang-orang Romawi di sisi lain.
Di ruangan itu masing-masing akan melukis suatu lukisan, dan kedua lukisan itu
akan dibandingkan, lalu juri akan memutuskan manakah yang terbaik dari kedua
lukisan itu. Kedua kelompok pelukis itu dipisahkan oleh sebuah tabir; agar satu
sama lain tidak saling melihat. Telah cukup lama orang-orang Cina sibuk
mengerjakan lukisannya, akan tetapi orang-orang Romawi bukannya melukis, tetapi
mereka justru mendatangkan sebuah cermin yang cukup besar dan diletakkan tepat
berhadapan dengan kanvas orang-orang Cina. Mereka membersihkan dan mengelap
cermin tersebut dengan sungguh-sungguh, sehingga tidak ada setitik noda pun
yang anelekat di permukaannya. Akhirnya waktu lomba pun usai, tirai pembatas
disingkap dan akan dilakukan perbandingan antara kedua lukisan itu. Para juri
melihat kedua lukisan itu dan mengatakan bahwa lukisan milik orang-orang Romawi
jauh lebih baik." (perumpamaan ini bukan fakta sejarah, tetapi hanya
sebuah dongeng).
Si arif berkata kepada filosof,
"Wahai filosof, dengan cara membersihkan hati dan jiwa saya, dalam
inengenal dunia ini jauh lebih baik dari Anda. Anda mengatakan bahwa filsafat
itu, menciptakan pada diri manusia
sebuah alam rasio yang sama dengan alam obyektif'. Anda juga mengatakan bahwa,
'ia adalah ilmu terhadap berbagai hakikat sesuatu, sesuai dengan apa yang ada'.
Silahkan Anda bekerja keras membanting tulang, dan saya dihadapan alam ini
hanya akan membersihkan diri, menjadi semacam cermin di hadapan alam, saya
tidak akan melukis suatu gambar apa pun dalam diri saya. Silahkan Anda membaca
hukum ini dan hukum itu, lalu Anda melihat suatu lukisan dalam dirimu, dan saya
tidak akan membuat suatu lukisan pun, tetapi saya hanya membersihkan jiwa. Saat
itu, lukisan alam obyektif ini akan tercermin dalam diri saya, dan saya akan
melihat alam ini.
Ibnu Sina, yang mana ia adalah
seorang filosof, tidak menghiraukan berbagai pandangan para ahli `itfan ini.
Tatkala ia mendapatkan suatu kesulitan dalam memahami suatu bentuk
ungkapan-yang tidak dapat diselesaikan dengan menggunakan argumen matematika
dan filsafat, yang argumen itu sifatnya kering dan gersang-ia akan bergumam,
"Biarkan saja, ungkapan ini tidak ubahnya seperti ungkapan 'urafa, seperti
ungkapan para sufi." Demikian pula seorang arif tatkala menghadapi
kesulitan dalam memahami ungkapan filosof ia juga akan bergumam, "Biarkan
saja, ia tengah tersesat dalam alamnya sendiri. la tidak ubahnya seperti ulat
sutera yang selalu melilit dirinya sendiri dan bersembunyi dalam rumah
khayalannya itu, tetapi ia sendiri tidak menyadarinya." Yang ini
mengatakan, "Biarkan saja," dan yang itu juga mengatakan,
"Biarkan saja." Tetapi tampaknya Ibnu Sina pada akhir hayatnya
cenderung pada `irfan. Dalam karya tulisnya yang terakhir yang berjudul Maqâmat
al-'Ârifin, ia mengakui sebagian perkara yang berkaitan dengan `irfan.
Apa yang dikatakan oleh
al-Qur'an? Al-Qur'an tidak mendukung pendapat yang ini dan tidak mendukung
pendapat yang itu. al-Qur-an tidak mengatakan bahwa (media epistemologi itu)
hanya indera dan rasio. Demikian pula tidak mengatakan bahwa media epistemologi
itu hanya hati. Karena al-Qur'an beranggapan masing-masing media itu merniliki
wilayah yang berbeda. Berbagai wilayah tidak sama dengan berbagai topik.
Demi untuk mengenal diri sendiri,
al-Qur'an mengatakan bahwa hendaklah kalian melakukan penyucian jiwa (tazkiah
an-nafs). Tidak ada seorang pun dari para ahli di bidang psikologi dan
psikoterapi yang mampu mengetahui jiwa manusia yang paling dalam, sehingga
akhirnya mereka mampu berpendapat bahwa penyucian dan pembersihan jiwa akan
mengenalkan manusia pada dirinya sendiri. Penyucian dan pembersihan jiwa, akan
menampakkan kepada manusia berbagai kebijaksanaan Ilahi, jalan serta jalur yang
mesti dilewati, serta melenyapkan berbagai debu yang menghalangi pandangan
manusia.
Hakikat
adalah rumah yang terhias indah
Hawa nafsu
adalah debu yang berterbangan
Tidakkah
kamu melihat tatkala debu berterbangan
Penglihatan
seorang tak mampu melihat meski tak buta
Al-Qur'an tidak mengatakan bahwa jika kalian
hendak mempelajari ilmu kedokteran kalian cukup dengan melakukan penyucian
diri, dan ilmu kedokteran itu akan terwujud dalam diri kalian. Jelas hal
semacam ini adalah ornong kosong belaka. Ilmu kedokteran mesti dipelajari,
mesti memeriksa pasien yang menderita suatu penyakit clan meneliti jenis
penyakitnya, dan mesti mengadakan berbagai penelitian serta uji coba terhadap
macam-macam jenis obat. Jika Anda hendak mengetahui ilmu matematika, Anda mesti
mempelajari ilmu itu. Jika Anda hendak mengenal alam, maka Anda mesti mempelajari
ilmu alam, dan seterusnya.
Katakanlah: "Perhatikanlah
apa yang ada di langit dan di bumi. " (Qs. Yunus [10]: 101) Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan
bumi, dan silih bergantinya malum dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang
yang berakal. (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau
duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan
langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau
menciptakan ini dengan sia-sia. " (Qs. Ali Imran [3]: 190-191)
(Media-media epistemologi itu)
satu sama lain meiniliki wilayah yang berbeda-beda. Anda jangan
mencampuradukkan dua wilayah itu, Anda tidak menolak dia dan dia tidak menolak
Anda. Wilayah indera dan rasio adalah terbatas; yang ini memiliki suatu
kegunaan dan yang itu juga memiliki suatu kegunaan yang lain. Di sini al-Qur'an
mengatakan, Dan Allah mengeluarkun kamu duri perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati,
agar kainu bersyukur . (QS. an-Nahl [16]: 78)
Dalam ayat ini al-Qur'an secara
tegas-sebagaimana seorang filosof-mengajak manusia pada epistemologi melalui
media indera dan rasio, scdangkan pada ayat yang lain, memberikan peqjelasan
secara lemah lembut-seperti seorang arif. Al-Qur'an mengatakan, "Dan
orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami
tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar
beserta orang-orang yang berbuat baik. (Qs. al-Ankabut [29]:9)
Mereka yang berjuang di jalan
Kami, menyucikan jiwa mereka, memiliki niat yang tulus dan bersih, Kami akan
membimbingnya melalui jalan yang gaib, Kami akan memberinya cahaya, Kami akan
memberinya berbagai pengetahuan sehingga mereka mampu untuk mengenal dengan
baik berbagai hakikat kehidupan dan juga supaya mata serta pikiran mereka
menjadi semakin terbuka. Al-Qur'an juga mengatakan, "Demi matahuri (dan
cahayanya di pagi hari, dan bulan apabila menampakkannya, dan malam apabila
menutupinya, dan langit serta pembinaannya, dan bumi serta penghamparannya, dan
jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa
itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang
menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (Qs.
asy-Syams [91]: 1-10)
Di sini yang pertama kali disebut
adalah alam: Kami bersumpah demi pancaran sinar matahari di waktu pagi, Kami
bersumpah demi bulan yang mengikuti matahari, Kami bersumpah demi siang ketika
matahari tampak terang benderang, Kami bersumpah demi malam yang menyelimuti
alam, Kami bersumpah demi langit dan yang membangunnya, Kami bersumpah demi
bumi dan yang membentangkannya, Kami bersumpah demi jiwa dan roh manusia, Kami
bersumpah demi keseimbangan jiwa manusia, (betapa indahnya ungkapan al-Qur'an!
Demi Allah manusia akan meneteskan air matanya tatkala menyaksikan keindahan
ayat ini) Kami bersumpah demi keseimbangan ciptaan ini, yang mana fujur dan
taqwa (jiwa ini telah Dia ilhamkan kepada jiwa itu).[4] Kemudian mengatakan,
Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, telah meraih
kemenangan seseorang yang berhasil mensucikan jiwanya.
Wahai ilmuwan! Wahai filosof!
Kalian mesti menyingkirkan berbagai kelemahan yang ada pada diri kalian. Anda
tidak cukup hanya dengan mengatakan bahwa saya sekarang berada di laboratorium,
tetapi Anda mesti terlebih dahulu menjadi seorang manusia. Jika Anda hendak
memiliki epistemologi, syarat demi memperoleh epistemologi yang betul adalah
menjadi manusia. Jadilah manusia, lalu pergilah ke laboratorium; jadilah
manusia, lalu masuklah ke dalam kelas. Jadilah manusia, lalu berpikirlah;
jadilah manusia, lalu mengajarlah; jadilah manusia, lalu duduklah mendengarkan
pelajaran yang disampaikan oleh pengajar.
"Sesungguhnya beruntunglah
orang yang menyucikan jiwa itu." Telah meraih kemenangan seseorang yang
jiwanya (di mana Kami bersumpah derni itu) telah berhasil ia sucikan. Celaka
dan siallah seorang yang telah menyimpangkan jiwa itu. Kata dassaha berasal
dari kata dassa yang berarti "merubah", "menghapus",
seperti-seseorang yang-memasukkan suatu kesalahan pada tulisan asli seorang
penulis, atau menghapus tulisan yang ada pada suatu surat perjanjian, atau ada
seorang yang telah menulis sebuah buku, kemudian ada orang lain yang mcnambahkan--dalam
buku itusuatu topik pembahasan atau menghapus sebagian pembahasan yang ada, ia
memaparkan berbagai permasalahan yang sama sekali tidak diketahui oleh sang
penulis.
Hal semacam itu juga terjadi pada
buku-buku syair kita. Hafiz yang malang, sekarang ini tidak jelas manakah
syair-syair yang benar-benar merupakan hasil karyanya. Setiap orang yang hendak
menulis syair mengetahui bahwa jika syair itu ditulis atas namanya sendiri,
maka pasti tidak akan ada orang yang sudi membaca dan mendengarnya. Kemudian
kumpulan syair-syair itu ia beri judul Kumpulan syair-syair Hafiz. Dengan
demikian maka ia dapat dengan bebas dan leluasa menulis syair-syair dalam buku
Hafiz-nya sendiri. Sekarang ini untuk memisahkan antara syair, syair yang
benar-benar milik Hafiz dengan syair-syair para pemalsu mesti dengan susah
payah.
Umar Khayyam, seumur hidupnya
bukanlah seorang penyair. Artinya keahliannya bukan sebagai penggubah syair,
tetapi ia memiliki yang peka dan tinggi terhadap syair. Ia adalah seorang
teosof, ahli matematika, muwahhid (mengesakan Tuhan), ahli tauhid, murid dari
Ibnu Sina dan ia selalu mengingat hubungannya dengan Ibnu Sina dengan
mengungkapkan "saya dan guru saya." Mereka menukil berbagai syair
yang tidak berbobot yang dinisbahkan padanya (Umar Khayyam), sedangkan dalam
menolak berbagai permasalahan yang terkandung dalam syair-syair itu – berkenaan
dengan syair-syair yang berhubungan dengan filsafat penciptaan, filsafat
taklif, filsafat pengharaman (hurmah) dan lain sebagainya yang mana semua permasalahan
itu disusupkan dalam syair-syairnya- ia memiliki tulisan yang telah dicetak
oleh orang-orang Rusia dan Mesir. Dikatakan bahwa Umar Khayyam selama hidupnya
hanya menciptakan enam belas ruba'i (syair yang terdiri dari empat baris). Ia
adalah seorang yang memiliki yang tajam, sekali-kali mengalunkan syair
(sebagaimana Ibnu Sina juga sekali-kali mengalunkan syair). Seorang penyair
tatkala jiwa penyairnya tengah melambung tinggi, ia akan meletakkan itu di sini
dan di situ (membolak balik posisi kata).
Alhasil ini hanyalah sebuah
syair, bahasa syair bukan seperti bahwa hikmah (teosofi), dan bukan pula
seperti bahasa ilmiah. Sekarang, cobalah Anda perhatikan, ungkapan apa yang
tidak dicantumkan dalam Ruba'iyyat yang diatributkan kepada Umar Khayam. Inilah
yang disebut sebagai dassa, disebut sebagai tahrif. Alangkah indahnya
penjelasan al-Qur'an mengatakan, wahai manusia! Kalian ibarat buku, dalam buku
ini kalian jangan menulis suatu kesalahan, tulisalah dengan benar, tulisalah
berdasarkan pada epistemologi yang sahih, jika kalian menulis suatu kalimat
yang salah pada lembaran jiwa Anda, berarti kalian telah berkhianat terhadap
buku ini. Jika kalian mempelajari hal-hal yang percuma, sia-sia dan tiada guna,
yang tidak memberi suatu manfaat bagi dunia dan akhirat kalian, (maka kalian
telah berkhianat terhadap buku kalian). Dan sesungguhnya merugilah orang yang
menodainya. Apakah bukan merupakan keburukan pada jiwa kalian, tatkala kalian
memasukkan syair-syair yang tidak berguna dalam benak pikiran kalian? "Sesungguhnya
beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang
yang menodainya."
Segala kebohongan, segala
penyimpangan yang kalian lakukan dengan menggunakan pikiran kalian, hal itu
berarti kalian telah berkhianat terhadap buku ini. Wahai manusia! Janganlah
kalian berkhianat, Kami bersumpah demi jiwa kalian, Kami bersumpah demi
keseimbangan ruh kalian, bahwa kemenangan kalian adalah senantaisa menjaga
kesucian jiwa ini dan kesengsaraan kalian adalah ketika kalian mencemarinya.
Dengan demikian maka al-Qur'an
secara tegas mengakui peran media ini (hati, jiwa), seperti pengakuannya
terhadap dua media (indera dan rasio) yang telah disinggung sebelumnya. Tetapi
sama sekali bukan pandangan seorang sufi, seorang arif (perlu diketahui bahwa bukan
semua orang arif memiliki pandangan semacam itu [hanya mengandalkan hati],
sebagian dari mereka juga senantiasa menggunakan rasionya dan memiliki ilmu
yang luas, yang sebagian ada di India).
Al-Qur'an sama sekali tidak
mengatakan, jangan menuntut ilmu, tetapi lakukanlah penyucian jiwa. Al-Qur'an
mengatakan, "Tuntutlah ilmu, beramallah, perdalamlah ilmu pengetahuan,
tetapi kalian juga mesti bertakwa. Kalian jangan memisahkan antara keduanya
itu." Jika ketakwaan murni itu adalah tidak menggunakan mata, tidak
menggunakan telinga, tidak menggunakan pikiran, lalu untuk apa Allah
menciptakan semua itu? Jika memang demikian maka Allah cukup hanya menciptakan
hati yang sebagaimana Anda katakan, dan tidak perlu menciptakan mata, telinga,
rasio, indera dan pikiran. Al-Qur'an tidak meremehkan ilmu dan tidak pula
meremehkan kesucian dan penyucian jiwa.
Permasalahan kita berikutnya
adalah permasalahan yang berkaitan dengan berbagai tahapan epistemologi. Kita
memiliki epistemologi sath-hi (dangkal) dan epistemologi 'umqi (dalam). Tahap
terendah dari epistemologi `umqi ialah, epistemologi sath-hi. Tahap di atas itu
(`umqi)-yang mana terkadang mereka juga menyebut tahap ini dengan tahap
'umqi-adalah epistemologi `ilmi (ilmiah), sementara tahap yang lain ialah,
epistemologi falsafi (filosofis). Apakah kita memiliki epistemologi `ilmi yang
merupakan pecahan dari epistemologi falsafi? Ini adalah suatu permasalahan
tersendiri. Insya Allah, berbagai tahapan epistemologi dan permasalahan
lainnya, yang akan dipaparkan pada kesempatan mendatang.[]
[1] . Dari pertanyaan yang diajukan, dipahami
maksud pertanyaan itu. Dan perlu dijelaskan bahwa jika di tengah-tengah
pembicaraan kemudian terselipkan pembahasan berkenaan dengan pandangan
al-Qur'an, hal itu bukan berarti bahwa sejak pertama kali bersandar pada
al-Qur'an berkenaan dengan bagaimanakah bentuk epistemologi yang benar.
Sekarang ini kita tengah melakukan suatu kajian ilmiah, kajian terhadap masalah
epistemologi. Tetapi di tengah pembahasan ini, sebagaimana dinukil berbagai teori
dan pandangan mereka yang memiliki suatu teori tertentu, juga akan dijelaskan
teori dan pandangan al-Qur'an yang berhubungan dengan permasalahan ini,
sehingga kita dapat memiliki suatu bentuk pengetahuan sekalipun secara global.
Dengan demikian jika seandainya ada seseorang yang bertanya kepada kita,
"Dalam bab epistemologi alat apa sajakah yang diyakini oleh Plato?"
Kita akan menjawab, "Dalam bab ini, ia memiliki suatu pandangan
tersendiri, di mana ia mengatakan bahwa alat tunggal epistemologi adalah rasio
dan epistemologi hanya dapat diperoleh dengan perantaraan rasio." Selain
itu topik epistemologi menurut pandangan Plato (yang nantinya saya akan
membahas tentang hal itu) juga bersifat universal (kulli) dan bukan partikular
(juz'i). Menurut teorinya, partikular bukan merupakan suatu hakikat, dan tidak
dapat dijadikan sebagai topik epistemologi. Dengan demikian maka ia meyakini
suatu bentuk epistemologi yang rasional dan epistemologi yang rasional itu ia
namakan dialektika. la meyakini suatu bentuk dialektika dalam epistemologi yang
mana dalam dialektika Plato alat epistemologi adalah rasio clan topik
epistemologi yang merupakan suatu hakikat adalah yang sifatnya universal dan
bukan pertikular. Dengan demikian, maka secara global kita telah mengetahui pandangan
Plato. Kemudian jika ada yang yang bertanya, "Bagaimanakah pandangan
Aristoteles berkenaan dangan hal ini'?" Kita akan mcnjawab bahwa dalam hal
ini Aristoteles tidak memiliki pandangan semacam itu. la berkeyakinan bahwa
topik epistemologi adalah berbagai hal yang universal clan yang partikular.
Partikular adalah suatu hakikat dan universal adalah suatu hakikat juga.
Keduanya adalah hakikat dan indera merupakan media epistemologi. Aristoteles
juga mengakui nilai rasio. Dengan demikian, maka di sini hanya dinukil suatu
bentuk pandangan dan jika juga disampaikan suatu pandangan dari al-Qur'an, Anda
jangan tergesa-gesa mengatakan bahwa Anda tengah menyampaikan pembicaraan
berdasarkan pada pandangan Al-Qur'an dan Anda hendak menyimpulkan hasil
pembahasan berdasarkan pada pandangan Al-Qur'an itu. Sekarang ini kita hendak
mengkaji masalah epistemologi, dan sekiranya dinukil pandangan al-Qur'an
tujuannya adalah hendak mengetahui bagaimanakah bentuk pandangan al-Qur'an
berkenaan dengan permasalahan ini. Disamping kita mengetahui pandangan dan
teori filosof fulan serta teori berbagai fakultas, kita juga ingin mengetahui
bagaimanakah pandangan Al-Qur'an.[2]. Ayat ini juga rnenolak teori Plato yang
populer. Plato berkeyakinan bahwa jiwa (roh) manusia sebelum datang ke dunia
ini berada dalam alam berbagai universal dan ide-ide (yang mana berbagai
universal rasio [kulliyat ma'qull itu disebut dengan mitsal atau ide. Plato
adalah orang pertama yang memasukkan kata "ide" dalam ilmu filsafat),
dan dikarenakan segala yang ada di alam ini sekalipun sifatnya partikular telah
ada di alam ide, dengan demikian maka jiwa telah mengetahui berbagai ide dan
berbagai universal ini, setelah itu jiwa datang di dunia ini. Tatkala datang di
dunia, kedatangan (jiwa) di dunia atau penyatuan (jiwa) dengan tubuh, merupakan
suatu tirai yang menutupi seluruh pengetahuan yang pernah diketahui oleh jiwa
(di alam ide, mitsâl). Tatkala jiwa datang di dunia, ia pernah mengetahui dan
mengenal sesuatu, tetapi sekarang ini ia sudah tidak ingat lagi. Hal itu tidak
ubahnya semacam ketika Anda pernah mengetahui suatu masalah tetapi Anda lupa
bentuk masalah itu. Anda senantiasa berusaha dan menanti suatu kesempatan
tertentu sehingga Anda dapat mengingatnya kembali. Dan jika ada seseorang yang
menyinggung masalah itu, seketika itu juga Anda akan mengatakan, "Ya,
sekarang saya mengingatnya." Ungkapan "saya mengigatnya" ini
artinya ialah bahwa masalah itu sebelumnya telah ada dalam pikiran saya.
Menurut ungkapan Bergson, pikiran tidak memiliki tenaga, dan masalah itu
tersimpan dalam gudang ingatan. Tetapi daya pikir mesti mengeluarkanya dari
batin (tersembunyi) menuju lahir (nyata). Hubungannya (antara daya pikir dan
gudang ingatan) telah terputus; hubungan agar dapat mengeluarkan dan membawa
telah terputus. Plato memiliki teori semacam ini. Apa pun yang dipelajari oleh
manusia di alam dunia ini, menurut tcori Plato adalah bukan mempelajari, tetapi
mengigat kembali. Itulah yang menyebabkan ia mengatakan bahwa ilmu itu adalah
"mengingat" (tadzakkur). [3]. Berkenaan dengan apakah Plato mengakui
atau tidak mengakui pengartian alat hati yang diartikan oleh para ahli 'irfan
masih diragukan. Sekalipun di dunia ini Plato dikenal sebagai filosof lsyrâqi
(Iluminasionis), tetapi bagi saya masalah ini masih belum jelas dan pasti, clan
saya kira itu adalah kekeliruan mereka. Bahkan para filosof kuno kita-selain
Syaikh al-Isyraq, dan sebelum Syaikh al-Israq misalnya Ibnu Sina, dan juga para
penulis sejarah filsafat kita-mereka sama sekali tidak menganggap Plato sebagai
seorang filosof Isyraqi. [4] . Kata fujur berarti "ledakan", dan kata
taqwa berarti "suci". AlQur'an memandang perbuatan dosa itu semacam
suatu ledakan, oleh karena itu disebut dengan fujur. Penggunaan kata fujur bagi
suatu perbuatan dosa mengandung arti khusus. Kata-kata AI-Qur'an yang
berhubungan dengan pahala dan dosa penting sekali untuk diperhatikan. Terkadang
Al-Qur'an menyebut dosa dengan kata fujur, terkadang dengan itsm, dan terkadang
dengan wazr (beban yang berat). Dalam berbagai ungkapan ini berisikan poin-poin
psikologi yang indah dan menarik di mana sama sekali belum ada seorang pun yang
pernah mengungkapkannya.
Indera
Pengalaman
inderawi memang merupakan bukti pertama yang mampu membuat orang mau
mempercayai sesuatu. Sensasi yang diterima oleh mata, telinga maupun anggota
indera yang lainnya merupakan dalil paling nyata yang harus disikapi, dengan
meningkatnya derajat ketaqwaan atau semakin bertambahnya ke kufuran.
Pandangan Dunia tentang Indera
Ada beberapa
pandangan tentang indera manusia dan bagaimana
seharusnya memfungsikan indera dalam kehidupan. Dari banyaknya ragam pandangan
dunia tersebut paling tidak kita dapat menggolongkannya dalam dua golongan
besar.
Pertama, pandangan dunia materialis. Pandangan ini
berpendapat bahwa indera merupakan sumber pengetahuan paling utama yang
menjadikan manusia mampu berpengetahuan.
Mereka kita kenal kemudian dengan kaum empiris. Dipelopori oleh John Locke (filsuf Inggris) dan selanjutnya
diperkuat lagi oleh secara lebih kritis oleh David Hume (Skotlandia). Pandangannya ialah bahwa otak manusia pada
awalnya kosong, lalu indera menemukan realitas luar berupa alam semesta
(lingkungan) yang kemudian dipilah, disusun dan digeneralisasi oleh akal. Jadi
pengetahuan murni lewat akal itu sebenarnya tidak ada. Manusia menurut mereka
tidak mempunyai pengetahuan innate (bawaan/fitrah).
John Locke memiliki sebuah ungkapan, “ Dalam akal
(rasio) tidak ada sesuatu apa pun
melainkan sebelumnya telah masuk sesuatu ke dalam akal itu melalui berbagai
indera.” Pendapatnya mengungkapkan bahwa pengetahuan manusia dari awal sampai
akhir adalah berada pada batas- batas inderawi saja.
Konsekuensi pandangan ini adalah bahwa kita
tidak perlu lagi mempercayai hal-hal yang metafisik (immaterial) seperti Tuhan.
Karena keberadaannya tidak dapat dirasakan, didengar ataupun dilihat. Jadi
mereka yang tidak mampu mengambil pelajaran dari semakin bertambahnya umur,
pergantian tahun dan bertambahnya pengalaman hidup, secara tidak sadar
mengikuti pandangan dunia ini, bahwa semua pengalaman inderawi tersebut tidak
perlu disikapi dengan dipergunakannya sumber pengetahuan lanjutan berupa akal
dan hati yang akan melanjutkan tugas indera (mendengar, melihat, mencium, meraba,
dan merasa) untuk menyembah Allah swt. (Baca edisi ke-6 dan ke-7 tentang sifat
dan fungsi akal maupun hati)
Kedua, Pandangan dunia ilahiyah. Pandangan ini
mengungkapkan bahwa indera merupakan syarat cukup bagi manusia yang tugasnya
merespon realitas luar (alam semesta/lingkungan) ke realitas dalam (benak).
Indera hanyalah salah satu alat untuk mendapatkan pengetahuan. Cacatnya suatu
indera dapat mengurangi kesempatan seseorang untuk mendapatkan pengetahuan.
Seorang buta tidak akan mempunyai pengetahuan tentang warna, seorang yang tuli
tidak akan mempunyai pengetahuan tentang suara atau musik. Begitu pula rusak
atau cacatnya indera yang lain tentu akan mengurangi (bukan menghilangkan) kesempatan untuk
mendapatkan pengetahuan.
Allah swt berfirman, “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran penglihatan, dan hati
(akal), agar kamu bersyukur.” (QS An-Nahl : 78).
Ayat ini menyebutkan dua alat indera yang
terpenting yaitu mata dan telinga. Alquran dengan demikian memberitahukan
kepada kita bahwa penggunaan indera (mata dan telinga) saja tidaklah cukup.
Tetapi manusia juga mempunyai kekuatan hati (akal) yang mampu memilah,
menyusun, dan mengeneralisasi suatu pengetahuan.
Manusia dalam ayat ini juga diharapkan untuk bersyukur. Dalam artian dia harus
memberikan nilai atau menghargai keberadaan inderanya. Menghargai kenikmatan
berupa indera yang sehat tersebut artinya menggunakannya sesuai dengan tujuan
penciptaan. Karena tidaklah Allah swt menciptakan sesuatu itu sia-sia.
Bersyukur di sini mempunyai arti bahwa manusia harus bergerak, beramal dan
mempergunakannya sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah. Dan dalam Alquran
jelaslah kita ketahui bahwa semua alat indera tersebut berfungsi sebagai sumber
epistemologi (pengetahuan).
Islam tidaklah menganggap bahwa manusia hanya
punya sumber pengetahuan seperti indera saja dan menafikkan hati serta akal
seperti kaum empiris, atau mengatakan bahwa manusia hanyalah punya akal saja
seperti kaum rasionalis dan tidak juga mengandalkan hati saja seperti kaum
sufi. Tapi Islam menempatkan ketiganya pada posisinya masing-masing.
Ciri Khusus Pengetahuan Inderawi
Ketika kita sudah mengetahui
bersama posisi indera manusia dalam mendapatkan pengetahuan bagi manusia, tentu kita ingin mengetahui karakter atau
ciri-ciri khusus yang dimiliki oleh indera. Syeikh Murtadha Muthahhari (dalam
Mengenal Epistemologi,Lentera, hal 130) mengungkapkan bahwa ada empat ciri khusus pengetahuan inderawi.
1.
Ciri
pertama, adalah sifatnya yang partikular dan satu persatu. Misalnya pengetahuan
tentang bau makanan yang enak. Menurut seorang penggemar sate, daging sate
Kambing itu enak. Tapi belum tentu menurut orang lain yang tidak suka sate.
Menurut ukuran manusia, daging yang busuk itu tidak enak, tapi bagi lalat atau
binatang yang lain, itu merupakan makanan lezat dan mengundang selera. Dalam hal ini jelaslah
bahwa pengetahuan inderawi tidaklah universal tapi sangat personal (individual).
Beberapa binatang justru jauh lebih unggul pengetahuan inderawinya dibandingkan
manusia. Sebagai contoh, Elang lebih tajam matanya, anjing lebih tajam
penciumannya dan gajah lebih tajam pendengarannya. Berarti manusia bila hanya mengandalkan pengetahuan
inderawi saja, tidaklah lebih unggul dari binatang.
2.
Ciri kedua,
adalah sifatnya yang lahiriah (material), tidak dalam dan tidak mampu sampai
memahami esensi (mahiyah). Sifat ini tidak mampu memahami hubungan sebab
akibat, keharusan akan hukum sebab-akibat
serta hal-hal yang tidak terindera olehnya. Misalnya Manusia tidak mampu
melihat bentuk /wujud dari rasa sakit.
Tapi hanya bisa merasakan saja.
3.
Ciri
ketiga, adalah sifatnya hanya berlaku
“sekarang” atau “saat ini”. Manusia tidak bisa melihat masa lalu atau masa
depan. Dia hanya mampu mendokumentasikan saja semisal memotret atau menuliskan,
tapi tidak mengulanginya. Manusia tidak
mampu lagi mencium masakan atau makanan yang dimakannya minggu yang lalu. Setiap detik waktu yang dihadapinya
adalah sesuatu yang baru. Bukan sesuatu yang lampau atau masa depan.
4.
Ciri
keempat, adalah sifatnya yang parsial dan berhubungan dengan kawasan
(lingkungan) tertentu. Seseorang hanya mampu melihat sesuatu seluas jangkauan
matanya saja. Seandainya ia berada di rumah ia hanya mampu melihat isi ruangan
dari rumahnya saja tanpa mampu melihat kondisi rumah tetangganya atau
perkampungan sebelah.
Dari keempat ciri khusus pengetahuan inderawi
tersebut, jelaslah bahwa kemampuan inderawi manusia sangatlah terbatas. Dari
kemampuan inderawi yang terbatas itu manusia kemudian diperintahkan oleh Allah
untuk menggunakan juga akal dan hati agar dapat memahami hakikat penciptaan.
Akal
Ketika
kontroversi masalah fatwa haram bunga bank oleh MUI ‘kembali’ terjadi, seorang
pendengar mengungkapkan, “Masa sebagai seorang yang beragama Islam yang percaya
bahwa Al Quran sebagai kitab sucinya, masih ada pihak-pihak yang menolak
pendapat bahwa bunga bank itu termasuk riba, itu jelas-jelas haram menurut
Al-Quran. akalnya ditaruh di mana sih?”. Ungkapan tersebut, bisa jadi merupakan
sebuah bentuk keheranan, ketidakpercayaan, atau kekesalan masyarakat terhadap
suatu fenomena.Ada satu kata yang menarik dari kedua ungkapan tadi, yaitu kata
akal. Apa yang menyebabkan sesuatu tidak masuk akal? Makhluk apa pula yang
bernama akal itu sehingga bisa ditaruh-taruh dan dimasuki sesuatu?
Definisi Akal
Dalam
Al Quran, banyak sekali ayat-ayat yang mencantumkan kata yatafakkaruun diujungnya. Kebanyakan menyuruh atau memperingatkan
manusia untuk berpikir, merenung atau bertafakkur.Secara istilah akal (aql) berarti kemampuan yang dimiliki
manusia untuk mengetahui, membedakan baik dan buruknya sesuatu sehingga manusia
mampu menyelesaikan permasalahan kehidupannya. Akal akan selalu menuntun
manusia kepada kebenaran dan kesempurnaan. Akal menjadi ciri kemanusiaan
seseorang yang membedakannya dari binatang. Akal membuat manusia mampu menghasilkan
kebudayaan dan peradaban. Dengan akalnya pula sebagai salah satu sumber
pengetahuan yang terdapat dalam dirinya manusia menemukan Tuhan. Imam Ali,
dalam Nahjul Balaghah mengungkapkan
bahwa akal adalah kekayaan manusia yang utama. Harta manusia yang paling
berharga. Sementara kemiskinan manusia
yang paling utama adalah kebodohan manusia itu sendiri. Akal dikatakan sebagai
sesuatu yang berfungsi untuk mengendalikan, meredam, dan menolak serta
menyingkirkan dorongan dan hasutan jahat hawa nafsu dalam hati manusia.
Akal dan Agama
Dari
pengertian tersebut tadi jelaslah bahwa akal akan selalu menuntun manusia untuk
kembali kepada Tuhannya. Akal akan cenderung untuk selalu menyembah kepada
pemiliknya, suatu dzat maha sempurna yang menjadi tempatnya bergantung. Orang
yang memaksimalkan fungsi akalnya tentu saja akan semakin kuat keberagamaannya.
Karena apa yang diinginkan akal juga sesuai dengan apa yang diajarkan agama
melalui Rasul dan kitab sucinya. Akal
dan Agama adalah ibarat dua sisi mata uang yang tak mungkin dipisahkan.Allah
swt dalam surat al-Rum ayat 30 berfirman : “...(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut
fitrah. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus”.
Hal ini membuktikan bahwa tidak ada pertentangan antara akal dan agama. Syariat
agama merupakan faktor eksternal (akal luar) yang menyuruh manusia untuk
menyembah Tuhan dan Akal adalah faktor internal (dalam diri) manusia yang
menuntunnya untuk menyembah Tuhan. Yang membedakan hanyalah faktor dari mana
berasalnya saja, internal dan
eksternal.Lalu bagaimana dengan permasalahan banyaknya para ilmuwan (saintis) sekuler yang mengaku
tidak beragama, padahal mereka adalah orang-orang pintar yang telah
memaksimalkan fungsi akalnya? Tidakkah ini bertentangan (kontradiktif) jika di
awal dikatakan bahwa akal dan agama itu mempunyai kesamaan visi dan tujuan?
Mengapa pula kebanyakan dari mereka yang berasal dari dunia belahan barat itu
yang lebih maju peradabannya tanpa agama? Bukankah peradaban itu merupakan hasil
olah pikir akal manusia? Mengapa di dunia belahan timur yang mengaku beragama
masyarakatnya justru tertinggal? Adakah yang salah antara hubungan akal dan
agama yang berdasarkan pengertian awal bahwa keduanya adalah ibarat dua sisi
mata uang?. Demikianlah pertanyaan-pertanyaan yang akan dan harus dimunculkan
jika masalah hubungan antara akal dan agama ini dibahas.
Beberapa
alternatif jawaban bisa diberikan berkenaan dengan masalah tersebut. Logika apa
yang terjadi dalam hubungan antara akal dan agama yang sesuai menurut teori
tapi pada praktek (kenyataan)nya bertentangan dengan apa yang terjadi di
sekitar kita saat ini.
Pertama, ada agama yang mematikan
pertanyaan akal (membunuh akal). Sehingga tidak mampu menghasilkan masyarakat
yang tinggi tingkat intelektual sekaligus
spiritualnya.
Kedua, ada agama yang memberikan
peran kepada akal, tapi tidak dikenal atau belum dipelajari oleh ilmuwan
(saintis) atau masyarakat yang mengaku tidak
memeluk agama tersebut. Hal tersebut terjadi karena kebelumtahuan, keengganan,
atau kemalasan saja untuk mempelajari pengetahuan agama. Dengan kata lain, di
antara sekian banyak ajaran agama yang ada,
terdapat agama yang ajarannya rasional/masuk akal. (Lihat syarat-syarat
agama yang benar pada edisi jumat yang lalu dari buletin ini-pen)
Ketiga, harus dibedakan antara agama
dan tafsiran terhadap agama. Sebagai
contoh, bisa jadi tafsiran sebagian orang Islam terhadap Islam salah. Sementara
Islam sendiri tetaplah sebuah ajaran agama yang lurus/haq. Kesalahan penafsiran
ini menjadikan masyarakat Islam mengalami kemunduran.
Jika ajaran Islam menyuruh
manusia untuk memfungsikan akalnya maka sebagian umat Islam saat ini ternyata
masih mengunci mati, membunuh atau belum mengoptimalkan akal nya .
Keempat, kenyataan saat ini yang
terjadi adalah masih banyaknya manusia (baik yang mengaku beragama ataupun yang
tidak) belum mampu menggunakan akalnya sehingga dapat mengendalikan hawa
nafsunya. Dorongan hawa nafsu dapat menyuruh manusia untuk melakukan
perbuatan-perbuatan buruk yang mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan kehidupan baik alam maupun
sosial. Hawa nafsu ingin berkuasa yang berlebihan menjadikan seseorang menindas
manusia yang lain. Hawa nafsu terhadap kekayaan yang berlebihan menjadikan
seseorang mengeksploitasi alam dan sesama manusia secara tidak adil. Sementara
hawa nafsu syahwat yang berlebihan menjadikan orang kalap sehingga melupakan
tata cara dan etika yang benar dalam melakukan kehidupan seksualnya.
Dari
alternatif jawaban-jawaban tersebut dapat diketahui bahwa manusia yang
menemukan agama yang rasional serta mampu mengendalikan hawa nafsunya melalui
akal akan mampu membangun masyarakat berperadaban tinggi, berkeadilan, yang
ditopang oleh sains dan teknologi yang maju tapi tetap berlandaskan pada
nilai-nilai agama (religius).
Peran akal
Permasalahan
selanjutnya ketika masalah hubungan akal dan agama sudah terjawab adalah
bagaimana sebenarnya peran akal itu?
Peran penting akal tersebut
dapat dibagi menjadi tiga bagian (dalam Hawa
Nafsu, karya Muhamad Mahdi al Ashify, 72)
4. Mengenal Allah swt. sebagai
pangkal dan titik tolak tugas akal.
5. Ketaatan mutlak kepada segala
perintah Allah swt
6. Ketakwaan kepada Allah swt,
yang merupakan sisi lain dari ketaatan kepada Allah, yang berupa melaksanakan
kewajiban dan menjauhi laranganNya.
Berdasarkan hadits, Rasulullah
saww bersabda: “akal terbagi menjadi tiga bagian, dan barangsiapa menyandangnya
maka sempurnalah akalnya, dan yang tidak, maka dia tidak berakal.
4. Mengenal Allah swt secara
benar
5. Ketaatan yang mutlak kepada
Allah swt
6. Kesabaran yang mendalam untuk
menjalankan perintah-Nya” (Biharul Anwar
1 : 106)
Penutup
Setelah
mengetahui hubungan mengenai akal dan agama serta peran akal yang
benar, maka dapat disimpulkan bahwa
sumber pengetahuan dalam diri manusia berupa akal adalah alat maha penting yang
harus benar-benar dioptimalkan agar manusia dapat mengenal Tuhannya.
Munculnya keinginan yang kuat
untuk mendekatkan diri kepada yang maha sempurna merupakan tanda-tanda telah
difungsikannya akal seorang manusia. Akankah kita terus mengikuti godaan
gejolak hawa nafsu yang buruk, menutup peran akal yang merupakan pengendalinya
dan terus-menerus enggan mengenal dzat yang menciptakan kita melalui
pengetahuan agama yang sejalan dengan akal?.